Penulis: Auriel Aldina Cahyono
Perempuan itu,
nama depannya Napoleon. Nama yang pasti membuat orang-orang mengangkat alis
ketika pembacaan absensi karena yang mengangkat tangan malah perempuan. Dia
orang Indonesia. Sama sepertiku. Mahasiswa berdarah asing yang belajar di
Belanda. Bedanya, aku dibesarkan di sini sejak SMP mengingat Ayahku berdarah
Belanda, sementara dia awardee
program pertukaran pelajar Indonesia. Di luar dugaanku bahasa belandanya cukup
bagus walau patah-patah. Aku bertemu dengannya di kelas sejarah. Tubuhnya yang
kecil terlihat sangat menonjol sekaligus tenggelam di lautan manusia berbadan
jangkung. Orang belanda itu tinggi rata-rata laki-lakinya seratus delapan puluh
enam sentimeter, aku sendiri sebagai blasteran Belanda terhitung di bawah
rata-rata karena Cuma seratus delapan puluh tiga. Tapi itu saja di Indonesia
aku sudah merasa seperti raksasa. Sejujurnya, aku penasaran apakah Napoleon
kewalahan dengan tinggi badannya yang terbilang cebol untuk ukuran ras kaukasia. Kadang aku kasihan melihat
dia kelihatan tersesat dan kebingungan tanpa alasan karena rekan awardee Indonesia yang diterima di Leiden
tidak banyak. Kalaupun ada major yang
mereka ambil berbeda. Biarpun begitu, aku enggak berani mengajak dia bicara
sampai ketika aku melihat dia kesulitan meraih buku di rak yang tempatnya cukup
tinggi.
Tanpa bicara,
aku mengambilkan buku tua itu untuknya. Dadaku menyentuh punggungnya. Dan di situ,
aku mencium aroma manis dan lembut yang asing di hidungku. Aroma itu membuatku
terpana. Sama terpananya dengan dia yang tercengang menemukan aku berdiri
menjulang di belakangnya.
“em... ini.”
Aku menyerahkan buku itu.
Dia
terbelalak, “....kamu bisa bahasa Indonesia?”
“itu yang
pertama kamu tanyai?”
Wajah congonya
menggemaskan. Napoleon memeluk buku itu di dadanya dan kebingungan setengah
mati. Dia panik, benar-benar bingung enggak tahu harus ngomong apa. Aku
terkejut bisa menemukan orang yang mudah dibaca kayak dia. Isi kepalanya
tertulis semua di muka.
“ma-makasih
banyak...”
“sama-sama,”
aku mengusak-usak hidung, aroma manis tadi masih menghantui indra penciumanku.
Napoleon
mundur sampai punggungnya menabrak rak buku. Dia menunduk, menggumamkan permisi
lalu melipir pergi. Meninggalkan aku yang menatapi punggung sempitnya sampai
menghilang dibalik pintu perpustakaan. Itu pertama kalinya aku menemukan perempuan
yang aroma parfumnya manis dan lembut. Manisnya tidak seperti kue. Aku hampir
yakin itu aroma bunga yang tidak seperti aroma bunga. Jarang-jarang ada bunga
yang aromanya manis.
“ma, bunga apa
yang baunya manis?” aku bertanya pada Mama begitu sampai di rumah. Mama sedang
sibuk menyiapkan makan malam ketika aku tiba di dapur.
Mama
mengerjap. Mama heran aku tiba-tiba bertanya tapi tetap menjawab, “bunga manis?
Apa ya... memang ada? Manis yang kayak bagaimana?”
“kayak kue,
tapi kalo dicium itu kita tahu itu bau bunga.”
“Mama belum
pernah dengar ada bunga yang kayak itu,” kening Mama berkerut. Setelah pertanyaanku
menemui jalan buntu, aku memutuskan untuk melupakan pertanyaan itu dan pergi ke
kamar. Berbaring di tempat tidurku, memandangi langit-langit kamar sambil
merenungkan kehidupan dan mengira-ngira bunga apa yang menjadi aroma parfum
Napoleon.
Humor juga sebenarnya,
ada orang bernama Napoleon yang memakai parfum manis. Napoleon si pemimpin
revolusi Prancis pasti sedang berguling-guling di kuburannya sekarang. Lagian
siapa pula yang memberi nama anak perempuan mereka Napoleon?
