Mentalitas Muslim Indonesia Saat Ramadan : Di Kala Agama Dipegang Mayoritas

Ilustrasi: Jenggala


“Ramadan tiba, Ramadan tiba, marhaban ya Ramadan…”

Lantunan lagu tersebut mulai terdengar di setiap penjuru Indonesia, menandakan dimulainya bulan Ramadan dalam kalender Hijriah. Pada saat ini, seluruh umat muslim di dunia sedang bergembira menyambut bulan yang dianggap suci dan penuh berkah. Tentunya fenomena ini tidak lain karena mereka tidak hanya mendapatkan kesempatan menunaikan ibadah puasa Ramadan, melainkan juga dapat melakukan berbagai macam kegiatan yang hanya dilakukan saat bulan Ramadan.

Bulan Ramadan juga dipercaya sebagai waktu di mana Al-Qur’an diturunkan, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 185 yang bertuliskan :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.” (Q.S Al-Baqarah ayat 185).

Dalam ayat suci Al-Qur’an tersebut, telah diberikan petunjuķ yang perlu dilakukan seorang muslim saat bulan suci Ramadan berlangsung.

Selain itu, bulan Ramadan memiliki keistimewaan lain yakni dengan adanya malam Lailatul Qadar. Malam Lailatul Qadar sendiri digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan, di mana umat muslim bisa mendapatkan keberkahan yang nilainya sama dengan seribu bulan.

Namun, apakah semua orang senang dengan datangnya bulan Ramadan? Dan apakah bulan “suci” ini telah benar-benar tercermin di Indonesia?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya sangat menarik di bahas dan di analisis lebih lanjut, mengingat Indonesia adalah negara heterogen. Pada bulan Ramadan, terdapat sebuah narasi yang terus muncul setiap tahunnya. Hal ini tidak lain adalah penutupan usaha kuliner pada siang hari.

Permasalahan tersebut tentunya muncul dikarenakan bulan Ramadan adalah waktu bagi umat muslim menunaikan ibadah puasa. Masa di mana mereka diharuskan menahan nafsu, lapar, serta haus. Dimulai ketika matahari terbit hingga terbenam kembali.

Isu penutupan usaha kuliner tersebut telah memengaruhi khalayak ramai, khususnya para pengusaha kuliner dan masyarakat non-muslim di Indonesia. Meskipun kebijakan ini hanya terjadi di beberapa daerah saja, namun, apakah hal seperti ini juga membawa berkah pada orang yang terkena dampaknya?

Bagi para pengusaha kuliner, penutupan usaha mereka tentunya berpengaruh terhadap pendapatan mereka. Meski begitu, dalam kasus ini mereka dapat mencari alternatif lain, seperti menjual takjil atau membuat kue yang dapat dijadikan hidangan saat hari raya Idul Fitri.

Untuk non-muslim yang tidak menjalankan ibadah puasa juga ikut mendapatkan dampak kebijakan ini. Tentunya mereka dapat membuat hidangan sendiri tanpa perlu membeli di warung makan. Akan tetapi, bagaimana dengan mereka yang sedang merantau dan memiliki jadwal kerja atau kuliah pagi? Tentunya mereka akan kesusahan dengan adanya kebijakan ini.

Sebelumnya, mari kita bahas mengenai alasan mengapa kebijakan ini dibuat. Jika kita melihat media-media yang membahas permasalahan ini, kita akan mendapatkan alasan utama adanya kebijakan ini, yakni menjaga keimanan muslim yang sedang berpuasa. Alasan ini juga dapat kita lihat dari beberapa wilayah yang tidak mengimplementasikan kebijakan tersebut, namun tetap menganjurkan warung makan tidak menampilkan hidangannya secara terbuka, seperti menutup jendela dengan tirai.

