Nestapa Ruang Perempuan: Melacak Kultur Patriarki Pra Kolonial Hingga Pasca Kolonial



Seminar nasional yang diadakan HIMA Ilmu sejarah tahun 2022 ini, mengusung tema sejarah perempuan dimana dalam seminar tersebut dibahas mengenai bagaimana patriarki membudaya di indonesia yang dibahas secara mendalam. Tema sejarah ini dibahas oleh tiga pembicara yaitu, Anna Mariana, M.A yang membahas mengenai kultur patriarki pada masa prakolonial dan keadaan serta posisi perempuan pada masa sebelum kedatangan kolonial, Dr. Mutiah Amini, M.hum yang membahas mengenai kultur patriarki yang terbentuk selama masa kolonial berlangsung, pembicara yang terakhir yaitu Dr. Phil. Dewi Candraningrum yang membahas mengenai dekolonisasi kultur patriarki dan metode feminisme pasca kolonial.

Menurut Simeone de Beauvior dalam Second Sex, kemunculan patriarki dimulai saat terjadinya kepemilikan pribadi sehingga terjadinya pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Patriarki merupakan perilaku yang mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Konsep mengenai patriarki yang menyejarah  bukan pada peristiwanya belaka, akan tetapi ada tidaknya peristiwa yang sifatnya patriarki, misalnya. Perlu dilihat untuk sebagai sistem sosial yang merujuk pada keistimewaan laki-laki yang dimulai dari munculnya proses historis dalam kepemilikan pribadi. Maka dapat dilihat bahwa dalam proses historis, patriarki dapat ditemui dalam segara periode, lapisan kelas masyarakat, dan penguasaan atas alat produksi. Melalui konsep ini dapat dilihat banyak perempuan ditundukkan oleh sistem patriarki terlihat dimana-mana, contohnya perbudakan seksual masa jepang dan neo-fasis orde baru.

Suku di Minangkabau menganut matrilineal, yang paling purba mengenal pembagian kerja secara seksual. Persoalan kelas di dalam struktur masyarakat nusantara juga memberikan pengaruh yang signifikan, karena yang banyak mendapat akses hanyalah para perempuan elite, sedangkan warga masyarakat berada di wilayah yang berakhir pada kepemilikan. Kasus maraknya perbudakan dan pelacuran di wilayah-wilayah pelabuhan yang menjadi kosmopolit pada abad ke-14 hingga abad ke-18, merupakan sejarah yang jarang dilihat sebagai feminization poverty pada era ini.

Pembicara kedua menjelaskan mengenai bagaimana kultur patriarki yang menguat pada masa kolonial. Belanda sering memakai cara-cara salah satunya adalah dengan memberikan kabar burung yang dilakukan lewat mulut ke mulut hingga sampai ke orang tua yang mempunyai anak perempuan untuk menerima beasiswa sekolah yang diberikan Belanda tanpa ada pemberitahuan secara resmi. Ketika waktu yang ditentukan telah tiba, para anak perempuan itu justru dimasukkan ke dalam kapal. Pemberitaan palsu itu sebenarnya hanya sebagaimodus untuk menjebak mereka agar dapat dijadikan sebagai pemuas nafsu seks para tentara kolonial. Dalam hal ini patriarki juga merupakan budaya warisan kolonial.

Pembicara ketiga memaparkan mengenai bagaimana upaya dekolonisasi oleh negara dunia ketiga dan metode feminis yang tepat dalam menghadapi budaya patriarki pasca kolonial tersebut. Feminisme transnasional mengacu pada paradigma feminis kontemporer dan gerakan aktivis yang sesuai. Baik teori maupun praktik aktivis adalah prihatin dengan bagaimana globalisasi dan kapitalisme mempengaruhi orang-orang lintas negara, ras, jeniskelamin, kelas, dan seksualitas. Gerakan ini meminta untuk mengkritik ideologi model feminis kulit putih, klasik, dan barat tradisional praktik dari pendekatan titik-temu dan bagaimana ini terhubung dengan tenaga kerja, aplikasi teoritis, dan praktik analisis pada skala geopolitik. Praktik feminis seperti yang saya pahami beroperasi di jumlah tingkat: pada tingkat kehidupan sehari-hari melalui tindakan sehari-hari yang membentuk identitas kita dan komunitas relasional; pada tingkatan tindakan kolektif dalam kelompok, jaringan, dan gerakan terbentuk di sekitar visi feminis transformasi sosial; dan pada tingkat teori, pedagogi,dan kreativitas tekstual dalam praktik ilmiah dan penulisan feminis terlibat dalam produksi pengetahuan. Selain itu juga dijelaskan bagaimana feminisme dihubungkan dengan produksi budaya dalam masyarakat.

Oleh: Safrida Santriyani

Staff Divisi Pers dan Historiografi HMIS 2022 dan Tim Sanskerta Online 2022

Komentar