Titisan

 


Seno berjalan menembus kerumunan yang berada tepat di depannya. Matanya melirik kesana kemari mencari keberadaan seseorang yang sudah menunggunya selama hampir satu jam. Tidak butuh waktu lama bagi Seno untuk menemukan punggung sahabatnya itu, Ia sedang duduk di tengah kerumunan penonton lakon "Wisanggeni Racut" yang dibawakan oleh Ki Kusumo sebagai dalang pagelaran wayang pada malam ini. Seno pun segera mendudukkan dirinya di sisi Wira yang pandangannya masih terus tertuju pada tiap sabetan luwes yang dibawakan oleh Ki Kusumo. "Suwe men koe iki?" (Lama banget kamu ini?), dari nada bicaranya, Seno tahu bahwa Wira sudah cukup kesal karena dibiarkan menunggu di tempat ini sendirian untuk waktu yang cukup lama. Alih-alih menjawab pertanyaan Wira, Seno memilih untuk diam sembari menikmati gorengan hangat yang dibelinya saat dalam perjalanan tadi.


Suara alunan gamelan dan nyanyian merdu para sinden membuat para penonton ikut terlarut ke dalam cerita yang dibawakan Ki Kusumo. Kisah dua pemuda keturunan Pandawa yang dikenal sebagai "ndugal kewarisan" rela mengorbankan dirinya demi kemenangan Pandawa. Antasena dan Wisanggeni, dua kstaria gemblung yang sakti mandraguna, tak ada yang bisa mengalahkan dua ksatria yang tak tahu tata krama ini, bahkan para dewa pun habis dihajarnya. Antasena dan Wisanggeni merupakan lambang dari kesederhanaan dan keluguan, saking polos dan lugunya, dua tokoh ini justru lebih identik dengan kata bodoh dan edan. Mereka juga terkenal dengan sifatnya yang pemberani atau bahkan mungkin sedikit terlalu pemberani. Bagaimana tidak, dua ksatria ini tidak pernah “boso” walaupun lawan bicaranya adalah orang tuanya sendiri. Namun, cerita dimana para dewa memutuskan bahwa Antasena dan Wisanggeni harus tiada agar Pandawa menang di perang Baratayudha merupakan satu kisah yang akan selalu diingat oleh para pecinta wayang, termasuk Seno dan Wira, maka tidak heran apabila malam ini, pertunjukan wayang kulit oleh Ki Kusumo ramai dibanjiri oleh para penonton.


“Koe isih eling rasane dino kae Wir?” (kamu masih ingat rasanya hari itu Wir?), tanya Seno lirih sembari mengunyah bakwan jagung di tangannya. “Yo menurutmu wae piye” (ya menurutmu aja gimana), jawab Wira ketus tanpa mengalihkan pandangannya dari pertunjukan wayang yang masih berlangsung di depan. “Deloken kae wir, akeh uwong sing nonton pagelaran wayang bengi iki, tapi sing nonton wong tuo kabeh, kiro-kiro cah enom e ki do ngopo yo?” (Liat deh Wir, banyak penonton yang nonton pagelaran wayang malam ini, tapi rata-rata hanya orang tua, kira-kira anak-anak muda pada ngapain aja ya?), tanya Seno sembari mengedarkan pandangannya ke arah para penonton di sekitarnya. “Cah enom e do sibuk karo awak e dewe, sibuk ngurusi sing ora penting, sibuk ngurusi budaya ne negoro liyo, tapi lali karo budaya ne dewe” (Anak-anak muda pada sibuk sama dirinya sendiri, sibuk melakukan hal-hal yang nggak penting, sibuk ngurusi budaya luar tapi lupa sama budayanya sendiri), Wira membalas pertanyaan Seno lagi-lagi tanpa mengalihkan pandangannya dari punggung Ki Kusumo yang masih sibuk dengan adegan perang Baratayudha. “Hahahahha, gorengan e enak wir, cobonen” (Hahahahha, gorengannya enak wir, coba deh), Seno tertawa pelan menanggapi jawaban yang dilontarkan oleh Wira.


Sinar mentari pagi menembus tirai putih pada jendela kamar Seno yang terbuka lebar sejak tadi malam. Setelah bersiap-siap, Seno pun bergegas untuk segera berangkat menuju ke kampusnya. Sesampainya di koridor, ia bertemu dengan Wira dan Wati yang tengah mengobrol di dekat mading, kemudian disapanya kedua temannya itu dan mereka bertiga berjalan menuju ke kelas bersama.


