Uang
Kuliah Tunggal (UKT). Segepok biaya pendidikan semester yang harus dibayarkan oleh
mahasiswa kepada kampus. Biasanya penentuan UKT ini terjadi ketika seorang
mahasiswa masih awal atau mahasiswa baru. Dalam perjalanannya, UKT ini akan
mendapatkan penyesuaian dengan beberapa kendala mahasiswa.
Satu
kata, “Mengapa!”. Ternyata hanya mahasiswa normal—tidak bidik misi atau tinggal
sidang—yang orang tuanya meninggal saja yang bisa mengajukan penyesuaian UKT?
Pertanyaan besar saya terhadap otoritas kampus. Bagaimana penyesuaian UKT untuk
mahasiswa non-bidik misi hanya sekedar itu saja?
Penyesuaian
UKT Problematik. Satu kata yang saya tuliskan. Seharusnya pihak otoritas kampus
melihat dengan seksama apa yang terjadi dalam kurang lebih 2 tahun. Benar, ada
pandemi covid-19. Ekonomi melemah dan pusingnya lagi biaya kebutuhan naik.
Tidak
seharusnya kampus melakukan kebijakan demikian. Apakah tak melakukan riset
terlebih dahulu dengan data yang telah didapatkan pada masa pandemi Covid-19.
Berapa jumlah mahasiswa yang ekonominya terdampak? Berapa jumlah mahasiswa yang
kondisi sosialnya berubah? Ini cukup aneh. Mengapa data demikian tak Tuan-Puan
manfaatkan.
Melihat
konteks secara umum, bahwa nyata adanya terdapat kelesuan ekonomi. Banyak
berita menyebutkan bahwa tingkat ekonomi masyarakat saat pandemi Covid-19
mengalami penurunan. Bukan salah pemerintah jua, karena memang hampir seluruh
negara mengalaminya.
Masyarakat
juga mengalami kesulitan. Ini terdapat pada cara mendapatkan hal penunjang
sehari-hari dengan harga terjangkau. Mulai dari bensin jenis Pertalite
yang murah, namun harus antre—bahkan tak kebagian—panjang. Pertamax yang
harganya naik. Minyak goreng yang mahal.
Dengan
kondisi demikian, maka kampus sebaiknya melakukan penyesuaian ulang. Mungkin,
sudah banyak juga yang membayar dengan cara diangsur atau langsung. Tapi dalam
hati pasti mereka akan berpikir, mengapa kampus tidak melakukan kebijakan penyesuaian
mahasiswa normal lewat sosial-ekonomi.
Penyesuaian
UKT Yang Lalu, Mungkin Solusi Yang Baik.
Sudah
namanya kritik, pasti ada saran. Meskipun saran saya ini “begitu adanya”
setidaknya dengan halus saya bersuara. Mengapa kebijakan UKT yang lalu tidak
digunakan? Apa susahnya menggunakan kebijakan yang pas dan diterima dengan
baik.
Penyesuaian
UKT yang lalu dengan segala proses administrasi yang perlu waktu, nyatanya
cukup membantu. Adanya penurunan UKT untuk keluarga mahasiswa yang terdampak sosial
ekonomi, sudah berarti cinta kasih. Mungkin syarat yang diperlukan cukup ribet,
tak apa kampus juga butuh verifikasi resmi pihak terkait.
Dengan
kondisi ekonomi negara yang tak pasti, sudah seharusnya kebijakan seperti ini
terus diberlakukan. Jangan malah dihentikan. Mahasiswa juga perlu kebutuhan.
Tak hanya UKT saja. Biaya hidup lainnya juga perlu dipikirkan. Mana wujud
kasihmu yang dulu, Tuan-Puan.
Pengisian
penyesuaian dan pembayaran mungkin telah berlalu dan sedang berjalan. Tapi
saran dan masukan dari mahasiswa untuk selanjutnya harus didengar. Jika tak
bisa dilakukan perubahan sekarang, setidaknya selanjutnya akan datang.
Mengenai
mahasiswa bidik misi, saya ikut mendukung apa yang mereka suarakan. Saya hanya
membayangkan jika berada diposisi demikian, pasti akan kecewa jua. Saya
berharap, suara kawan dapat didengar oleh Tuan-Puan pemegang kebijakan.
Pungkasan
dari opini ini
Tulisan
yang saya gayungkan memang telat. Seharusnya saya keluarkan dan tuliskan ketika
masa banding berlangsung. Tapi tak apa, lebih baik bersuara daripada tidak sama
sekali. Bagi yang sedang memperjuangkan penyesuaian
UKT lagi, saya mengucapkan salam perjuangan dengan mengutip Tere Liye. Kalimat
yang ditulis dengan tokoh penulis yang diceritakan sebagai Sutan Pane “Jangan
berkecil hati, Kawan, jika hari ini suaramu jauh dari lantang dan didengarkan...”.
“Kita akan melangkah bersama. Saling menguatkan, saling mendukung. Ayo. Mari kita
perbaiki” (Selamat Tinggal, GPU, 2020).
Penulis: Fajar Wahyu Sejati
Opini pribadi menulis
Komentar
Posting Komentar