(Ilustrasi: Tom) |
Adanya kasus main hakim sendiri
dalam masyarakat merupakan cermin hipermoralitas. Hipermoralitas adalah suatu
keadaan masyarakat yang tidak dapat menentukan baik-buruknya suatu hal. Dengan
tidak adanya batas jelas antara hal baik dan buruk membuat kesadaran masyarakat
tentang hukum kurang, sehingga menimbulkan tindakan main hakim sendiri.
Masyarakat semakin tidak mengindahkan nilai hukum, etika, dan moralitas.
Hipermoralitas masyarakat
menjadi alasan kuat terjadinya kasus eigenrichting.
Hal ini di indikasikan dengan situasi di mana individu atau kelompok merasa
bahwa keadilan atau moralitas telah dilanggar sehingga perlu tindakan
memperbaiki situasi tersebut tanpa mempertimbangkan prosedur hukum yang ada.
Di zaman ini, sudah biasa manusia mengubah hal
ilegal menjadi legal. Tak jarang orang semena-mena melakukan sesuatu dengan
anggapan ia melakukan hal benar. Kasus eigenrichting
pernah terjadi pada seorang
wanita di Papua Barat. Ia dituduh sebagai pelaku penculikan anak sehingga
pakaiannya dilucuti dan tubuhnya dibakar hidup-hidup. Hal itu dianggap benar,
padahal melakukan kekerasan hingga luka parah bahkan meninggal, secara hukum
dan moral adalah salah. Hal ini membuktikan bahwa adab dalam masyarakat tidak
dijunjung baik.
Tindakan yang dilakukan
masyarakat tersebut memiliki kesalahan yang berlapis , tidak hanya ditinjau
dari segi hukum namun juga norma. Seyogyanya, manusia punya adab dan menghargai
orang apalagi perempuan. Apapun yang dilakukan manusia di muka bumi ini tentu
ada balasannya. Pepatah mengatakan “Apa yang kita tanam, itulah yang kita
tuai”. Apapun yang dikerjakan pasti ada konsekuensinya.
Konsekuensi
dari kesalahan orang lain tentunya diputuskan oleh aparat atau lembaga lain
yang berhak mengadilinya. Masyarakat umum tidak ada hak untuk langsung main
hakim sendiri dan memberi penilaian subyektif terhadap suatu peristiwa.
Bukankah adab lebih tinggi dari ilmu? Mengapa manusia merasa benar dan
melakukan suatu hal berdasarkan perspektif masing-masing tanpa pikir panjang?
Apabila
terlihat hal mencurigakan yang berpotensi melanggar hukum, sebaiknya diamankan
lebih dahulu untuk dimintai keterangan sehingga dapat ditindaklanjut oleh pihak
berwajib. Hal ini dinilai lebih baik daripada membabi buta menghakimi seseorang
yang bisa berujung fitnah.
Pasal 434 ayat (1) UU 1/2023 berbunyi “Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama 4 tahun”. Ini menjadi dasar dari larangan perilaku main hakim sendiri karena dapat berujung fitnah. Lebih baik saring informasi terlebih dahulu. Bila ada indikasi tindakan kejahatan, segera laporkan ke pihak yang berwajib.
Selain masalah kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum, tindakan ini juga terjadi karena tergerusnya budaya klarifikasi, verifikasi dan cross check dalam menerima kabar. Padahal, budaya klarifikasi sangat penting untuk melihat keabsahan suatu informasi atau peristiwa.
Dalam
konstitusi, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya. Sanksi pelaku eigenrichting menurut pasal 170
ayat (2) butir ke-3 KUHP diancam pidana penjara paling lama 12 tahun. pada
pasal 351 ayat (3) KUHP, pelaku diancam pidana penjara paling lama 7 tahun. Selain
itu, dalam peraturan perundang-undangan, NKRI mengakui serta menjunjung tinggi
hak asasi dan kebebasan dasar manusia. Tentunya kebebasan hak asasi manusia
dibatasi dengan adanya hak asasi orang lain.
Apabila dihubungkan dengan
konteks relevansinya, tindakan main hakim sendiri secara implisit menjadi
kritik tatanan hukum dan aparat Indonesia yang terkadang gagal memberikan
keadilan. Apapun latar belakangnya, tindakan main hakim sendiri mencerminkan
perilaku mengobrak-abrik hukum. Tindakan ini tidak mencerminkan bangsa
berkualitas dengan sumber manusia unggul yang menyaring segala informasi dan
tidak mudah terprovokasi.
Karena itulah, tindakan main
hakim sendiri harus segera ditanggulangi. Aparat penegak hukum perlu dituntut
adil dalam menuntaskan perkara agar akurasi kepercayaan masyarakat meningkat.
Bukan itu saja, perlu pula melakukan tindakan preventif dari diri sendiri.
Tentunya agar penegakan hukum Indonesia tak tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Sudah
sewajarnya penegakan hukum tak pandang bulu. Hal itu ditegaskan pasal 27 ayat
(1): “Bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”.
Oleh karena itu, tindakan main
hakim sendiri dapat kita cegah mulai dari open minded terhadap segala
hal. Budaya literasi dan menyaring setiap informasi yang ada juga perlu
ditingkatkan. Jadi, orang tidak mudah terprovokasi dan berbudi pekerti agar
mampu melihat setiap peristiwa dari dua sisi.
Kontrol diri sendiri sangat
berpengaruh untuk menghapus hipermoralitas yang telah marak di masyarakat dan
menciptakan tatanan kehidupan damai, aman, juga taat konstitusi dengan tidak
main hakim sendiri.
Penulis: Tias Isnawati
Editor: Vicky Sa’adah
Komentar
Posting Komentar