            Sehabis kelas, Seno, Wira, Wati beserta 3 orang teman lainnya berencana untuk mengerjakan tugas kelompok yang diberikan oleh dosen. “Woi cah, nggarap tugas e ning perpus ae yok” (Teman-teman, ngerjain tugasnya di perpus aja yuk), ajakan Seno mendapat anggukan dari Wira, Wati dan 2 teman lainnya, namun tidak dengan 1 orang yang tengah sibuk dengan ponsel di tangannya itu. Namanya Raka, ia tidak mengindahkan ajakan Seno namun malah berkata “Cah, sorry ya, aku ono janji karo pacarku, tugas e kalian wae sing nggarap nganti rampung, ngko gantine tak transfer masing-masing ning rekening e kalian” (Teman-teman, maaf ya aku ada janji sama pacarku, tugasnya kalian aja yang ngerjain sampai selesai, nanti gantinya aku transfer ke rekening kalian masing-masing). Sontak saja, ucapan Raka barusan mengundang amarah dari dalam diri Seno. “Wooo lhaa cah edan, cangkemmu kene sing tak bayar. Mbok kiro kabeh-kabeh e iso rampung nganggo duit?. Nak ra niat kuliah ora usah repot-repot daftar kuliah, mlebu kelas, marai repot kancane. Saiki nak koe ora gelem melu nggarap tugas e yowis lungo o kono tapi jangan harap jenengmu bakal tak tulis” (Woo lha cah edan, mulutmu sini yang ku bayar. Kamu kira semuanya bisa selesai dengan uang?. Kalau memang nggak niat kuliah gak perlu repot repot daftar kuliah, masuk kelas, cuma bikin repot yang lain. Sekarang kalau emang kamu gamau kerjain tugasnya yasudah silakan pergi tapi jangan harap namamu bakal ku tulis). Wira yang menyaksikan kejadian itu secara langsung hanya bisa geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, Wira tahu betul Seno paling benci dengan orang yang tidak bertanggung jawab, Seno juga bukan tipe orang yang akan sabar jika ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman, Seno tidak bisa basa-basi dan cenderung to the point. Seno tidak peduli dengan pandangan orang lain akan dirinya, Wira ingat betul Seno pernah berkata “Selama aku bener, aku ora bakal wedi” (Selama aku benar, akau gak akan takut), artinya, selama Seno tahu bahwa dirinya benar maka tidak akan ada rasa takut yang timbul di dalam dirinya. Kata-katanya itu benar adanya, buktinya sekarang Seno sedang nyangkem-nyangkem i Raka yang merupakan anak dari seorang rektor kampus.


