Pacaran yang Diperbolehkan di Bulan Puasa

Ilustrasi: Jenggala


Pacaran ketika puasa itu tidak haram lho, teman-teman.

Hukum pacaran adalah mubah. Bahkan pacaran sendiri dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebelum penulis dihujat, pacaran yang dimaksud disini adalah perempuan yang menghiasi tangannya memakai daun pacar, atau biasa dikenal dengan istilah hena. Berikut hadistnya:

لَوْ كُنْتِ امْرَأَةً لَغَيَّرْتِ أَظْفَارَكِ بِالْحِنَّاءِ

”Jika kamu seorang wanita, seharusnya kamu ubah kukumu dengan hena.” (HR. Nasai 5089, Abu Daud 4166 dan dihasankan al-Albani). 

Konteksnya, saat itu Nabi Muhammad hendak menerima surat dari balik tabir.  Namun Nabi Muhammad menahan tangannya karena tidak tahu yang mengulurkan tangan itu laki-laki atau perempuan. Setelah mengetahui itu adalah tangan perempuan, Nabi Muhammad menyarankan perempuan itu untuk memakai hena sebagai penanda tangan perempuan. Wajar kita kesulitan membedakan laki-laki dan perempuan hanya dari tangan saja. Berarti pernyataan penulis nggak salah kan? 

“Bukan pacaran yang itu bang, tapi yang mesra-mesraan itu lho.”

Oh... yang itu.

Mesra-mesraan dengan lawan jenis bukan mahram nya, tentu nggak boleh. udah jelas  dalam Al-Qur’an terdapat larangan mendekati zina apapun bentuk perbuatannya. Entah saat Ramadan ataupun bulan-bulan biasanya. Wong kok unik.

Siapa yang masih punya anggapan pacaran dan maksiat hanya perlu di hindari di bulan Ramadhan saja? Perlu di dibenahi sih pola pikirnya. Apalagi yang ikut melakukan pelanggaran dengan label closing-an sebelum memasuki bulan suci Ramadhan, udah nggak tertolong lagi.

Ketika bulan Ramadhan kita pasti tidak asing dengan sarkas “minum bro, lu puasa tapi pacaran” yang biasa kita temui di media sosial. Ditujukan untuk orang-orang yang pacaran di bulan puasa (konteks kita sudah berganti menjadi pacaran zaman sekarang). Satire ini relevan untuk mengingatkan saudara Islam kita entang batas-batas hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dan latar waktunya di bulan puasa. Walaupun ketika dimaknai secara klise, terdapat cacat logika di dalamnya. Tapi anggap saja sebagai penekanan, namanya juga sarkas. Tidak ada masalah dengan hal ini, sampai penulis menjumpai kelakuan menggelikan lagi memprihatinkan. 

Ada seorang oknum yang ingin tetap pacaran, namun di lain sisi takut pahala puasanya berkurang. Akhirnya, dia mengakalinya dengan putus hubungan saat puasa., Kemudian, mereka pacaran lagi setelah berbuka. Ada pula jenis manusia yang putus hubungan satu bulan penuh, namun setelah lebaran pacaran lagi. Kocak. Niatnya memang baik, tapi ya, nggak gitu konsepnya. Apakah teman-teman pernah menjumpai kejadian serupa? Ataukah kalian menjadi salah satu pelakunya? Semoga tidak.

Fenomena diatas adalah gambaran maraknya kekeliruan masyarakat tentang pemahaman agama. Inilah poin opini yang ingin penulis sampaikan. Masyarakat kita cenderung tekstual dalam mengambil pemahaman agama. Tampak pula betapa rendahnya kualitas literasi masyarakat kita. Hanya terpaku pada teks, tapi gagal memahami konteks. Akibatnya, muncullah penyakit baru umat Islam yaitu mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.

“Gimana tuh bang?” Mari kita buat pacaran menjadi halal.

Silahkan baraya cari, adakah penyebutan “pacaran” secara eksplisit dalam Al Quran dan Hadist. Tidak ada kan? Karena pacaran adalah budaya modern. Istilah pacaran muncul pada masa revolusi industri di Eropa, kemudian mengalami beberapa pergeseran makna hingga sekarang. Setelah revolusi industri, pernikahan yang dulunya berorientasi pada peningkatan jumlah populasi, kini menjadi sebuah jalan memperoleh kebahagiaan.

Namun, menjalin ikatan komitmen antar dua individu memerlukan persiapan matang. Agar menghindari gambling dalam memilih pasangan, muncul istilah pacaran sebagai sarana calon pasangan melakukan pendekatan satu sama lain. Pacaran di zaman ini menjadi bagian dari langkah menuju pernikahan. Praktiknya pun penuh dengan pengawasan dan batasan. Barulah ada pemisahan antara hubungan pacaran dengan pernikahan.

Pacaran diartikan menjadi tidak harus menikah karena keduanya merupakan dua hal yang berbeda.  Hal ini terpicu karena erjadinya revolusi seksual di negara barat pada awal abad ke-20 di mana memisahkan hubungan seksual dengan bereproduksi. Seks pra nikah menjadi semakin umum, didukung dengan maraknya penggambaran seks bebas melalui film, musik, televisi, dan peredaran alat kontrasepsi. Jadi, budaya pacaran di zaman sekarang menjadi alat mencari kebahagiaan individual dan memuaskan hasrat pribadi.

Dalam kasus pacaran ini, ada poin penting yang masih gagal dipahami oleh masyarakat kita tentang maksud, esensi, dan konteks. Jangan terpaku pada teks atau istilah karena arti dari kata dan istilah dapat berubah tergantung konteks zamannya. Kalau ada yang masih ngeyel, “pokoknya pacaran itu haram” lalu bagaimana pemikiran kamu menyikapi fenomena FWB, HTS, TTM, dan peranakannya?

“Aku kan nggak pacaran, cuma HTS”.

Kalau praktiknya mendekati zina dan tak menghiraukan batasan antara laki-laki dan perempuan, ya sama aja dong! Apa kamu harus menunggu ada ulama nyebut HTS haram gitu? Please lah, jangan jadi seperti orang-orang ahli kitab yang sudah diceritakan dalam Al Quran. Mereka adalah orang-orang yang mengotak-atik, merubah, bahkan mengakali ayat hanya demi nafsunya sendiri. Perbanyak literasi, karena perintah pertama Allah dalam surat Al-Alaq berbunyi “IQRA” yang artinya bacalah. Setelah dibaca, perlu pula dipahami dan di renungkan karena sejatinya orang beriman adalah orang yang memiliki akal.

Sekian opini yang lebih seperti orientasi atau malah curhat keresahan. Terima kasih karena sudah mampir. Jadi, apakah pacaran itu haram? Apakah pacaran saat bulan puasa menyebabkan puasa batal? Silahkan teman-teman simpulkan sendiri, tuliskan di kolom komentar.


Referensi

https://konsultasisyariah.com/23344-hukum-memakai-pacar-atau-hena.htmlhttps://youtu.be/LPU9hDy6J7w?si=Z7T_bWeEm2HzVb50

https://youtu.be/7GVgza1UdS0?si=MMmp8ol6-xDyO0Tn


Penulis: Muhammad Zacky Ramadha

Editor: Vicky Sa'adah

 


Komentar

Posting Komentar