Pada masa Siti Walidah, pendidikan bagi
perempuan dipandang menjadi hal yang tabu. Kaum perempuan tidak diperbolehkan
untuk mengenyam pendidikan yang tinggi, mereka hanya diperbolehkan untuk
menyelesaikan pekerjaan rumah saja. Di masa itu, perempuan yang berhak
memperoleh pendidikan hanyalah mereka yang berasal dari golongan bangsawan dan
kaum ningrat, itupun jenjang pendidikannya dibatasi yakni hanya sampai
pendidikan dasar saja. Budaya patriarki masih mengakar kuat dimana menganggap
perempuan hanya sebagai pelengkap kaum laki-laki dan merupakan kaum yang lemah.
Kondisi tersebut didukung dengan melekatnya pemikiran bahwa perempuan kodratnya
adalah untuk mengurus keperluan rumah tangga saja sehingga tidak memerlukan
pendidikan. Hal tersebut sangatlah bertentangan dengan pemikiran Siti Walidah
yang menganggap bahwa perempuat tidak hanya sekedar pelengkap bagi kaum
laki-laki saja, akan tetapi perempuan merupakann pengerak kemajuan keluarga,
bangsa dan juga negara.
Siti Walidah sendiri merupakan sosok yang
dikenal sebagai pelopor organisasi Aisyiyah. Dimana kegiatan utama dari
organisasi ini adalah memajukan pendidikan dan keagamaan untuk kaum perempuan,
memelihara anak yatim piatu, serta menanamkan rasa kebangsaan lewat kegiatan
organisasi agar kaum wanita bisa berperan aktif dalam pergerakan nasional. Siti
Walidah termasuk ke dalam orang yang berhasil dalam usahanya dalam meningkatkan
pendidikan yang tidak hanya berupa teori saja, akan tetapi dibuktikan dengan kenyataan.
Keberhasilan Siti Walidah diantaranya adalah diselenggarakannya asrama untuk
putri-putri dari berbagai kalangan di Indonesia untuk mendapatkan pendikan yang
baik. Orang tua dari mereka dengan sepenuh hati mempercayakan pendidikan
putrinya kepada Siti Walidah.
Pemikiran Siti Walidah mengenai pendidikan
dikenal dengan konsep “catur pusat”. Konsep Catur Pusat merupakan suatu
formula pendidikan yang mempersatukan empat komponen yakni: pendidikan di
lingkungan keluarga, pendidikan di dalam lingkungan sekolah, pendidikan di
dalam lingkungan masyarakat serta pendidikan di dalam lingkungan tempat ibadah.
Catur Pusat adalah satu kesatuan organik, yang apabila dilakukan dengan
konsisten dapat membentuk kepribadian yang utuh. Gagasan itu kemudian
diwujudkan dalam bentuk sekolah. Mula-mula Siti Walidah mendirikan Madrasah
Ibtidhaiyah Diniyah Islamiyah di tahun 1912 dengan menerapkan sistem
pembelajaran model Belanda. Pada awalnya terobosan ini mendapatkan respon
dukungan dan penolakan di kalangan masyarakat kampung kauman dan di kalangan
kaum Muslim (Halimarussa’diyah Nasution, dkk., 2017: 132). Kelompok yang
mendukung terhadap terobosan ini berpendapat bahwa model pendidikan seperti
itulah yang akan diterima oleh masyarakat dikarenakan pada hakikatnya dengan
melakukan modernisasi pada model pendidikan islam dari sistem pondok pesantren
dengan pendekatan tradisional menjadi modern, namun dengan tetap mempertahankan
ciri khas pelajaran dan pendidikan Islamnya.
Kiprah Siti Walidah dalam memperjuangkan
pendidikan perempuan di Indonesia dapat dilihat dari beberapa tindakan nyata
yang pernah beliau lakukan seperti, menyelenggarakan asrama untuk
putri-putri di berbagai daerah agar
mereka lebih mudah untuk mendapatkan pendidikan, Siti Walidah juga ikut
mempelopori pemberatasan buta huruf bagi orang-orang yang telah berusia lanjut,
Beliau juga menyelenggarakan rumah anak yatim dan anak orang miskin, dan Siti
Walidah juga menjadi pelopor dari berdirinya TK ABA di Indonesia yang sampai
sekarang masih terus berdiri dan berkembang.
Sumber
Referensi:
Ainiyah, Q. (2017). Urgensi
pendidikan perempuan dalam menghadapi masyarakat modern. Halaqa:
Islamic Education Journal, 1(2), 97-109.
Alfiyanti, Dina. 2012. Mengenal
Pahlawan Nasional Jilid 1. Erlangga Group.
Ardiyani, D. (2018). Konsep
Pendidikan Perempuan Siti Walidah. Tajdida: Jurnal Pemikiran dan Gerakan
Muhammadiyah, 15(1), 12-20.
Daliman, A. (2012). Metode
penelitian sejarah. Penerbit Ombak.
Junus Salam, “KH. Ahmad Dahlan: Amal
dan Perjuangan”, Jakarta, Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1968.
Makmur, D., Suryo Haryono, P., &
Musa, S. (1993). Sejarah pendidikan di Indonesia zaman penjajahan.
Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Mardiah, N. I., Luthfiyah, L.,
Sadat, A., Ihlas, I., Ramadhan, S., & Kusumawati, Y. (2022). ANALISIS
PERGERAKAN PENDIDIKAN PEREMPUAN SERTA KIPRAH SITI WALIDAH DI AISYIYAH. TAJDID:
Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan, 6(1), 60-75.
Nasution, H. D., Nahar, S., &
Sinaga, A. I. (2019). Studi Analisis Pemikiran Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan)
Dalam Pendidikan Perempuan. Ihya al-Arabiyah: Jurnal Pendidikan Bahasa dan
Sastra Arab, 5(2), 130-139.
Ranadirdja, Bisyron Ahmadi. 1980.
Cikal Bakal Sekolah Muhammaadiyah (yogyakarta: Badan Pembantu Pelaksana
Pembantu Pendidikan Pawiyatan Wanita Sekolah Dasar Muhammadiyah Kauman
Yogyakarta).
Setianingsih, S., Syaharuddin, S.,
Sriwati, S., Subroto, W., Rochgiyanti, R., & Mardiyani, F. (2021).
Aisyiyah: Peran dan Dinamikanya dalam Pengembangan Pendidikan Anak di
Banjarmasin Hingga Tahun 2014. PAKIS (Publikasi Berkala Pendidikan Ilmu
Sosial), 1(1).
Umar, Umar, Husnatul Mahmudah, and
Mei Indra Jayanti. “Peran Nasyiatul Aisyiyah Dalam Wacana Gender Dan Pendidikan
Profetik Bagi Perempuan Di Bima.” Kafa`ah: Journal of Gender Studies 11, no. 1
(June 29, 2021): 15.
Wati, I. S., & Agustono, R.
(2017). Peran Siti Walidah Dibidang Pendidikan Dan Sosial Dalam Perkembangan
Aisyiyah Tahun 1917-1946. SWARNADWIPA, 1(2).
Komentar
Posting Komentar