            Lembayung senja mulai terlihat di hamparan langit luas kota Yogyakarta sore ini. Wira dan Seno berjalan beriringan menuju ke angkringan yang jaraknya tidak jauh dari fakultas tempat mereka menimba ilmu. Perjalanan mereka harus terhenti saat lampu lalu lintas menunjukkan warna hijau yang artinya mereka harus menunggu lampu kembali berwarna merah agar bisa melanjutkan perjalanan melalui zebra cross. Saat tengah menunggu lampu kembali merah, Wira yang bosan iseng menengok nengok ke kanan dan ke kiri, namun ia justru mendapati seorang bapak-bapak yang melakukan tindakan catcalling atau merayu seorang gadis yang tengah berdiri tidak jauh dari tempai Ia berdiri. Dari raut wajah gadis tersebut, Wira tahu bahwa ia merasa tidak nyaman dengan tindakan yang dilakukan oleh bapak-bapak di belakangnya. Bapak itu terus merayu gadis itu dengan berkata “sstt cah ayu, kok dewekan ae? melu bapak yok, mengko tak kek i duit nggo jajan” (sstt cantik, kok sendirian saja? ikut bapak yuk, nanti bapak kasih uang jajan), rayu si bapak dengan ekspresi yang tampak sangat menggelikan bagi Wira. Bahkan saat lampu sudah menunjukkan warna merah dan gadis itu hendak melangkahkan kakinya, bapak ganjen itu menahan tangan gadis tersebut yang membuatnya menjadi sangat panik. Karena sudah sangat geram Wira pun berjalan menghampiri si bapak dan menempelkan telapak tangannya yang masih gupak gorengan ke permukaan wajah bapak-bapak nggateli tersebut dan sedikit mendorongnya. “Ealahh pak, sampeyan iki uwis tuo, uwis wayahe, bukane nggolek bekel dinggo madep sing kuoso malah kurang gawean gangguni cah wadon, ckckckck eling pak… eling…” (Ealahh pak, anda ini sudah tua, sudah waktunya, bukannya nyari bekal untuk menghadap yang kuasa malah kurang kerjaan ganggu anak gadis), ucap Wira dengan santainya, sedangkan di sisi lain, si bapak tersebut menatapnya dengan tatapan heran dan marah. “He lha koe kui sopo? Bocah gemblung karo wong tuo ora boso, ora ndue tata krama!!!” (He lha kamu itu siapa? Bocah dungu sama orang tua bahasanya nggak sopan, nggak punya tata krama!!!), marah si bapak sembari menunjuk-nunjuk ke arah Wira dengan mata yang dibuka lebar. “Lho pak, sampeyan niku ora usah mbahas tata krama, lha wong tumindak e wae ora luwih becik seko kewan kok iso iso ne ngomongi tata krama. Wes saiki mending sampeyan lungo nak isih ndue rasa isin. Masalah iki nak ameh dilanjut ning jenjang sing luwih serius yo aku ora masalah lho pak, wong aku ora salah, mbak e iki sing dadi saksine” (Lho pak, anda itu gak usah bahas tata krama, perilakunya saja tidak lebih baik dari hewan kok mau bahas tata krama. Sekarang lebih baik anda pergi kalau memang masih punya rasa malu. Masalah ini kalau mau dilanjut ke jenjang yang lebih serius juga saya gak masalah lho pak, karena saya gak salah, mbak ini yang jadi saksinya). Ucap Wira tenang sambil menyunggingkan senyum tipis ke arah gadis yang ditolongnya. Setelah itu, bapak tersebut pun pergi meninggalkan Wira, gadis tersebut dan Seno yang ternyata menyimak sedari tadi. Bapak tersebut berjalan terburu-buru karena tatapan sinis yang banyak ia dapatkan dari orang-orang yang turut menyimak kejadian tadi. Seno pun berjalan mendekat menghampiri Wira dan gadis tersebut, gadis tersebut mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada Wira sambil sedikit menundukkan kepalanya, Wira pun membalasnya dengan gerakan yang canggung dan senyuman aneh yang menunjukkan bahwa ia sedang salah tingkah. Seno yang menyaksikan rangkaian kejadian tersebut dari awal hanya dapat tersenyum kecil. Ia sangat mengenali sahabat karibnya itu, Wira sangat tidak bisa melihat ketidakadilan terjadi di depan matanya. Wira memiliki pendirian yang sangat teguh, apa yang menurutnya benar akan ia perjuangkan sampai mati. Apabila ada orang yang berbuat semena-mena, ia tidak akan segan untuk menegur orang itu, tidak peduli siapa dia, apa pangkatnya, lebih tua ataupun lebih muda, jika orang tersebut berbuat salah dan merugikan orang lain, jangan harap Wira akan diam saja. Setelahnya mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju angkringan di seberang jalan untuk mengisi perut yang sudah sangat keroncongan.


