Penulis: Muhammad Lazuardi Krisantya
Editor: Muhammad Fachrul Rabul
Hang Tuah, Laksamana kerajaan Melaka yang melegenda di Tanah Melayu. |
Malaka didirikan oleh Parameswara, seorang bangsawan
Melayu yang telah melanglangbuana sebagai penguasa di Palembang dan Singapura. Pada
awalnya, Malaka hanyalah sebuah kampung nelayan kecil milik suku Orang Laut yang
terletak di pesisir selatan Semenanjung Melayu. Antara tahun 1398 dan 1402,
Parameswara tiba di tempat ini setelah ia terusir dari kerajaannya di Pulau
Temasek atau Singapura yang runtuh akibat serangan-serangan militer dari Majapahit
dan Ayutthaya, kekuatan-kekuatan regional utama di Asia Tenggara saat itu.
Epos Dinasti Malaka, Sejarah Melayu atau Sulalatus
Salatin menyatakan bahwa Parameswara tiba di Malaka setelah beberapa kali
berpindah tempat dalam pelariannya dari Singapura. Ia akhirnya memutuskan untuk
menetap di sana, setelah melihat suatu interaksi antara anjing-anjing pemburu
milik pengawalnya dan seekor kancil liar yang melewati mereka. Si kancil dapat
memperdaya dan menceburkan anjing-anjing itu ke sungai, “mengalahkan” mereka. Peristiwa
ini mengilhaminya untuk tinggal dan mengembangkan permukiman di tempat itu. Permukiman
ini dinamakannya Malaka, merujuk kepada nama pohon yang menaungi dirinya saat
ia menyaksikan peristiwa tadi. Permukiman ini kemudian disatukan dengan kampung
nelayan Orang Laut di daerah itu, di mana penduduknya bersedia mengabdi kepada
Parameswara.
Pendirian Malaka diperkirakan terjadi pada tahun
1402. Berbekal status dan pengalaman sebelumnya sebagai seorang bangsawan
Melayu dan raja Singapura, Parameswara mengangkat dirinya sebagai Raja Malaka.
Sebuah kerajaan baru pun telah lahir. Parameswara berkeinginan agar kerajaannya
ini mampu meraih kesuksesan dan kekayaan yang sama dengan Kerajaan Singapura
yang dahulu dipimpin olehnya. Pertama-tama, ia harus mengamankan diri dari
ambisi imperium-imperium besar yang mengelilinginya, Majapahit dan Ayutthaya.
Beruntunglah ia karena pada tahun 1405, Kekaisaran Ming Cina – negara terkuat
di Asia dan salah satu yang terkuat di dunia saat itu – tengah mengadakan
ekspedisi ‘Armada Harta Karun’-nya untuk menjamin keamanan jaringan perdagangan
internasional di Samudera Hindia dan Pasifik Barat. Armada ini dipimpin oleh
laksamana laut Cina Muslim yang terkenal itu, Cheng Ho.
Malaka adalah salah satu tempat yang dikunjungi oleh
armada Cheng Ho dalam ekspedisi pertamanya pada tahun 1405. Sebelumnya, Cina
sudah pernah mengirim misi perutusan pimpinan Yin Ching ke Malaka pada tahun
1403. Yin Ching melaporkan bahwa saat itu Malaka masih merupakan sebuah negara
kecil yang tidak penting. Ia juga menyatakan bahwa Kerajaan Malaka adalah negara
bawahan dari Kerajaan Siam atau Ayutthaya, di mana ia diwajibkan mengirim upeti
tahunan berupa 40 tahil emas. Ini menunjukkan bahwa pada masa awal berdirinya,
Malaka belum mempunyai kekuatan dan pengaruh yang cukup untuk melawan salah
satu imperium tetangganya, sehingga terpaksa menjadi vasalnya.
Kedatangan armada Cheng Ho dimanfaatkan dengan baik
oleh Parameswara, di mana ia segera menawarkan Malaka untuk menjadi “negara
naungan” dari Kekaisaran Ming. Hal ini dilakukannya agar apabila salah satu
kerajaan tetangganya datang menyerang, mereka harus berpikir dua kali karena
Malaka telah mendapat perlindungan dari Cina. Selain itu, hubungan dengan Cina
juga mampu meningkatkan wibawanya, karena Kekaisaran Cina merupakan sebuah
negara besar yang oleh penduduk Asia Timur dan Asia Tenggara saat itu dipandang
sebagai “pusat dunia”. Setelah resmi mendapatkan status sebagai negara naungan,
Parameswara – dengan menumpang armada Cheng Ho pada tahun 1411 – mengadakan
kunjungan ke Nanjing (ibukota Kekaisaran Ming saat itu) untuk menghadap Kaisar Cina,
Yongle. Parameswara didampingi oleh keluarga dan pengikutnya yang berjumlah 540
orang, dan diterima dengan baik oleh Kaisar Yongle.
