Penulis: Ndaru Pratama
Editor: Wisnu Yogi Firdaus
Pondasi boga di Indonesia secara historis tidak bisa terlepas dari citra
silam bangsa Indonesia sebagai “Kepulauan Rempah-Rempah”. Istilah ini menyekam
mitos eksotisme rempah sebagai konsumsi masa paling diburu dunia. Namun sejak
abad ke-19, citra sebagai kepulauan rempah-rempah itu digantikan dengan
pengembangan massif sistem tanaman budidaya di Hindia Belanda, mulai dari Cultuurstelsel (1830-1870),
hingga penerapan Undang-Undang Agraria (1870).
Orang-orang Belanda cenderung sibuk menempatkan lada, pala, dan cengkih
semata sebagai komoditas ekspor ke pasar dunia. Adapun komoditas ekspor
antarpulau lebih pada beras dan kelapa. Disusul pengenalan tanaman komersial
seperti singkong, kopi, dan teh yang hasilnya meningkat pada abad
ke-19.Sumber-sumber tertulis pada awal abad ke-19 hanya melaporkan sebatas
kekaguman pada bahan makanan saja, belum mencapai bagaimana mengelola dan
mengolahnya ke arah nilai seni hingga fisiologi rasa layaknya boga.
Perkembangan kuliner di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari persentuhan
dengan berbagai kebudayaan. Masyarakat berada di titik persimpangan budaya.
Pertama, bagaimana mereka mempertahankan budaya asli. Dan yang kedua, bagaimana
mereka menerima unsur baru lalu berakulturasi dengan kebudayaan lokal. Dalam
hal ini, local genius memegang peranan penting.
Peranan lokal genius dapat berimplikasi positif ataupun negatif. Nilai
positifnya sajian-sajian lokal yang mengalami adaptasi budaya memiliki bentuk
yang berbeda, tetapi memiliki cita rasa lokal. Seperti sajian dari Kasunan
Surakarta yaitu Bistik Jawa, dimana sajian ini sebagai tandingan sajian steak
masyarakat Eropa, tetapi memiliki cita rasa khas yang digemari oleh raja Jawa.
Akan tetapi, terdapat nilai negatif yang timbul dari akulturasi budaya
ini. Potret ini dilihat dari munculnya strata sosial di masyarakat dengan diukur
dari bagaimana cara mereka menghidangkan sesuatu. Dalam masyarakat kelas atas
hidangan yang dimasak dengan cara dipanggang mudah dijumpai, mengingat saat itu
tidak semua masyarakat dapat menikmati sajian itu.
Sepenjang perjalanan sejarah kuliner di Indonesia masa kolonialisme
merupakan babakan yang penting dengan memberikan berbagai sentuhan
kebudayaannya. Pada masa kolonial Belanda ada satu budaya makan yang dikenal
dengan istilah rijsttafel, istilah ini disematkan orang-orang
Belanda untuk jamuan hidangan Indonesia yang ditata lengkap di atas meja makan.
Menurut seorang penulis roman Belanda, Victor Ido (1948 : 31), rijsttafel diartikan
sebagai “… eten van de rijsmaaltijd een special tafel gebruikt” (suatu
kajian makan nasi yang dihidangkan secara special). Hal special rijsttafel adalah
perpaduan budaya makan pribumi dan Eropa sebagaimana tampak dalam pelayanan dan
tata cara makan serta jenis hidangannya.
Orang-orang Belanda yang pernah tinggal di Indonesia selalu
menganggap rijsttafel adalah sebuah kemewahan. Anggapan itu
merupakan suatu hal yang unik dan menarik sebagai konsep budaya makan
tradisional pertama di Indonesia, yang disajikan secara modern dengan
memperhatikan tampilan yang memikat. Jejak rijsttafel dapat
dilihat sejak kurun waktu 1870 hingga 1942. Rijsttafel merupakan
simbolilasi kemewahan gaya hidup kolonial di Hindia Belanda.
Budaya kolonial begitu besar pengaruhnya terhadap budaya kuliner di
Indonesia, selain menyumbangkan resep-resep dan bumbu-bumbu, budaya kuliner
Eropa juga terlihat dari teknik pengolahan bahan makanan yang berupa teknik
memanggang, memasak dengan menggunakan oven terutama dalam
pembuatan roti atau cake.
Selain itu, budaya Eropa yang diadaptasi terlihat dalam penggunaan
alat-alat makanan secara modern seperti penggunaan sendok, garpu, dan pisau.
Persinggungan kebudayaan terutama dalam bidang kuliner di Jawa tidak hanya
dengan masyarakat Eropa, tetapi masyarakat Asia telah lama berinteraksi dengan
masyarakat Jawa.
Komposisi hidangan kuliner Jawa biasanya terdiri dari hidangan nasi yag
disajikan dengan banyak kuah. Kuah yang biasa digunakan adalah beberapa jenis
sayuran utama, yaitu sayur lodeh, sayur asem, sayur kloeak, dan kari. Budaya
Asia menyumbang berbagai macam bumbu-bumbu khas terutama penggunaan
rempah-rempah sebagai bumbu memasak makanan, seperti cabai, jahe, kunyit,
lengkuas, pala, merica, dan penggunaan santan.
Penggunaan rempah-rempah dan santan merupakan pengaruh dari budaya India.
Pengaruh budaya India jelas terlihat dalam makanan yang berbumbu kuah terutama
dalam kari atau dalam masakan Arab dikenal dengan gulai. Budaya China juga
memberikan sumbangan berupa penggunaan kecap, pengolahan tahu serta masakan
yang berbahan mie dan soun serta bihun.
Selain pada bumbu, pengaruh China juga terlihat jelas dalam penggunaan daging babi dalam sajian kuliner. Sedangkan kebudayaan Timur Tengah menyumbang penggunaan daging kambing dalam pengolahan bahan makanan. Budaya dapur Nusantara banyak sekali dipengaruhi oleh budaya kuliner Tionghoa dan Belanda. Pengaruh dua kebudayaan asing ini mengakar dan bertransformasi menjadi salah satu identitas baru.
DAFTAR PUSTAKA
Baskoro, Ardi. (2012). Kuliner di Keraton Surakarta
(Kesinambungan dan Perubahannya). Tesis Program Studi Kajian Budaya.
Program Pasca Sarjana. Surakarta : Universitas Negeri Sebelas Maret.
Bromokusumo, Aji Chen. (2013). Peranakan Tionghoa
Dalam Kuliner Nusantara. Jakarta : Kompas.
Rahman, Fadly. (2011). Rijsttafel Budaya Kuliner di
Indonesia Masa Kolonial Tahun 1870-1942. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Umum.
Rahman, Fadly. (2017). Dari
Indische Keuken ke Boga Indonesia 1857-1967. Yogyakarta : Mata Jendela.
Komentar
Posting Komentar