Naulitius

 


“Ruma tahu Nautilus?”

Ruma beralih menatap Ami. Laki-laki itu berbaring menatap langit-langit tanpa bintang diatas mereka. Jakarta panas seperti biasa. Bahkan di malam hari. Polusi cahaya merenggut bintang-bintang yang seharusnya bertebaran di langit. Membuat Ami dan Ruma yang seharusnya memandangi debu angkasa malah menonton kehampaan.

Ruma menggeleng.

“Mau lihat fotonya?”

“Kalau Ami menawari aku begitu artinya gambar nautilus itu sesuatu yang mungkin nggak seharusnya aku lihat.”

Ami tertawa pelan, “Nggak juga. Cuma... memang sih, ini termasuk sesuatu yang bisa membuat kamu jijik.”

Ruma mendengus.

“Nautilus itu bintang purba,” Ucap Ami. “Binatang yang udah hidup selama miliaran tahun, tapi tetap bertahan hingga saat ini. Bukankah itu menakjubkan?”

“...Kalau bentukannya menjijikkan menurutku enggak.”

“Tidak kok. Cangkangnya cantik. Mereka bisa berenang dengan cangkang seperti itu. Bentuknya lucu. Dan mereka sudah melalui banyak periode kehidupan di bumi,” Ami menatap gadis disebelahnya. “Nautilus itu disebut sebagai simbol kegigihan dan kekuatan. Mereka indah, berumur panjang dan sudah melalui banyak penderitaan.”

“Kata siapa?”

“Kata peneliti.”

“Bohong, ah. Mana jurnalnya?”

Dahi Ruma disentil. “Jangan ngelunjak kamu.”

Ruma meringis sambil cemberut. Dahinya yang disentil keras diusap pelan.

“Kalau jurnal sih aku belum nemu. Paling artikel. Kamu bisa cari sendiri.”

“Nggak mau. Nanti pasti ketemu bentuk-bentuk menjijikkan―jujur dulu. Nautilus itu wujudnya kayak apa?”

“Ubur-ubur bercangkang.”

“Ihhh!” Ruma memekik jijik.

“Terus mulutnya emang kayak kumpulan cacing-cacing cokelat susu.”

“AMIII!”

Ami tergelak. Ruma memang paling jijik sama apa-apa yang menggeliat dan tidak berbulu. Pacarnya ini suka sekali makan mi instan, tapi jijik sama cacing dan ulat yang tidak berbulu. Setiap kali disinggung soal itu Ruma selalu kesal karena menurutnya, nggak ada korelasi antara mi instan dengan cacing-cacing tanah atau lintah atau belatung yang menggeliat-geliat atau ulat hijau.

“Ada tahu. Kan kamu bilang kamu kesusahan bertobat dari kecanduan mi instan. Kalau begitu, kamu cukup membayangkan mie-mie itu sebagai cacing tanah berkuah.”

“AMI DIAM!”

Sebagai orang yang sangat visual, Ruma itu tipe manusia yang ketika seseorang membicarakan sesuatu, di kepalanya pasti langsung terbayang apa yang mereka deskripsikan seakan di kepalanya ada buku sketsa. Kadang Ami kasihan. Tapi disaat-saat seperti ini, Ami jadi punya banyak bahan untuk membercandai Ruma.

Cowok itu masih tergelak sementara Ruma terduduk di atap rumah Ami tempat mereka rebahan.

“Jadi gimana,” Ruma menepuk bahu Ami yang masih setia tergelak. “Ih Ami! Jadi gimana? Nautilus itu ubur-ubur bercangkang atau hewan purba legendaris?”

“Dua-duanya.”

“Ami!”

“Aku serius,” Ami tersenyum. “Nanti ya, kalau aku jadi ketua himpunan mahasiswa jurusanku, aku mau menamai kabinetku KABINET KANDANG NAUTILUS. Artinya, himpunan mahasiswa periodeku itu adalah tempat para makhluk indah yang gigih dan tahan banting berkumpul. KandangNnautilus.”

“Kandang ubur-ubur purba.”

“Ehehehe.”

“Hehehe,” Ruma menyindir ketus. Duduk memeluk lututnya. Mengalihkan atensinya pada kumpulan manusia yang sedang menonton layar tancap di lapangan depan rumah Ami. Ada penjual makanan disana. Aroma cireng dan gorengan-gorengan lain menguar sampai ke atap. Ruma jadi lapar.

“Mau jajan?” Tanya Ami seraya ikut beranjak.

Ruma menggeleng, “Males turun.”

Ami mendengung. “Ruma, kita itu harus menjadi seperti nautilus. Berumur panjang, tahan banting, gigih, tegar, kuat, dan indah.”

Ruma bergumam.

“Aku bersungguh-sungguh loh. Nanti kalau aku sungguhan jadi ketua HIMA, aku mau menamai kabinetku KABINET KANDANG NAUTILUS. Logonya cangkang nautilus sama perisai.”

“Nautilus itu nama yang kedengarannya cantik. Tapi jangan ditambahin kandang, Ami.”

“Nanti maknanya jadi beda dong.”

“Tetap sama. Nanti kabinet NAUTILUS. Jadi kabinet himpunan mahasiswa yang isinya orang-orang yang tegar, gigih, kuat dan indah.”

“Bagian isinya orang-orang itu harus ada kata yang merepresntasikannya dong. Kandang.”

“Rumah bisa. Rumah Nautilus.”

“Enggak. Rumah kedengarannya rancu.”

“....Rancu darimananya?”

“Kandang saja. Kandang itu udah paling tepat,” Ami nyengir. “KANDANG NAUTILUS. Keren, kan?”

Ruma menatap Ami lama.

“Ami.. sebelum naik kesini kamu kejedot ya?”


Oleh: Auriel Aldina Cahyono

Pengurus Inti Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah 2022

Komentar