Besoknya, aku
menemukan Napoleon sudah tiba di kelas dan duduk di bangku paling belakang. Aku
duduk di sebelahnya. Napoleon terperanjat kaget yang hanya kubalas dengan anggukan.
“halo.” Aku menyapa.
“ha-halo...” dari
tempatku duduk aku bisa mencium aroma manis yang lembut itu lagi. Aku tidak
bisa mengenyahkannya dari kepalaku. Aromanya asing, tapi enak. Jadi
kuingat-ingat terus. Berada di sebelah Napoleon dan mencium wangi itu lagi
sebenarnya membuat kepalaku agak terbang.
Napoleon
lantas mengembalikan atensinya pada sebuah buku tua di meja. Buku itu diberi
banyak penanda. Kuamati, sudah terbaca hampir separuhnya. Padahal buku itu baru
dipinjam kemarin. Di saat-saat seperti inilah aku suka badanku yang tinggi. Aku
mencuri pandang buku yang Napoleon baca dari atas. Di sana aku melihat pembahasan
soal bunga melati putih. Di mana bunga itu bisa ditemukan dan kepercayaan apa
saja yang membayangi bunga itu.
Ah, di situ
aku berpikir, mungkin pemikiranku yang terus tertuju pada bunga saat mencium
aroma parfum Napoleon dan buku bunga yang sedang dia baca mungkin bukan
kebetulan.
Sejak itu aku
dan Napoleon selalu duduk bersebelahan. Kami Cuma saling menyapa, enggak pernah
mengobrol. Selama empat hari aku duduk di sebelah Napoleon, aku mulai
memperhatikan banyak detail-detail kecil dari gadis yang aromanya manis tapi
lembut itu. Napoleon sepertinya suka bunga. Dia selalu memakai sesuatu yang ada
aksen bunganya. Apa pun itu. Buku catatan yang sampulnya bunga sakura dan
berwarna merah muda. Empat pita rambut berbeda yang sama-sama memiliki hiasan
bunga ―ada yang motif kainnya bunga, ada yang pitanya agak besar terus dibordir
motif bunga―, jepit rambut yang juga dihiasi bordir bunga, gaun katun yang sering
kali ada motif dan aksen bunganya. Apa pun yang bisa kamu pikirkan. Kehadiran
bunga pada Napoleon tidak berlebihan. Normal. Tapi untuk aku yang tinggal di
Belanda dan orang-orangnya kurang suka benda-benda bermotif ramai dan
ekspresif, hal itu jelas baru. Napoleon sering mengabaikan aku. Kadang aku
merasa dia menganggap aku udara sepanjang kelas dan baru memperhatikan
eksistensiku waktu kelas selesai. Sebagai laki-laki tampan yang sering membuat
perempuan tersipu, aku tersinggung.
Kuterdiamkan
damai antara aku dan Napoleon pecah di hari keenam. Napoleon datang ke kelas
mengenakan gaun katun klasik selutut yang berenda. Rambutnya diikat separuh
dengan pita berhias bordiran bunga matahari. Segalanya baik-baik saja sampai
hidungku mencium aroma asing.
“kamu ganti
parfum?” tanpa kusadari aku sudah bertanya spontan.
Buku catatan
dalam genggaman Napoleon terjatuh, mata hitamnya terbelalak.
“maaf?”
Sudah kepalang
basah, gasin aja. “kamu ganti
parfum?”
Napoleon enggak
langsung menjawab. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas yang masih
sepi. Seolah memastikan kalau aku memang bicara sama dia dan enggak salah orang.
“iya,”
Napoleon terbatuk. Aku enggak tahu kenapa dia kelihatan enggak nyaman ketika
menyebutkan parfum melati. “Em... mumpung lagi di Belanda juga kan? Kalo di
Indonesia aku enggak bisa pakai parfum melati kecuali kalo aku punya niat buat
pura-pura jadi hantu.”
“pura-pura
jadi hantu?”
“di Indonesia,
kalo kita cium bunga melati artinya di dekat kita ada setan. Kalo enggak
sesajen atau apa pun itu.”
