Pendidikan Masa Politik Etis

Oleh: Juwita Panggabean

Editor: Raihan Risang A.P.

Ilustrasi: Maytri Zahra


        Pada awalnya pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah untuk masyarakat pribumi karena politik etis yang dikeluarkan oleh ratu Belanda Wilhelmina, hal tersebut tentunya tidak lepas dari adanya kritikan terhadap Belanda yang telah mengambil keuntungan banyak dari pribumi dalam jangka waktu yang lama. Tentu saja menyebabkan kemelaratan cukup berat bagi rakyat Indonesia. Maka dari itu lahirlah politik etis dengan tujuan untuk memberikan balas budi kepada rakyat pribumi melalui berbagai kebijakan yaitu dibidang irigasi, edukasi dam imigrasi. Sejak diterapkannya politik etis, pendidikan pribumi di Indonesia sudah mulai maju dan berkembang. Melahirkan kaum terdidik pribumi dalam jumlah yang banyak dari sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa politik etis sangat memiliki dampak yang besar bagi revolusi Indonesia serta perjuangan kemerdekaan Indonesia.


      Politik etis diberlakukan hanya untuk formalitas saja, ternyata dalam pelaksanaan kebijakannya hanya untuk memenuhi kebutuhan para kolonial saja bukan untuk mensejahterakan pribumi. Sedangkan sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh pihak Belanda juga bertujuan untuk kepentingan pemerintah Belanda pada masa itu. Para pemerintah Hindia Belanda memfokuskan politik etis pada pendidikan karena pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam kemajuan pemerintahan dan juga untuk mencari keuntungan ekonomi. Pada mulanya sekolah dibuka akibat dari kurangnya tenaga kerja dan pegawai pemerintahan yang dibutuhkan. Perkembangan pendidikan dalam jumlah yang besar memungkinkan para kolonial untuk mempercepat tumbuhnya lembaga-lembaga yang dibutuhkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Para pribumi yang telah lulus dari sekolah nantinya akan bekerja untuk pemerintahan Hindia Belanda, sedangkan rakyat biasa akan bekerja menjadi pekerja kasar atau pekerja rendahan tentunya upahnya lebih sedikit.


        Politik etis yang tujuannya untuk memberikan balas budi terhadap rakyat Indonesia dengan berbagai kebijakan, salah satunya pendidikan nyatanya terjadi penyimpangan dan diskriminatif. Hal ini terlihat dari sekolah-sekolah yang dibangun oleh pihak Belanda berdasarkan status sosial dan ras : Eropa, Arab, Cina dan India. Pendidikan diselenggarakan terlihat diskriminasi seperti sekolah yang diberikan pada golongan elite sangat berbeda dengan sekolah yang diberikan kepada golongan rakyat biasa sehingga terjadi ketimpangan pendidikan. Sekolah tersebut terlihat sangat diskriminatif terhadap pendidikannya, seperti kurikulum, guru, fasilitas dan media pembelajaran yang digunakan berbeda antara sekolah golongan bangsawan dengan sekolah golongan pribumi biasa. Sekolah bangsawan jauh lebih baik dari sekolah pribumi biasa. Belanda menganggap bahwa pendidikan digunakan untuk mempertahankan perbedaan sosial bukan untuk mobilitas sosial.

(sekolah bangsawan Belanda)

     Sekolah-sekolah ini memiliki dua aliran pemikiran dalam menjalankan pendidikannya. Pertama pemikiran Snouck Hurgronje dan J.H Abendanon (Direktur Pendidikan) mereka menginginkan pendidikan yang diberikan kepada pribumi memakai bahasa Belanda sebagai pengantar. Tujuannya untuk membentuk dan mempermudah kerjasama antar pribumi dan orang Eropa. Kedua yaitu pemikiran Idenburg dan Gubernur Jenderal Van Heurtz yang mendukung pendidikan pribumi dengan menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar bagi kalangan bawah.