Lantas, apakah kebijakan ini diterapkan saat agama lain sedang melakukan ibadah yang serupa? Di sini penulis mengambil contoh agama Katolik yang melakukan puasa Paskah kemarin. Selama beberapa tahun silam hingga saat ini, jarang sekali kita mendengar adanya kebijakan yang mengharuskan warung makan bersembunyi disaat mereka berpuasa. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan TAP MPR RI No. VI/MPR/2001 mengenai Etika Sosial dan Budaya yang bertuliskan “Etika Sosial dan Budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai, dan saling menolong di antara sesama manusia dan warga bangsa”.

Padahal jikalau kita bandingkan kedua agama tersebut, keduanya melakukan ibadah serupa, di mana mereka menahan nafsu dari saat matahari terbit hingga terbenam kembali. Namun, mengapa kebijakan ini diterapkan saat umat muslim berpuasa saja?

Dalam ajaran Islam sendiri, terdapat konsep bernama Qana’ah. Qana’ah merupakan istilah untuk perasaan puas manusia terhadap segala sesuatu yang ia miliki. Sifat ini membuat seseorang akan merasakan cukup dengan apa yang dimilikinya dan tidak iri hati terhadap sesuatu yang tidak bisa ia capai. Saat puasa Ramadan seperti ini, kita sebagai umat muslim dapat mengimplementasikan sifat ini. Tentunya dengan menerapkan sifat Qana’ah saat berpuasa, umat muslim tidak akan tergoda dengan warung makan yang sedang beroperasi dan akan merasa puas dengan kondisinya saat itu juga.

Jika kita melihat keadaan negara lain yang juga didominasi oleh kaum muslim, misalnya seperti Arab Saudi. Ternyata kebijakan ini telah diterapkan di negara tersebut. Pemerintah setempat telah melarang adanya aktivitas dari warung makan saat siang hari, dan dapat beraktivitas kembali di sore hari  agar dapat menyajikan makanan untuk umat muslim berbuka. Hal ini juga telah diterapkan di negara serupa seperti Oman atau Kuwait. Jadi, dapat dikatakan bahwa bukan hanya Indonesia yang menerapkan kebijakan seperti ini.

Menurut kalian, apakah kebijakan seperti ini cocok diterapkan di Indonesia yang merupakan negara dengan keanekaragaman suku dan budaya?



Referensi

Adha, Muhammad M. & Susanto, E. (2020). “Kekuatan Nilai-Nilai Pancasila dalam Membangun Kepribadian Masyarakat Indonesia”. Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan, 15(1), 121-138. DOI: https://doi.org/10.37680/adabiya.v15i01.319.

Akashi, Nur U. (2024). “10 Hikmah Puasa Ramadan: Mendapatkan Syafaat-Menghapus Dosa”. detikJogja. https://www.detik.com/jogja/berita/d-7239494/10-hikmah-puasa-Ramadan-mendapatkan-syafaat-menghapus-dosa. Diakses pada 15 Maret 2024.

Fabriar, Silvia R. (2020). “Agama, Modernitas dan Mentalitas: Implikasi Konsep Qana’ah Hamka Terhadap Kesehatan Mental”. Muharrik: Jurnal Dakwah dan Sosial, 3(2), 227-243. DOI: https://doi.org/10.37680/muharrik.v3i02.465.

Radar, A. (2024). “Masih Buka Siang Hari, Petugas Tutup Warung Makan di Caringin”. RADAR BOGOR. https://www.radarbogor.id/2024/03/14/masih-buka-siang-hari-petugas-tutup-warung-makan-di-caringin/. Diakses pada 15 Maret 2024.

Setyadi, A. (2024). “Catat! Warung Makan-Warkop di Aceh Hanya Boleh Buka di Jam ini Selama Ramadan”. detiksumut. https://www.detik.com/sumut/berita/d-7229690/catat-warung-makan-warkop-di-aceh-hanya-boleh-buka-di-jam-ini-selama-ramadan. Diakses pada 15 Maret 2024.



Penulis: Alfaraisi Almer Fadhilah

Editor: Vicky Sa'adah


Komentar