Dibalik Layar Kemerdekaan : Peran Istri Para Pejuang

Oleh: Fadhila Husna Asri
Editor: Raymizard Alifian F.


        Kemerdekaan yang diraih Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 lalu, tidak terlepas dari peran para pejuang kemerdekaan. Pahlawan telah menjadi sosok sentral dalam historiografi Indonesia. Bahkan setiap tahunnya presiden Indonesia menganugerahkan gelar pahlawan nasional bagi para pejuang kemerdekaan. Sudah banyak tulisan dan catatan mengenang perjuangan pahlawan seputar kemerdekaan seperti kisah Jenderal Sudirman, Ahmad Soebardjo, dan lainnya. Dibalik tokoh-tokoh besar tersebut pastinya terdapat sosok pendukung yang mengiringi langkah perjuangan mereka. Istri, menjadi sosok terdekat yang berperan penting dalam setiap gerilya para pahlawan kemerdekaan. Dalam historiografi perempuan di Indonesia sejauh ini masih mengulas seputar sosok perempuan dalam perjuangan fisik (perang), juga seputar perempuan-perempuan yang terlibat perjuangan secara sosial-budaya seperti Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan perjuangan emansipasi wanita dari RA Kartini. Singkatnya peran perempuan sebagai sosok istri tidak banyak diulas dalam penelitian sejarah yang telah berkembang. Meskipun sudah banyak artikel bahkan buku yang mengulas tentang istri sang Presiden pertama, Ir. Soekarno. Namun, di sisi lain masih ada sosok istri pahlawan kemerdekaan lainnya yang belum mendapat kesempatan diulas dalam historiografi sejarah Indonesia Merdeka atau pernah diulas dalam jumlah yang minim.


(Ilustrasi perempuan dibalik layar kemerdekaan)



        Dimulai dari Siti Alfiah, sosok hebat dibalik gerilya Jenderal Sudirman. Selama kurang lebih 14 tahun (1936-1950) menemani sang suami, Siti Alfiah alias Bu Dirman banyak memberikan dukungan moral bagi Jenderal Sudirman. Ia merupakan sosok istri yang tegar dan tabah. Dalam suatu kisah disebutkan bahwa, Siti Alfiah pernah menjadi seorang perokok demi memenuhi keinginan sang Jenderal yang ingin menghirup asap rokok selama masa pengobatan TBC yang dijalani. Ketika Agresi Militer Belanda II, Jenderal Sudirman meninggalkan istri dan tujuh anaknya untuk bergerilya selama kurang lebih tujuh bulan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di medan perang, tidak ada handphone untuk sekedar bertukar pesan singkat selama perang. Jadi tidak ada jaminan bahwa Jenderal Sudirman akan pulang dengan selamat, semua serba tidak pasti. Di tengah ketidakpastian tersebut Bu Dirman harus tetap tegar untuk memberi kehidupan yang baik bagi putra-putrinya. Bu Dirman memang tidak membantu secara material dalam setiap gerilya sang suami, tapi kerelaan hati Bu Dirman ketika ditinggal berperang telah menjadi penyemangat dan pelancar perjuangan Jenderal Sudirman. 


        Sosok lain yang berjuang secara intelektual bagi kemerdekaan bangsa adalah Ahmad Soebardjo. Raden Ayu Pudji Astuti sosok istri yang setia mendukung setiap pilihan Ahmad Soebardjo dalam perjuangannya meraih kemerdekaan. Ibu Pudji Soebardjo adalah perempuan hebat yang rela ketika nyawa sang suami menjadi jaminan selama peristiwa Rengasdengklok. Ahmad Soebardjo bukanlah sosok berlatar belakang militer, yang mana bagi istri prajurit sudah hal yang lumrah untuk merelakan suami berangkat ke medan perang. Tapi Ibu Pudji telah terbiasa untuk merelakan jika suatu saat suaminya pulang dengan kain kafan. Kesetiaan Ibu Pudji telah sedikitnya memberikan kebulatan tekad Ahmad Soebardjo untuk bernegosiasi dengan golongan muda dalam rangka membebaskan Soekarno dan Bung Hatta. Ketika nantinya Ahmad Soebardjo diangkat menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia di Switzerland, Ibu Pudji dengan kesetiaannya, berlapang hati meninggalkan tanah air untuk mendukung perjalanan karir sang suami. 