         Pemerintah Hindia Belanda tidak hanya memberikan pendidikan di wilayah kota saja namun juga di wilayah desa. Sekolah desa atau volkschool yaitu sekolah untuk rakyat pribumi di desa dengan studi ditempuh selama tiga tahun, kurikulum yang diajarkan juga membaca, menulis dan berhitung. Bagi siswa yang terpilih akan melanjutkan pendidikannya ke vervolgschool selama dua tahun. Murid yang terpilih tersebut akan diberi kesempatan untuk mengikuti ujian sebagai syarat untuk bisa mendapatkan pendidikan yang bercorak Belanda melalui schakel atau disebut juga sekolah peralihan. Selain itu juga ada beberapa sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda yaitu sekolah kelas satu dan sekolah kelas dua. Sekolah kelas satu didirikan hanya untuk anak-anak bangsawan dengan masa studi selama 5 tahun dengan menggunakan bahasa Belanda. Sekolah ini kebanyakan berada di pulau Jawa dengan kurikulum yang digunakan bersifat teknis seperti membaca, menulis dan berhitung. Pada tahun 1912 sekolah ini berganti nama menjadi HIS (Hollandsch Inlandsche School) diperuntukkan untuk para pribumi yang merupakan keturunan bangsawan dan keturunan orang terpandang pada masa itu. 


       Sedangkan sekolah kelas dua muncul karena ketidakmampuan Belanda membiayai sekolah bagi seluruh rakyat Indonesia. Kurikulum yang digunakan tidak berbeda dari sekolah kelas satu hanya saja ada penambahan pelajaran bahasa Melayu dan bahasa daerah lainnya sebagai komunikasi pembelajaran. Sekolah ini untuk kalangan pribumi menengah dan kebawah. Selanjutnya ELS (Europeesche Lagere School) yang dikhususkan untuk keturunan Belanda, Eropa dan elit pribumi. HCS (Hollandsch Chinees School) untuk keturunan Cina dan Belanda. Sekolah tersebut memiliki murid yang status sosialnya berbeda dan juga setara dengan sekolah dasar (SD) yang belajar selama tujuh tahun.


        Untuk sekolah yang setara dengan SMA (Sekolah Menengah ke Atas) yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) sebagai sekolah lanjutan dari sebelumnya yaitu ELS untuk empat tahun jenjang pendidikan yang mana satu tahunnya digunakan untuk masa persiapan. Berikutnya AMS (Algemeene Middelbare School) jenjang pendidikannya selama tiga tahun. Dan terakhir ada HBS (Hoogere Burgerschool) untuk orang-orang Eropa, Belanda, Tionghoa, dan rakyat pribumi dari status sosial yang tinggi. Lama pendidikan yang ditempuh dalam belajar selama 5 tahun. Sekolah-sekolah tersebut menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dalam memulai kegiatan ajar mengajar di sekolah. 


        Jenjang perguruan tinggi ada yang namanya STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen) merupakan sekolah kedokteran di Batavia yang diperuntukan untuk pribumi agar menjadi dokter dan juga ada NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) sekolah kedokteran di Surabaya. Selain itu ada juga sekolah kejuruan yang dibuka karena kebutuhan dari tenaga kerja bagi pemerintah Hindia Belanda. Salah satu sekolah kejuruan dibidang keguruan yaitu Kweekschool dan Hogere Kwekschool. Dalam bidang teknik ada THS (Technische Hoge School) di Bandung dan di Batavia ada Rechskundinge Hoge School. Untuk mendidik pamong pribumi ada sekolah OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambrenaren) yang bergaya barat. Perguruan tinggi pada masa Hindia Belanda tidak lagi memandang ras, semua masyarakat yang ada di Hindia Belanda dapat memperoleh pendidikan perguruan tinggi. Meskipun akses untuk mendapatkan pendidikan bagi pribumi sangat sulit namun partisipan pendidikannya tinggi.



Sumber:


Dalman, A. (2012). Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX. Yogyakarta : Ombak.


Mudyahardjo, R. (2006). Pengantar Pendidikan : Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.


Nasution, S (2014). Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.


Pringgodigdo, A,K. (1994). Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta : Dian Rakyat.


Rutgers, S. J. (2012). Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Yogyakarta : Ombak.


Vickers, A. (2011). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Insan Madani.

Komentar