Cita-citaku

 Pengarang: Abi Mu'ammar Dzikri

Hari tenang, harusnyauntuk lelaki seumurannya. Kalender di dinding kamarnya, mengatakan pagi ini hari Minggu. Ia gantungkan kemalasannya di atas ranjang, menunggui waktu melaju sia-sia. Matanya sayu, seakan kelopaknya tak bisa kembang-kempis lagi. Rambutnya acak-acakan. Sudah tiga hari ia belum keramas. Baju yang ia kenakan kali ini, adalah baju yang sama pula sejak kala ia terakhir keramas. Ia menyebut kesemuanya sebagai pilihan. Agaknya, malas adalah pilihan yang tidak terlalu buruk.

 

Meski jam dindingnya telah menunjuk pukul 9, belum ada niatan sama sekali baginya untuk beranjak. Cuaca yang cerah bukan menjadi daya tarik hari paginya. Sebab ia lebih memilih untuk melamun daripada harus capai bergelut dengan waktu. Melamun adalah pilihan bijak bagi lelaki kurang kerjaan. Begitu pula ranjang adalah pilihan tempat yang tepat untuk melamun di hari minggu. Dengan bermodal mp3 dan sebuah earphone usang yang baru terbeli dari loakan kemarin, ia memintai kupingnya mendengarkan sebuah lagu. Lagu itu mulai merasuki otaknya. Sambil bersiul, ia coba renungkan perihal posisinya, sebagai lelaki.

 

Seandainya, aku boleh memilih sebelum dilahirkan

Betapa enak menjadi perempuan

Tinggal membuka aurat, lelaki bekerja keras untuk mendapatkannya


Notabene: (Penggalan lirik lagu “Cita-Citaku” [2003] oleh Pidi Baiq yang dinyanyikan The Panas Dalam Bank.).


“Barangkali menjadi perempuan adalah berkat. Demikian menjadi lelaki adalah musibah. Tak payah aku harus menjadi saudagar kaya atau priyayi alim untuk beroleh istri yang elok nan jelita parasnya, putih bersih tubuh dan jiwanya,” gumamnya dalam hati. Sembari menunggu musiknya usai, ia kembali menerka-nerka.

 

“Ah, Ani! Ani kan perempuan. Tak disengaja pun, ini tetap salahnya. Mengapa harus ia seorang diri yang menjadi anak perempuan? Payah sekali diriku, kenapa tak pinta dengan bapak sewaktu ia membuatku bersama ibu?” Sekiranya, menjadi perempuan adalah cita-citanya. Dalam pemahamannya, seorang perempuan sedari lahir terjamin kebaikan dunianya. Beda halnya dengan lelaki, mereka setidaknya harus berotot dan bertenaga lebih agar dapat bertahan hidup. Modal apa yang dipunyai perempuan? Cukup dengan paras wajah yang bening, duit bakal mengalir deras ke rekening.

 

Tiba-tiba, suara panggilan lantang merusak lamunannya, “Adi, cepat ke belakang bantu bapak mencuci kandang!” Itu suara ibu, perempuan tertua dalam keluarganya. Ia yang melahirkan keduanya. Mereka saudara kembar. Hanya terpaut beberapa menit. Setelah Adi keluar dari rahim ibu, 13 menit setelahnya, Ani menyusul. Bapak yang menamai mereka sebagai Adi dan Ani. Mungkin karena wajah mereka yang mirip, sehingga namanya juga harus mirip.

 

Dengan tenaga dan niat yang banyak rampung di atas ranjang, ia pakai sisanya beranjak. Langkahnya gontai dan matanya masih setengah tertutup. Begitu malasnya untuk seorang lelaki pemuda seumurannya. Ketika melewati ruang tamu, ia mendapati Ani bersantai sambil menonton TV drama serial India kesukaannya. “Oh, betapa beruntungnya menjadi Ani,” katanya dalam hati. Ia tak cukup nyali mengutarakan. Takut terjadi perkelahian lagi. Seperti dua minggu lalu, mereka bertengkar hebat hanya karena sepele, masalah rokok! Ani sangat benci rokok, keluarga yang merokok, apalagi di dalam rumah. Kala itu, Adi yang merokok, bukan bapak, karena bapak bukan perokok. Ketika mengetahui abangnya merokok di ruang tamu, Ani marah bukan main. Hampir mereka beradu pukul, sebelum ibu menenangkan keduanya. Apesnya, ibu berada di pihak Ani. Kedua, ibu juga benci perokok. Mulai hari itu pula, ibu melarang siapapun untuk merokok dalam rumah, sekalipun itu tamu.

 

Sambil menenteng ijuk rusuh yang telah bercampur tai ayam, ia tinggikan dadanya, mencoba membangun semangat. Di hadapannya, puluhan ayam telah menjemput, seperti meminta makan, atau mungkin memang demikian. Ia tak terlalu menahu bahasa ayam. Yang ia tahu sekarang adalah bapak sedang mendapatinya melamuni ayam-ayam itu.