            Belum lama mereka duduk di kursi kayu panjang angkringan tersebut, Seno dikejutkan dengan tangan seseorang yang menepuk pundaknya. “Haloo”, ucap Wati sembari cengar-cengir saat Seno dan Wira menoleh ke arahnya dengan tatapan terkejut. “Ooo lha Wati ngageti wae, kok koe ning kene?” (Ooo wati, ngagetin aja, kok kamu bisa disini?), tanya Wira pada Wati yang kemudian duduk di samping Seno. “Hoo, iki lho buku mu ketinggalan Wir” (Iya, ini loh bukumu ketinggalan Wir). Jelas Wati sembari mengeluarkan buku milik Wira yang berjudul “Wayang dan Karakter Manusia” oleh Ir. Sri Mulyono. “Oalahh iyoo, lali aku, suwun ya” (Oalahh iya, aku lupa, makasih ya). Setelah es teh pesanan mereka jadi dan dihidangkan, fokus mereka pun tertuju pada segelas es teh yang tampak berkilau di depan mereka. Namun, tak lama kemudian, Wati memecah hening dengan berkata “Hee cah, kalian reti kan nak aku seneng nonton wayang?” (Kalian tau kan kalau aku suka nonton wayang?), menurut Seno pertanyaan Wati ini cukup aneh, karena mereka sudah berteman cukup lama untuk Seno dan Wira mengetahui bagaimana Wati sangat menyukai wayang dan gamelan. Namun, tak ingin mengabaikan Wati, Seno pun membalasnya dengan anggukan mantap. Setelah mendapat jawaban dari kedua temannya, Wati pun melanjutkan perkataanya “Nahh kuii, selama aku kekancan karo kalian berdua, aku iki nemoni akeh banget kesamaan kalian karo tokoh favoritku, yaiku Antasena karo Wisanggeni” (Nahh itu, selama aku berteman sama kalian berdua, aku banyak nemu kesamaan kalian sama tokoh favoritku, yaitu Antasena dan Wisanggeni), mendengar ucapan Wati, Wira dan Sena pun saling menatap satu sama lain dengan ekspresi wajah yang sulit Wati artikan, namun keduanya tidak mengatakan apa-apa, jadi Wati melanjutkan spekulasinya. “Contohe ya, sing lagi wae kejadiane, mau awan, Seno nyeneni Raka amergo Raka ora gelem nggarap tugas kelompok, sedangkan kalian yo ngerti nak Raka ki anak e pak Rektor dan selama iki ora ono cah cah sing wani mbantah omongane Raka mergo wedi karo anceman e Raka sing selalu nggowo nggowo jabatane bapake. Padahal aku yakin kanca-kanca liyane yo mesti anyel karo Raka tapi mereka males nambah masalah. Sedangkan Seno, aku ra reti opo nyawamu iki ono songo opo piye kok mental e wani tenan, iso iso ne nyangkem-nyangkem ke Raka. Tapi aku salut sih karo koe sen, jujur sikap mu sing pemberani kui selalu marai aku eling karo Antasena, hahahaha” (Contohnya ya, yang baru aja kejadian tadi siang, Seno marah sama Raka karena dia gamau ngerjain tugas kelompok, sedangkan kalian sendiri juga tahu kalau Raka ini anaknya pak Rektor dan selama ini anak-anak lain gaada yang berani bantah omongannya Raka karna takut sam aancamannya yang selalu bawa bawa jabatannya bapaknya. Padahal aku yakin teman-teman yang lain juga sebel sama Raka tapi mereka males aja nambah masalah. Sedangkan Seno, aku gapaham apa kamu punya nyawa sembilan kok berani banget, bisa-bisanya ngomong gitu ke Raka. Tapi aku salut sih sam akamu Sen, jujur sikapmu yang pemberani ini selalu bikin aku teringat sama Antasena, hahahaha), jelas Wati panjang lebar dengan penuh semangat, di wajahnya tertera jelas ekspresi kagum dan penuh semangat. “Terus, lanjut, sepurane nak aku koyo penguntit, tapi aku mau ora sengojo ndelok kejadian e Wira sing nyeneni bapak-bapak ning pinggir dalan mau. Dan yo podo karo Seno, sikapmu sing mau kui marai aku eling karo kisah e Wisanggeni sing wani ngelawan dewa mergo dewa ne kui podo misahke dee mbi uwong tuone. Aku dadi curiga, jangan-jangan kalian iki titisane Antasena karo Wisanggeni, hahahahaha” (Terus, lanjut, maaf kalau aku kaya penguntit, tapi akau tadi gak sengaja liat kejadiannya Wira yang marahin bapak-bapak di pinggir jalan tadi. dan ya sama kaya Seno, sikapmu yang tadi itu bikin aku teringat sama kisahnya Wisangeni yang berani lawan dewa karena para dewa itu misahin dia sama orang tuanya. Aku jadi curiga, jangan-jangan kalian ini titisannya Antasena sama Wisanggei, hahahaha). Tutur Wati panjang lebar sembari menikmati gorengan hangat yang baru saja selesai digoreng. Wati menutup penjelasannya dengan kekehan karena menurutnya kalimat terakhir yang ia ucapkan itu sangat konyol. Tanpa Wati sadari, di sebelahnya, ada Seno yang sedang menengguk salivanya keras-keras dan Wira yang sibuk menyeka keringat dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

 

sabetan                        : gerakan wayang kulit oleh dalang

ndugal kewarisan        : nakal tapi ‘sembada’

gemblung                    : bodoh

edan                            : gila

boso                             : bahasa halus yang diucapkan oleh orang yag lebih muda kepada

  orang yang lebih tua.

cangkem                      : bahasa kasar untuk ‘mulut’

gupak                          : bekas

nggateli                       : menyebalkan (bahasa kasar)


Oleh: Aulia Yuantika Pramodya

Staff Divisi Pers dan Historiografi dan Tim Sanskerta Online 2022

Komentar