        Mohammad Hatta memiliki kisah tersendiri terkait sosok perempuan hebat di balik kehidupannya. Bung Hatta dibesarkan oleh sosok Siti Saleha, ibunda yang hebat. Mohammad Hatta memilih melajang dalam rangka memfokuskan diri pada perjuangan meraih kemerdekaan bangsa. Baru ketika berusia kurang lebih 43 tahun, tepatnya pada 18 November 1945 Hatta melangsungkan pernikahan bersama perempuan yang kemudian hari akrab disapa Rahmi Hatta. Rahmi Hatta merupakan tokoh nasional yang tidak menemani perjuangan Moh. Hatta dari awal seperti yang dilakukan oleh istri-istri Soekarno dan istri pejuang lainnya. Kesabaran Rahmi Hatta dalam menerima karir politik suaminya terlihat ketika masa Revolusi Indonesia (1945-1949). Sebagai seorang pemula yang menemani sosok suami selama perjuangan politik seputar kemerdekaan, Rahmi Hatta tampil sebagai istri yang diharapkan. Rahmi Hatta tidak gegabah dalam setiap tindakan yang memungkinkan mengganggu karir politik sang suami. Rahmi Hatta bersabar atas segala kemungkinan terburuk yang akan menimpa Moh. Hatta ketika peristiwa agresi Militer Belanda II berlangsung. Rahmi Hatta dikisahkan turut hadir menjadi sukarelawan yang menyalurkan obat-obatan dan makanan selama gerilya di Yogyakarta berlangsung. Ketika nantinya pada tahun 1956 Moh. Hatta mengundurkan diri sebagai wakil Presiden, Rahmi Hatta tetap menerima dan mendukung segala pilihan karir politik Bung Hatta. 


(Foto pernikahan Moh.Hatta dan Rahmi Hatta)
Sumber : https://www.republika.co.id/berita/omusmx282/serpihan-cerita-cinta-bung-hatta
  


        Ketiga sosok istri para pejuang di atas merupakan sosok perempuan hebat dibalik layar perjuangan para pahlawan. Perempuan dalam perannya sebagai istri merupakan hal yang penting dalam sejarah seputar kemerdekaan ataupun seputar Revolusi Indonesia. Adanya kerelaan, kesetiaan dan kesabaran sosok istri telah meringankan langkah para pejuang dalam meraih kemerdekaan. Kerelaan Bu Dirman menjadi dukungan moral perjuangan jenderal dalam bergerilya mempertahankan kedaulatan Indonesia.  Kesetiaan Bu Pudji telah meringankan beban Ahmad Soebardjo selama mengikuti proses meraih kemerdekaan. Begitupun dengan kesabaran Bu Rahmi yang telah menemani perjalanan karir politik sosok proklamator Bung Hatta. Ketiga perempuan hebat ini berasal dari latar belakang yang berbeda dan hidup dengan peran yang berbeda. Bu Dirman berperan sebagai sosok istri dari suami berlatar belakang militer, Bu Pudji dari suami golongan intelektual,  dan Bu Rahmi dengan suami berlatar politik. Ketiganya memiliki kesamaan dalam hal dukungan moral yang diberikan bagi perjuangan kemerdekaan. Dukungan moral merupakan hal yang penting dalam pilihan hidup seseorang begitu pun dengan para pahlawan. Kisah penuh inspirasi ketiga sosok istri para pejuang setidaknya mampu memberikan pelajaran bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia, bukan sebatas perjuangan dalam sudut pandang yang singkat tentang perang, diplomasi, dan lainnya. Namun setiap elemen kecil memiliki peran tersendiri dalam perjuangan meraih kemerdekaan. 


Referensi: 

Anugrah,R. SITI RAHMIATI HATTA: GAGASAN TENTANG PENDIDIKAN KARAKTER 1945-1999. E-Journal UNY. Diakses 25 April 2020


Fardi Bestari.Mengenal Istri Dari Penyusun Konsep Naskah Proklamasi https://foto.tempo.co/read/8959/mengenal-istri-dari-penyusun-konsep-naskah-proklamasi#foto-1 diakses pada 26 April 2020


Sulaeman, Ade. Istri Jenderal Sudirman: 7 Bulan Kami Ditinggalkan, Baru 7 Bulan Berkumpul, Beliau Justru Pergi Selamanya https://intisari.grid.id/read/03106706/istri-jenderal-sudirman-7-bulan-kami-ditinggalkan-baru-7-bulan-berkumpul-beliau-justru-pergi-selamanya?page=all diakses pada 26 April 2020

Komentar