“sesajen itu
apa?”
“semacam
tradisi persembahan. Ritual menyembah roh leluhur dan hantu. Aku juga enggak
begitu paham.”
“padahal bau
melati enak kok. Sama kalian malah dipakai buat ritual hantu. Sayang.”
Napoleon
tertawa kecil, “kamu bisa bahasa Indonesia tapi enggak tahu sesajen sama bau
melati yang bisa menarik hantu. Memang di sana umumnya kayak itu. Bunga biasa
dipakai sebagai pelengkap ritual. Walaupun di setiap ritual bunganya beda-beda,
tapi seringnya bunga melati pasti ada. Terus ya... memang ada kepercayaan lokal
soal kuntilanak yang tanda-tanda kedatangannya bau melati.”
Pembicaraan ini menarik. Aku sudah lama tinggal di Belanda dan kalaupun pulang ke Jakarta ketemunya sama keluargaku yang anti mistis. Di Indonesia, kami punya rumah di kawasan orang sibuk, jadi enggak punya waktu atau teman mengobrol untuk memperhatikan hal-hal kayak bau melati atau hantu. Aku sontak membuka Hp dan bertanya pada guru sejuta umat, internet. Di sana aku menemukan sosok kuntilanak yang dimaksud Napoleon. Setan wanita buruk rupa berpakaian putih yang katanya suka menghisap darah ibu hamil.
Napoleon
melongok ke ponselku lalu tergelak, “loh sama kamu dicari!”
“aku
penasaran,” tukasku. Masih mencari-cari di google
soal penjelasan bau melati dan kuntilanak.
Napoleon
menahan tawa. Menutupi wajahya dengan lengan panjang pakaiannya. Setelah
berhasil mengendalikan kegeliannya, Napoleon berkata, “mereka warnanya ada
banyak loh.”
“bunganya?”
“bukan.
Kuntilanaknya.”
“ha?” aku
tidak habis pikir. Buat apa setan satu jenis warnanya ada banyak? Kenapa
leluhur separuh darahku yang Indonesia tidak kreatif? Kenapa ketika ada banyak
wanita yang meninggal dengan alasan tidak wajar mereka malah menjadi hantu yang
bisa di generalis?
Seakan membaca
isi hatiku yang ku jeratkan lewat tatapan mata, Napoleon tersenyum lembut.
Menjelaskan perbedaan kuntilanak padaku bak guru menjelaskan satu tambah satu
pada anak TK, “kuntilanak itu beda warna karena alasan kematian, usia dan
kekuatan mereka. Kalo yang merah biasanya yang waktu mati masih menyimpan
dendam, yang kuning itu karena punya nafsu tinggi pas jadi manusia terus
meninggal enggak wajar, yang putih... aku kurang tahu, kalau yang hitam itu
biasanya ratu kuntilanak.”
“...mereka
punya ratu?”
“punya,” Napoleon
tersenyum geli mendengar pertanyaanku yang pasti terdengar bodoh. Ia menyambung,
“ratu kuntilanak itu biasanya yang umurnya paling tua terus paling kuat juga.
Di buku yang aku baca, biasanya kalo kuntilanak itu tampilannya seram ―kayak
punya lidah panjang, rambut berantakan segala macam― ratu kuntilanak itu cantik
banget. Mereka pakai mahkota,” Napoleon menepuk gepuk puncak kepalanya,
“biasanya yang jadi kuntilanak hitam itu yang hidup di zaman dulu banget, terus
pas semasa hidup mereka mempraktikkan ilmu hitam. Ada yang sampai membunuh
banyak orang, memakan anaknya sendiri. Banyak dosa dan perbuatan kejinya.”
Aku
mendengarkan lamat-lamat sebelum memutuskan, kalau kejahatan ratu kuntilanak
itu tidak menjadikan wangi bunga melati pantas untuk digunakan sebagai aroma
paten para hantu wanita berjenis serupa beda ragam itu. Aku menggeleng tidak
habis pikir, tapi tetap mencari gambar kuntilanak hitam di Google.
