Mengenal Pesawat B-17 Flying Fortress: Sang Benteng Udara

 Oleh: Yoga Widya Kencana

Editor: Artaqi Bi Izza Al Islami

(Pesawat B-17 Flaying Fortress. Sumber: Wikipedia)

Penyerangan Jepang terhadap pangkalan Pearl Harbour milik Amerika Serikat membuat Amerika menarik sikap netral mereka terhadap konflik Perang Dunia 2. Amerika Serikat dengan kekuatan industri militernya yang besar mulai mengembangkan teknologi perang mereka, baik teknologi tempur darat, laut, dan juga udara. Salah satu teknologi perang yang dikembangkan adalah teknologi tempur udara atau bisa kita ketahui dengan hadirnya pesawat tempur. Pesawat tempur yang diciptakan memiliki fungsi dan peran masing-masing. Mulai dari pesawat yang digunakan untuk pengangkut barang, pengebom atau bomber, serta pesawat tempur atau fighter. Dari berbagai pesawat militer yang dibuat Amerika, hadir pesawat militer yang dianggap memiliki peran penting dalam kemajuan perang bagi mereka. Pesawat militer itu adalah Pesawat Boeing B-17 dari kelas bomber atau pesawat tipe pengebom.

Pesawat Boeing B-17 adalah pesawat pengebom strategis yang dirancang oleh Boeing Aircraft Company di Amerika Serikat. Awal mula kehadiran pesawat B-17 ini dimulai dari hadirnya sebuah proposal dari Korps Udara Angkatan Darat Amerika yang menyerukan adanya pesawat pembom dengan bermesin empat pada 8 Agustus 1934. Menanggapi proposal tersebut Amerika Serikat melalui Boeing Aircraft Company mulai melakukan pembuatan tipe pesawat tersebut. Pertengahan tahun 1935 tepatnya pada 28 Juli 1935, pesawat pembom prototype pertama berhasil melakukan uji coba penerbangan dan mulai memasuki produksi pesawat dalam skala kecil pada tahun 1937. Meskipun berhasil dalam melakukan percobaan, pesawat pembom B-17 mengalami beberapa kali penyempurnaan mulai dari B-17A, B-17Bs, hingga B-17G. Pesawat pembom B-17 ini dioperasikan dengan diawaki oleh sepuluh orang mulai dari pilot, ko-pilot, navigator, flight engineer, bombardier, serta juru tembak. Untuk perlengkapannya sendiri terdiri dari 13 senapan mesin Browning M2 dengan peluru berkaliber 12,7 mm lalu untuk daya angkut bom dibagi menjadi dua yaitu untuk misi berjarak pendek dengan kapasitas bom 3.600 kg dan untuk jarak jauh berkapasitas 2000 kg.

Selama masa Perang Dunia 2, pesawat B-17 ini telah diproduksi sebanyak 12.731 unit dan dari jumlah keseluruhan tersebut mengalami kehilangan sebanyak 4.735 unit. Dalam aksi pengeboman, pesawat B-17 telah berhasil menjatuhkan bom sebanyak 640.000 ton dalam berbagai misinya. Selama melakukan misi pemboman di front Pasifik dan juga Eropa, pesawat B-17 bergerak dalam satu kawanan besar. Hal ini bertujuan untuk saling melindungi dari serangan pesawat tempur musuh dan serta mengurangi kebebasan manuver dari pesawat musuh. Dan juga dalam mendukung aksinya, terkadang B-17 dikawal atau didukung oleh pesawat tempur P 51 Mustang atau Republic P-47 Thunderbolt. Sehingga dengan bentuk formasi tersebut, pesawat ini mendapatkan julukan sebagai “Flying Fortress” atau benteng udara karena bergerak dalam kawanan besar serta dilengkapi dengan beberapa senapan mesin pada pesawat tersebut. Bahkan dari kalangan peminat kedirgantaraan pesawat ini mendapatkan julukan “Queen of the Skies”.

Pesawat B-17 juga pernah beroperasi di kawasan Hindia-Belanda. Sebagai bagian dari Grup Operasi 7 dan 19, pesawat-pesawat B-17 ikut serta mempertahankan Hindia-Belanda dari serangan Jepang. Pesawat-pesawat B-17 ini membom pasukan invasi Jepang di Balikpapan. Tapi karena superioritas udara Jepang di Hindia-Belanda, satu persatu pesawat ini pun ditembak jatuh ataupun rusak, sementara pasukan Jepang terus merengsek masuk.

Pada bulan Maret 1942, pesawat pembom terakhir AS melarikan diri dari Jawa sebelum serangan Jepang. Pesawat-pesawat yang rusak yang ditinggalkan tampaknya tidak lebih dari rongsokan yang tidak berharga bagi Sekutu, tetapi bagi Jepang itu merupakan temuan berharga. Di Jawa mereka menemukan sisa-sisa 15 B-17E. Menurut Torao Saito, editor penerbangan dari Asahi Press yang mengunjungi pangkalan-pangkalan yang direbut di Jawa, ia menghitung empat B-17E yang siap untuk diterbangkan, satu di Malang, satu lagi di Cirebon dan dua pembom lagi di Bandung. Dengan bantuan mekanik Belanda dan pribumi yang ditangkap, yang sebelumnya ditugaskan di lapangan terbang, teknisi Jepang kemudian meneliti sistem avionik di pesawat B-17.

Diakhir Perang Dunia 2, pesawat B-17 diambil alih tugas mereka oleh pesawat pembom yang lebih kuat yaitu B-29 Superfortress yang memiliki ukuran lebih besar dari B-17. Bahkan setelah berakhirnya perang, pesawat B-17 diubah tugasnya dan fungsinya menjadi pesawat penyelamat serta pencarian dan dimodifikasi untuk menjatuhkan rakit penyelamat. Namun dengan seiring berkembangnya teknologi pesawat yang telah tergantikan dengan mesin jet. Sebagian besar pesawat B-17 ini mengalami pembongkaran, penelitian bagi angkatan udara, atau dijual di pasar surplus. Meskipun begitu ada beberapa pesawat yang dimasukan kedalam museum seperti di museum Smithsonian yang berada di Washinton DC, Amerika Serikat untuk mengenang pesawat B-17 Flying Fortress yang telah membawakan peran penting dalam kemajuan pertempuran bagi pihak sekutu selama masa Perang Dunia 2.


Referensi:


Komentar