 

“Oalah, le le, sudah siang gini masih ngantuk? Wes gedhe kok malas-malasan. Lihat ayam-ayam itu, demi makan mereka rela mencucuki kerikil, walau itu bukan makanan. Jadilah pekerja keras seperti ayam,” celetuk bapak.

 

“Daripada bengong, sini bantu bapak. Keluarkan ayam itu dari kandang, dan gunakan ijukmu untuk membersihkannya,”

 

Tanpa membantah, ia melaksanakan. Sebenarnya ada sedikit perlawanan dalam batinnya ketika bapak menyamai dirinya dengan ayam, bahkan lebih mulia seekor ayam. “Beruntungnya seekor ayam. Pagi hari ia sudah mendapat pujian dari bapak, belum nanti siang, belum juga nanti malam. Hanya karena daging mereka menghasilkan, lebih baikkah mereka di mata bapak daripada anak lelakinya? Juga mengapa aku harus seperti ayam?!” teriaknya dalam hati. Mungkin, semenjak itu ia mulai membenci ayam. Namun, semenjak itu pula ia bercita-cita menjadi ayamayam yang seperti bapak pikirkan.

 

Kandang telah bersih dan ayam-ayam itu juga telah mengelompok rapi dalam rumahnya. Kini, giliran dirinya yang harus bersih dari bau ayam. Sambil bersih diri, ia juga berpikir. Untuk lelaki seumurannya, menginjak kepala dua dan belum bekerja adalah aib keluarga. Tetangganya sering menyindirnya sebagai “perjaka tua” karena masih jomblo. Ia memilih jomblo karena memang belum bisa mencukupi badan sendiri, apalagi badan pasangan. Yang jadi permasalahan, mengapa tidak ada yang bertutur demikian kepada adiknya, Ani? Apakah karena Ani adalah perempuan, dan seorang perempuan tidak harus bekerja di umur yang sama, atau karena orang-orang tersihir dengan kecantikannya? Ani memang cantik, dan bahkan Adi mengakui itukarena mereka mirip. Akan tetapi, ia membenci kecantikan itu dan menilai Ani berlindung di balik paras wajahnya yang ayu untuk menutupi aibnya sebagai sesama pengangguran.

 

Mereka berdua memang sama-sama tidak kuliah. Orang tuanya hanya menggantungkan nasib kepada kandang ayam belakang rumah supaya dapur tetap kebul. Hanya dengan daging darinya tak cukup untuk membiayai keduanya kuliah. Setelah lulus SMA, keduanya berdiam di rumah, walaupun Adi pernah bekerja di penerbit buku pinggiran yang gajinya pas-pasan dengan jam lembur yang dapat membuat pingsan. Itu sebenarnya lebih baik dari Ani yang hanya tahu tentang dapur, sumur, dan kasuruntuk tidur. Tapi orang-orangbahkan keluarganya, selalu membicarakan hidupnya, bukan Ani. “Mungkin mereka tak pernah punya anak lelaki,” ujarnya, setelah mengakhiri mandi paginya.

 

Menyembul dari kamar mandi, Adi mendapati Ani masih dalam posisi yang sama sejak empat jam lalu. Kali ini dengan drama Korea yang bahkan Adi tak mengerti alur ceritanya, apalagi judulnya. Adi menyebut jikalau Ani adalah sama malasnya sepertinya, bahkan lebih. Namun, ibu dan bapak sangat menyayanginya. Dengan penimbangan bahwa dia seorang bungsu perempuan lebih muda 13 menit darinya, kasih sayang orang tua terhadap Ani berlebih. Jika Adi dituntut menjadi seorang lelaki pekerja, Ani hanya dituntut menjadi ibu rumah tangga, yang baik sama (calon) suami dan tetangga. Tuntutan ini jelas tidak berimbang, dimana Adi harus bersusah payah menghadap realita, sedang adiknya termanjakan suasana. Jika boleh memilih sebelum lahir, ia lebih sudi menjadi Ani tetimbang dirinya sendiri.

 

*

 

“Maaf, ibu, maaf bapak, Ani belum bisa berbuat banyak. Hanya ini yang bisa Ani peroleh. Sedang Ani telah berusaha maksimal, namun keadaan berkata lain. Ani belum mendapat barang apapun dari pencarian ini. Sudah belasan perusahaan telah menolak, dan Ani tak punya cukup tenaga untuk mencari-cari lagi,” jelas Ani. Ia sedikit menangis. Tetes air matanya tak bisa menutupi kekecewaan hatinya setelah perusahaan di kota menolaknya dengan dalih bahwa ia hanya “lulusan SMA”.

 

“Sudahlah engkau tak perlu risau, anakku. Apa kepunyaan bapak ibumu ini belum cukup untuk menghidupimu? Sebagai seorang perempuan, engkau tak perlu payah bekerja demi uang. Insyaallah ayam bapakmu masih cukup menghidupimu, abangmu, dan keluargamu,” ibu menimpali.