Meskipun secara resmi Malaka berstatus sebagai
negara naungan Cina, namun dalam prakteknya ia adalah negara yang berdaulat. Kekaisaran
Ming tidak menempatkan suatu garnisun militer di Malaka dan negara naungan
lainnya, melainkan hanya mendirikan guan-chang atau gudang penyimpanan
barang-barang dagang. Gudang-gudang ini dikelola oleh sejumlah pejabat Cina
yang dilantik oleh Laksamana Cheng Ho sebagai perwakilan resmi Kekaisaran Ming.
Keberuntungan rupanya masih berpihak kepada
Parameswara. Pada tahun 1404, Kerajaan Majapahit di Jawa, yang kala itu membawahi
banyak negara di Nusantara, terjebak di tengah perang saudara yang destruktif. Perang
ini, yang dinamakan Paregreg, berlangsung selama kurang lebih dua tahun
(1404-1406) dan menghancurkan kekuatan angkatan laut Majapahit yang pada abad
ke-14 telah dapat “mengamankan” sebagian besar Asia Tenggara Kepulauan dari
dominasi Kekaisaran Yuan Mongol di utara dan menyatukan wilayah itu ke dalam
satu mandala besar yang berpusat di Pulau Jawa. Perang Paregreg dimanfaatkan
oleh sejumlah vasal Majapahit di luar Jawa untuk melepaskan diri. Mereka merasa
bahwa tak ada gunanya lagi untuk bernaung di bawahnya. Serupa dengan Malaka,
mereka menawarkan diri kepada Armada Harta Karun Cheng Ho yang tengah berkunjung
untuk diakui sebagai naungan Kekaisaran Ming. Di antara negara-negara ini
adalah Brunei di Kalimantan dan Aru di Sumatera, yang berkat intervensi Ming
berhasil lepas dari Majapahit pada tahun 1408.
Kerajaan Malaka di bawah Parameswara juga
memanfaatkan melemahnya pengaruh Majapahit untuk melancarkan perluasan
kekuasaan. Ia menaklukkan sebagian besar wilayah Johor (Ujong Tanah, Batu
Pahat, Muar, Pagoh, Segamat) dan Selangor (Kelang, Linggi). Ia juga berhasil
merebut kembali Singapura. Majapahit tak mampu melakukan apa-apa untuk membalas
hal ini, karena selain kekuatannya belum pulih akibat Perang Paregreg, ia juga
mengetahui bahwa Malaka telah mendapat perlindungan dari Cina.
Sebaliknya, muncul reaksi berbeda dari tetangga
Malaka di utara. Kerajaan Ayutthaya justru menanggapi ekspansi Malaka dengan
menyerangnya. Ia melihat Malaka sebagai vasal yang memberontak. Antara tahun
1409 dan 1456, Ayutthaya diketahui berkali-kali menyerang Malaka, baik dalam
wujud ekspedisi militer ataupun serangan penjarahan. Ini menimbulkan amarah
Kaisar Cina, yang pada tahun 1431 mengirimkan surat bernada ancaman kepada Raja
Siam, Samphraya atau Borommarachathirat II untuk menghentikan permusuhannya
dengan Malaka. Intervensi Cina berhasil meredakan permusuhan Ayutthaya-Malaka
secara berangsur-angsur, yang kemudian berubah menjadi hubungan perdagangan
yang baik. Perdamaian ini menunjukkan besarnya wibawa Kekaisaran Ming Cina sebagai
negara terkuat dan paling berpengaruh di Asia pada abad ke-15.
Awal perkembangan Malaka sebagai pusat perdagangan
internasional dimulai sekitar tahun 1409-1414. Tome Pires dalam Suma
Oriental mencatat bahwa kala itu Raja Malaka menghubungi Raja Jawa
(Majapahit) dan mengutarakan keinginannya untuk mengembangkan pelabuhan Malaka.
Parameswara menyatakan bahwa untuk mencapai hal itu, ia harus menarik
orang-orang Jawa yang merupakan kaum dagang paling dominan di Nusantara pada
abad ke-15. Saat itu, pedagang-pedagang Jawa lebih suka singgah di pelabuhan
Pasai di Sumatera, yang merupakan pusat perdagangan utama di Selat Malaka sejak
akhir abad ke-13. Raja Jawa, Wikramawardhana mengabulkan keinginannya. Namun,
ia menyatakan bahwa Parameswara harus turut meminta izin kepada Raja Pasai. Sejak
lama, pedagang Jawa telah mendapat perlakuan istimewa dari Kerajaan Samudera Pasai
yang tidak memberlakukan pungutan pajak kepada mereka. Samudera Pasai sendiri
kala itu tengah menikmati puncak kejayaannya, di bawah pimpinan Sri Ratu
Nahrasyah.
