Kekerasan adalah salah satu bentuk dari pelanggaran HAM, baik itu kekerasan fisik, psikologis atau bahkan kekerasan seksual. Kekerasan seksual sering terjadi mayoritas terhadap wanita dan bahkan di lembaga formal sekalipun kekerasan seksual sering sekali terdengar. Hal ini pasti sangat mengecewakan bagi bangsa kita dikarenakan bangsa kita memiliki budaya timur yang sangat kuat dan budaya timur itu mengajarkan bahwa norma dan nilai di masyarakat sangat dijunjung tinggi apalagi terhadap perempuan.
Maka dari itu Indonesia
merancang Rancangan Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Seksual (RUU PKS)
selama bertahun-tahun dan akhirnya ketok palu oleh ketua DPR, dan keluarlah
undang-undang tindak pidana kekerasan seksual. Menurut saya pribadi hal ini
adalah angin segar bagi para korban yang pernah mendapat perlakuan biadab dari
para pelaku. Poin penting di dalam RUU PKS adalah
mencegahnya pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan
kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan kekerasan seksual
berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual dan yang terakhir
adalah perbudakan seksual. Pada RUU PKS ada yang dihapus yang tidak tercantum
pada UU PKS yaitu tentang pemerkosaan dan aborsi. Sebab dalam prosedur nya
tidak ada yang namanya layanan prosedur aborsi yang aman bagi korban
pemerkosaan, walaupun undang-undang kesehatan sudah memiliki aturan tentang
itu.
Dikutip
dari BBC Indonesia dengan judul artikel "RUU TPKS disahkan setelah berbagai penolakan selama enam tahun, apa saja poin pentingnya?" pada 12 April 2022 meski tindak pidana pemerkosaan akan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). namun
tidak ada jaminan pengaturan pemerkosaan dengan beragam jenis, cara, modus dan
tujuannya. Yang diharapkan ada dalam RUU TPKS. RUU TPKS menjadi harapan
baru.
Menurut saya pribadi memang RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) ini
memang belum sempurna namun bisa dibilang memiliki beberapa hal yang lebih
dominan atau berpihak pada korban. Dikutip lagi dari BBC Indonesia
“seperti yang di singgung Willy dalam rapat paripurna undang-undang itu mengizinkan
lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat ikut berperan dalam proses
pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual”.
Komentar
Posting Komentar