 

“Lihat ayam-ayam itu. Semakin bertambahnya hari, semakin bertambah pula jumlah mereka. Daging mereka semakin besar dan lezat. Bapak kira, restoran-restoran di kota pasti siap membelinya dengan harga lebih mahal. Bulan depan, bapak yakin kita pasti bisa membeli sebuah mobil,” bapak menambahkan. Bulan ini adalah bulan baik. Bisnis ayam potong milik bapak terbilang sukses. Bapak telah menjalin kerja sama dengan beberapa gerai ayam untuk kebutuhan supply ayam broiler.

 

“Tapi Ani tidak buat senang keluarga. Dengan Ani tidak bekerja, Ani tidak bisa menjadi orang. Ani hanya ingin membuat bapak dan ibu bahagia. Bolehkah sedari sekarang ini Ani putuskan untuk menyerahkan segala urusan hidup kepada bapak dan ibu agar bisa menjadi orang? Apapun itu, sekalipun jodoh…,” belum selesai bicara, bapak menyela, “Anakku, jikalau engkau tak keberatan, bapak bisa mencarikan jodoh untukmu. Engkau tak perlu lelah bekerja. Engkau hanya perlu menjadi ibu rumah tangga yang baik untuk menjadi orang,”

 

“Jikalau itu yang bisa membahagiakan kalian, Ani tak keberatan. Memang tujuan hidup untuk bahagia bukan? Barangkali dengan penjodohan atas rida orang tua, Ani bakal jadi benar-benar orang,” rintik tangisnya kian menghenti. Merubah keadaan cengkerama kala itu.

 

“Bapak punya kenalan seorang pemuda, juga pengusaha ayam. Bapak kira, ia lebih muda darimu, tapi itu bukan masalah. Ia cakap dalam bicara. Penampilannya juga cukup baik dan rapi. Yang terpenting dia masih single. Kemarin, kita berbincang masalah pasangan, dan ia sudah mengenalmu. Kalau engkau tak keberatan, sekali lagi, bapak akan mengenalkanmu lebih jauh,” balas bapak.

 

Adi mendengar percakapan mereka bertiga. Bukan main kagetnya ia tak habis pikir. Begitukah mudahnya seorang perempuan mengundi nasib? Mengundi nasib dengan menggadai dirinya kepada orang tua, dengan asumsi “menyerahkan urusan jodoh”. Hal seperti itu memang benar tak bisa dilakukan para lelaki. Seminggu yang lalu saja, ketika Adi gagal menjual ayamnya di sebuah restoran, bapak memarahinya dengan sangat. Mengatakan kalau Adi terlalu malas untuk urusan pekerjaan, “Seorang lelaki harus mau bekerja keras biar hidup! Kalau begini terus, gimana mau dapat jodoh? Boro-boro mau menghadap calon menantu, urusan menghadap orang tua bahkan tiada mampu!” Itu adalah sayatan mendalam baginya. Dan sayatan itu bertambah dalam ketika beroleh saudarinya mendapat perlakuan lebih manis dari bapak. Sekarang, ia benar-benar hancur.

 

*

 

Di suatu malam, belum juga Ani menjadi istri lelaki pilihan bapak, ia terbunuh oleh abangnya sendiri di kamarnya. Kekesalan dan iri dengki menutup hitam hati kecil abangnya untuk harus besar. Sebab utama hanyalah karena Adi beranggap bahwa adiknya penyebab hancur perasaan. Walaupun sebenarnya, Ani tiada bersalah apapunhanya karena dia seorang perempuan, maka ia yang patut disalahkan. Pembunuhannya terlalu misterius untuk ditelusuri, tetapi bagian yang terpenting adalah Adi puas terhadap apa yang telah dilakuinya.

 

Setelah berhasil memuaskan nafsunya membunuh sang adik, ia beranjak tidur di ranjang kamarnya. Dalam tidurnya, ia mendapati Ani dalam mimpi. Ani telah berada di neraka paling bawah. Sesuatu seperti malaikat mengabarinya bahwa Ani pantas bertempat di neraka karena kemauannya. Malaikat itu menuturkan, bahwa Ani berdosa besar karena telah menjadi “perempuan”. Persoalan menjadi perempuan adalah lumrah, tetapi Ani adalah seorang perempuan pembunuh perasaan orang, yang tak lain abangnya sendiri.

 

Sebelum mimpinya benar-benar berlanjut, tiba-tiba ia terjaga ketika seorang perempuan tua memanggil namanya dengan lantang. Itu suara ibu. Ia baru tersadar bahwa di kupingnya masing dipasang sebuah earphone pada mp3 yang tengah memutar lagu Cita-Citaku, dengan lirik penutup sebelum kemudian lagu itu benar-benar berakhir, “Dimana ada kemauan, di sana ada jalan. Dimana ada kemaluan, di sini ada persoalan.”

 

Yogyakarta, 2019


Komentar