“coba kamu
buka Youtube aja. Cari Kisah Tanah
Jawa. Mereka suka bahas soal begituan.” Napoleon mendekat sedikit. Aroma parfum
bunga melati menyeruak. Wangi. Aku memiringkan Hp supaya Napoleon bisa melihat
layarnya juga. Yang tidak Napoleon sadari adalah, ketika seorang pria jawa
bertutur kata halus bercerita soal sejarah kelam sebuah benteng bernama Benteng
Pendem, mataku tidak tertuju pada layar tapi pada wajahnya yang dipoles bedak
tipis dan perona yang membuat tatapan matanya menjadi halus.
Aku menemukan
diriku berujar, “Kita belum kenalan”
Napoleon
mengangkat kepalanya yang semula tertunduk. Kami bertatapan. Mata hijauku
bertemu matanya yang sehitam arang. Wajah kami dekat. Seharusnya aku merasa
tidak nyaman karena merundukkan kepalaku sedemikian rupa, tapi aku tidak bisa
memalingkan pandanganku dari Napoleon.
“kamu dulu,”
Ia berkata pelan.
“Sabarthan Novelius
Winchester.”
“Sabar?”
Aku
mengernyit. Napoleon malah membuat namaku terdengar kampungan. Mirip nama
bapak-bapak penjual nasi goreng pengkolan di Manggarai. “Arthan.”
“Oh...
Arthan,” Napoleon mengulang namaku. Bak mengecap namaku di lidahnya supaya
lebih familier.
“Kamu?”
“Napoleon Lagu Laburnum.”
Lagu.
Aku menggerakkan mulut. Mengecap nama itu di lisanku tanpa menyuarakan. Nama yang pastinya bakal sulit diucapkan oleh orang belanda karena pelafalan huruf G kami agak berbeda. Lagu. Sebuah karya yang menggabungkan seni suara dan seni bahasa. Melibatkan melodi dan warna suara penyanyi. Sebuah karya yang hadir dari curahan emosi seorang musisi.
Nama depannya menggelikan. Tapi nama tengah dan nama belakangnya indah.
Setelah itu,
pertemananku dan Lagu mengalir begitu saja. Lagu lebih akrab dipanggil dengan
nama tengah. Kecuali di Belanda, orang sering enggak peduli sama nama depannya.
Toh orang Indonesia memang kurang tahu sejarah. Mereka enggak menganggap nama
Napoleon itu Big Deal. Anggapannya
paling nama-nama klasik atau nama aneh yang dikasih orang tua ke anak biar
keren. Aku sering menghabiskan waktu dengan Lagu ―teman-temanku memicingkan
mata dan menuduh aku melupakan mereka karena dapat gebetan baru―. Kalau aku
sih, bilang ke diriku sendiri kalau Lagu kasihan misal ditinggal sendirian. Dia
sering canggung waktu berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Waktu
kutanya kenapa, Lagu menjawab kalau dia merasa terintimidasi saja. Orang-orang
di sini tingginya di atas rata-rata. Dia pendek. Jadi ada rasa takut di alam
bawah sadar Lagu yang susah dihilangkan.
Saat aku
sadar, kami sudah sering ke mana-mana berdua. Aku menjelma jadi tur guide Leiden untuk Lagu. Lagu enggak
meminta. Aku yang menawarkan. Mungkin dia merasa nyaman karena akhirnya punya
kenalan orang lokal yang fasih berbahasa Indonesia. Kubawa dia ke tempat-tempat
kuno di kotaku dan menunjukkan padang bunga yang menjadi komoditas kebanggaan
kami. Lagu suka bunga. Makanya dia memilih Leiden dan Belanda. Lagu paling
bahagia ketika dia kubawa ke padang bunga setelah kami sibuk mengerjakan tugas.
Tidak seperti kebanyakan orang yang meminta berfoto di tempat-tempat aesthetic lalu mengunggahnya ke Instagram. Lagu hampir tidak pernah menyentuh
ponselnya selama kami di luar. Dia mengamati bunga dengan mata. Menelan
hamparan bunga warna-warni dengan pandangannya. Menurutku itu mengagumkan.
Masih ada orang yang bisa menghargai keindahan alam tanpa keinginan untuk
mengunggahnya ke dunia maya. Tidak mencampurkan realitas palsu sosial media dengan
realitas tempat dia hidup dengan sesama manusia.
Komentar
Posting Komentar