Parameswara menuruti permintaan Wikramawardhana. Ia
menghubungi Ratu Nahrasyah dan menyampaikan maksudnya. Sang Ratu bersedia
mengabulkan keinginannya itu dengan satu syarat, yakni agar Parameswara mau
memeluk Islam terlebih dahulu. Raja Malaka itu setuju, dan ia pun menjadi
seorang Muslim. Ia menikahi seorang putri dari Pasai untuk mempererat
hubungannya dengan kerajaan itu, kemudian mengganti nama gelarnya menjadi
“Sultan Iskandar Syah”. Sebagian besar penduduk Malaka mengikuti jejak rajanya,
di mana mereka berbondong-bondong memeluk Islam dengan sukarela. Fenomena ini
nantinya menjadi tren di banyak kerajaan Nusantara ketika Islam semakin
berkembang pesat dalam abad-abad berikutnya.
Keberhasilan diplomasi yang dilakukan oleh
Parameswara ini berbuah keberuntungan ganda kepadanya. Selain berhasil menggaet
para pedagang Jawa ke pelabuhan Malaka, status barunya sebagai seorang raja
Muslim juga berhasil menarik pedagang-pedagang Muslim dari India, Persia, dan
Arab. Ekspedisi Dinasti Ming yang masih terus berlangsung hingga tahun 1433
juga ikut memberikan sumbangan. Orang-orang Cina berdatangan dan mulai menetap di
Malaka, khususnya orang Hui Muslim yang membentuk sebagian kru Armada Harta
Karun Cheng Ho. Parameswara berhasil menggapai impiannya untuk menjadikan
Malaka sebagai pusat perdagangan yang sukses seperti Singapura sebelumnya,
bahkan kini jauh melampauinya. Malaka pun berangsur-angsur berkembang menjadi
pusat perdagangan utama di Nusantara, dan salah satu titik terpenting dalam
jaringan perdagangan internasional Samudera Hindia.
Perubahan Malaka menjadi negara Islam dan
perkembangannya sebagai pusat perdagangan internasional, tak dapat dilepaskan
dari keberhasilan diplomasi Parameswara dalam berhubungan dengan
kerajaan-kerajaan besar di sekitarnya, terutama Samudera Pasai, Majapahit, dan
Ming. Raja-raja Malaka berikutnya melanjutkan kebijakan Parameswara. Raja
terbesarnya, Sultan Mansur Syah (1456-1477), mempererat hubungan diplomatiknya
dengan ketiga kerajaan besar itu, yang telah ikut berkontribusi dalam
perkembangan Malaka menjadi pelabuhan dagang utama di Nusantara.
Sultan Mansur Syah menikahi seorang putri Cina
bernama Hang Li Po atau Hang Liu, yang oleh naskah-naskah Melayu disebutkan
sebagai putri dari Kaisar Cina, meskipun lebih mungkin jika ia merupakan putri
dari pejabat yang kedudukannya lebih rendah, barangkali syahbandar dari salah
satu kota pelabuhan di Cina Selatan, atau kapten kapal yang mempunyai hubungan
baik dengan Sultan Malaka.
Pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah melawat ke Istana
Majapahit di Jawa Timur untuk melamar Raden Galuh Cendera Kirana, seorang putri
dari Raja Majapahit saat itu, Girisawardhana atau Brawijaya III. Lawatan ini
disambut dengan meriah oleh Majapahit, menunjukkan eratnya hubungan kedua
negara itu. Raja Majapahit bersedia menikahkan putrinya dengan Sultan Mansur
Syah. Sebagai hadiah atas pernikahan itu, Raja Majapahit bahkan bersedia
menyerahkan kekuasaannya atas Keritang (Indragiri), Jambi, dan Tungkal di
Sumatera serta Siantan di Kepulauan Riau kepada Malaka.
Pada tahun 1468, Malaka mengintervensi sebuah
perebutan tahta di Samudera Pasai. Sultan Mansur Syah mendukung Sultan Zainal
Abidin III yang tersingkir dari tahtanya, dan membantu merebutnya kembali
dengan mengirimkan armada laut Malaka pimpinan Bendahara Tun Perak. Sempat
terjadi ketegangan hubungan setelah penobatan Sultan Zainal Abidin III, di mana
ia menolak tawaran Tun Perak yang menginginkan agar Samudera Pasai menjadi
vasal Malaka. Namun, hubungan kedua negara segera membaik dan terus dipererat
lagi, khususnya di bidang keagamaan dan kesusastraan. Dari Samudera Pasai-lah,
Malaka mengadopsi huruf Jawi (Arab Melayu) yang kemudian menjadi standar
penulisan resmi di Dunia Melayu seiring dengan semakin berkembangnya Islam di
kawasan ini.
