Cape Malay, Diaspora Indonesia di Afrika Selatan

 Oleh: Raihan Risang

 Editor: Muhammad Eno


(Lomba Koor Melayu di Good Hope Center, Cape Town, 2001. Gambar oleh Henry Trotter, diambil melalui wikimedia commons pada 13 Maret 2021)


Ketika kita mendengar “diaspora Indonesia” mungkin yang terpikir adalah orang Jawa di Suriname, tidak banyak yang mengetahui bahwa terdapat pula diaspora Indonesia di benua hitam Afrika (selain Madagaskar yang dikolonisasi oleh orang dari Indonesia sekitar seribu tahun lalu), tepatnya, komunitas ini terletak di Afrika Selatan. Sebagaimana dengan Suriname, komunitas ini lahir dengan campur tangan Belanda. Komunitas ini awalnya terdiri dari budak Jawa dan bangsawan buangan yang diasingkan karena memberontak terhadap belanda seperti Syeikh Yusuf, seorang pangeran dari Gowa yang menjadi tokoh penting dalam penyebaran Islam di Afrika Selatan. Oleh karenanya agama Islam menjadi agama yang cepat berkembang di kalangan orang berkulit cokelat, terutama kelas buruh dan budak di Afrika Selatan. Setelah diambil alih oleh Inggris, perbudakan dihapuskan di Afrika Selatan, namun buruh murah dari Asia masih terus didatangkan.


Para tokoh Cape Malay antara lain Syeikh Yusuf, (1626-1699) yang sempat disebutkan diatas. Semasa hidupnya Syeikh Yusuf mengajarkan Islam pada para budak dari berbagai penjuru Asia dan Afrika yang didatangkan oleh Belanda dan tetap melawan Belanda, dan setelah ia wafat, pengikutnya mendirikan sebuah Kramat (dalam bahasa Afrikaans bermakna kuburan), yang diberi nama Macassar dari nama tempat asal sang syeikh. Atas peranya melawan kolonialisme Belanda, dia mendapat medali penghargaan dari pemerintah Afrika Selatan ratusan tahun kemudian. Ada pula pangeran Abullah Kadi dari Tidore yang juga diasingkan oleh Belanda dan kemudian pada tahun 1793 mendirikan madrasah pertama bagi golongan kulit cokelat maupun kulit hitam serta mendirikan pula masjid pertama di Afrika Selatan. Kemudian ada Abullah Abdurrahman (1872 -1940), seorang tokoh nasionalis yang bekerja sama dengan organisasi kulit hitam untuk memperjuangkan kesetaraan ras.


Selain penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh diaspora Indonesia, pada awalnya bahasa Melayu juga menjadi lingua franca bagi para budak yang berasal dari Asia, namun perlahan-lahan bahasa Melayu mulai tergeser dan tergantikan oleh bahasa Afrikaans, anak bahasa Belanda yang berkembang di Afrika Selatan. Meski demikian bahasa Afrikaans sendiri menerima banyak pengaruh dari bahasa Melayu dan bahasa-bahasa lain yang ada di Indonesia, seperti kata “kramat” yang telah disebutkan. Komunitas Cape Malay ini juga memrakarsai penggunaan aksara Arab untuk menulis bahasa Afrikaans, dengan tokoh utamanya adalah Abu Bakr Effendi, seorang ulama Turki yang diberi izin oleh Ratu Victoria untuk memberi pendidikan bagi penganut agama Islam di Afrika Selatan. Abu Bakr Effendi menulis banyak teks-teks Islam Hanafi dalam bahasa Afrikaans menggunakan bahasa Arab selama berada di Afrika Selatan.


Selain itu pengaruh bahasa Melayu juga dirasakan di bidang kuliner, dimana gaya memasak nusantara berevolusi di Afrika Selatan dan memunculkan masakan baru. Salah satunya adalah Soesatie, yang namanya merupakan gabungan dari kata saus dan sate, makanan ini merupakan sate yang dibumbu rempah-rempah khas Indonesia. Selain itu ada pula Bobotie, nasi daging cincang dibalut telur dan disajikan dengan sambal, namanya kemungkinan berasal dari kata bumbu atau makanan botok yang berasal dari Jawa. Kemudian ada pula Hertzogkoekie atau Hertzoggie yang merupakan kue dengan kelapa dan selai yang berasal sebagai bentuk dukungan bagi politisi JBM Hertzog yang menjanjikan hak memilih bagi komunitas kulit berwarna, namun janji ini tidak ditepati. Di masa kini kue Hertzoggie dimakan oleh komunitas Cape Malay saat Idul Fitri.


Komunitas Cape Malay memiliki hubungan erat dengan kelompok Cape Coloured (kulit berwarna ras campuran) dan komunitas India-Pakistan karena kemiripan kultural, agama, dan kesamaan nasib sebagai budak dan buruh yang dieksploitasi kolonial di tanah jajahan. Selain itu hubungan dengan penduduk pribumi kulit hitam juga kuat mengingat institusi pendidikan Cape Malay juga ikut mendidik kulit hitam yang ditindas oleh komunitas kulit putih di Afrika Selatan pada masa itu, dan tokoh Abullah Abdurrahman memrakarsai kolaborasi antara kulit hitam dan orang kulit berwarna lain untuk memperjuangkan kesetaraan dengan golongan kulit putih yang mendominasi politik dan ekonomi saat itu. Pada masa kini, Kramat atau makam para tokoh spiritual Cape Malay sudah diakui sebagai situs warisan sejarah.




Sumber dan Rujukan:

Brucato, Nicolas; Kusuma, Pradiptajati; Cox, Murray P.; Pierron, Denis; Purnomo, Gludhug A.; Adelaar, Alexander; Kivisild, Toomas; Letellier, Thierry; Sudoyo, Herawati; Ricaut, François-Xavier (2016). "Malagasy Genetic Ancestry Comes from an Historical Malay Trading Post in Southeast Borneo". Molecular Biology and Evolution.


Theal, George McCall (1894). South Africa. New York: G.P. Putman's Sons.


Jaffer, Mansoor. Guide to the Kramats of the Western Cape. Cape Mazaar Society.


Stell, Gerald (2007). "From Kitaab-Hollandsch to Kitaab-Afrikaans: The evolution of a non-white literary variety at the Cape (1856-1940)". Stellenbosch Papers in Linguistics. Stellenbosch University.


Stell, Gerald; Luffin, Xavier; Rakiep, Muttaqin (2008). "Religious and secular Cape Malay Afrikaans: Literary varieties used by Shaykh Hanif Edwards (1906-1958)". Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia.


Government of South Africa. “Sheikh Yusuf”. https://www.gov.za/about-government/sheikh-yusuf-1626-1699


C. Louis Leipoldt. 1976. Leipoldt's Cape Cookery. Cape Town.


Bill Nasson (September 2004). "Abdurahman, Abdullah (1872–1940)". Oxford Dictionary of National Biography.

Komentar