Masa pemerintahan Sultan Mansur Syah seringkali
dianggap sebagai puncak kejayaan Kesultanan Malaka. Di bawah kekuasaannya,
Malaka melancarkan perluasan wilayah ke Sumatera dan Malaya, baik melalui cara
damai maupun peperangan. Ia menaklukkan negeri-negeri di Sumatera seperti
Rokan, Siak, dan Kampar dengan ekspedisi militer. Raja-rajanya diislamkan dan “dilebur”
ke dalam Dinasti Malaka melalui ikatan perkawinan. Ekspansi ke Malaya juga
dilakukan dengan cara serupa, di mana Malaka berhasil menaklukkan Pahang dan
Terengganu. Sementara Indragiri, Jambi, dan Tungkal – seperti telah disinggung
sebelumnya – berhasil didapatkan dengan cara damai melalui hubungan pernikahan
dengan Majapahit.
Pada masa kekuasaan Sultan Mansur Syah pula, hidup
Hang Tuah, seorang tokoh dalam sejarah Melayu yang sangat dihormati oleh banyak
orang Malaysia dan Indonesia modern. Ia menjabat sebagai laksamana dan utusan
resmi Kesultanan Malaka yang telah melanglangbuana ke banyak negara asing. Ia
merupakan salah seorang pengiring Sultan Mansur Syah dalam lawatannya ke
Majapahit.
Dengan menahkodai kapal ghali kebesaran Malaka, Mendam
Berahi, Hang Tuah telah melakukan lawatan diplomatik ke berbagai negara,
dari Kerajaan Ryukyu di Jepang, Majapahit, Ayutthaya, hingga Kemaharajaan Wijayanagara
di India. Hikayat Hang Tuah bahkan menyatakan bahwa ia pernah pula
berkunjung ke Mesir (Kesultanan Mamluk) dan Rum (Kesultanan Turki Utsmani),
pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah, di mana ia menyempatkan diri untuk
singgah di Mekkah dan Madinah, kota-kota paling suci bagi umat Islam.
Berkat kemampuannya sebagai diplomat ulung inilah, Hang
Tuah berhasil mempererat dan memperluas hubungan diplomatik Malaka dengan
banyak kerajaan berpengaruh di sepanjang jalur perdagangan Samudera Hindia dan
Pasifik Barat. Dampaknya, Bandar Malaka menjadi semakin ramai. Bertambah banyaklah
bangsa asing yang berdagang di kota itu. Orang Tagalog dari Kerajaan Tondo di Pulau
Luzon hingga orang Somali dari Kesultanan Ajuran di Tanduk Afrika, semuanya
memiliki pos dagang dan permukiman khusus yang ditata dengan sedemikian rupa dan
dijamin keamanannya oleh pemerintah Kesultanan Malaka.
Pada tahun 1500, populasi total Bandar Malaka
diperkirakan telah mencapai 100.000 orang. Setiap hari, kota pelabuhan ini
dikunjungi oleh 2000 kapal yang datang dari berbagai arah. Mereka
memperdagangkan beragam produk, terutama rempah-rempah, teh, serta
barang-barang keramik dan tekstil. Ketika orang Portugis tiba untuk pertama
kalinya di Malaka pada tahun 1509, mereka menyaksikan sebuah kota yang besar
dan megah dengan masyarakat kosmopolitan yang saling berinteraksi dalam 80
bahasa. Wajar apabila Portugis kemudian mengincar Malaka sebagai sebuah titik
penting yang harus dikuasai untuk memperluas dominasi mereka dalam jaringan
perdagangan Samudera Hindia.
Jadi, bagaimana Malaka bisa menjadi pusat
perdagangan utama di Nusantara? Kemampuan diplomasi yang mumpuni dan sedikit
keberuntungan, itulah jawabannya.
Referensi
Ahmad,
A. Samad (1979). Sulalatus Salatin: Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Cortesao,
Armando. (2016). Suma Oriental Karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah
ke Cina & Buku Francisco Rodrigues. Yogyakarta: Ombak.
Groeneveldt,
W.P. (2018). Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
Osman,
Zulkifli, dkk. (2015). Bahasa Melayu dalam Konteks Budaya. Tanjong
Malim: Penerbit UPSI.
Salleh,
Muhammad Haji. (2013). Hikayat Hang Tuah. Jakarta: Ufuk Publishing House.
Tan
Ta Sen. (2010). Cheng Ho: Penyebar Islam dari China ke Nusantara.
Jakarta: Kompas.
Komentar
Posting Komentar