Budaya Nias Sebagai Perwujudan Penegakan Ketahanan Nasional

Penulis: Alhidayath Parinduri

Editor: Azizatul Hafidhoh

Lompat batu merupakan warisan dari suku Nias yang hingga kini masih ada. (Ilustrasi oleh Muhammad Lazuardi)
Dewasa ini, kita ketahui bahwa banyak ancaman yang secara tidak langsung dapat membahayakan keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia. Berbicara soal penguatan ketahanan nasional tidak hanya melulu mengenai angkat senjata, tetapi salah satu hal yang dapat ditempuh untuk memperkuat ketahanan nasional Indonesia, yaitu melalui budaya atau adat istiadat yang ada di Indonesia itu sendiri. Untuk itu saya akan membahas salah satu budaya yang dapat dijadikan sebagai alat ketahanan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu budaya adat Nias.  


Budaya merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “daya dari budi”, jadi budaya berupa cipta, karsa, dan rasa. Sementara itu kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa. Dalam budaya terdapat yang namanya sistem budaya, yaitu ide atau gagasan yang berasal dari manusia yang hidup di masyarakat. Sistem budaya biasa disebut dengan adat-istiadat. Sistem budaya ini dapat berfungsi untuk menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia. 


Ketahanan berasal dari asal kata “tahan”, yaitu tahan menderita tabah, kuat, dapat menguasai diri, dan tidak kenal menyerah.  Menurut terminologinya, ketahanan nasional adalah peri hal keteguhan hati untuk memperjuangkan kepentingan nasional. Jadi, dapat disimpulkan bahwa budaya sebagai ketahanan nasional itu berupa adat-istiadat yang dapat menjadi pelindung negara dari ancaman dalam ataupun luar negeri.


Pada bahasan ini penulis memaparkan satu contoh budaya di Indonesia yang berasal dari Nias, Sumatera Utara. Budaya masyarakat Nias terkandung didalamnya nilai filosofis yang dapat dikatakan mirip dengan Pancasila. Kemiripan tersebut bisa diawali dengan, terkandungnya 5 (lima) hal yang ada pada budaya Nias. Hal tersebut menunjukkan adanya kesamaan jumlah poin antara Pancasila dengan nilai filosofis budaya Nias. 


Tidak hanya kesamaan jumlah poinnya saja. Kita juga dapat melihat bahwa kandungan filosifis budaya Nias hampir memiliki kemiripan dengan nilai yang terkandung pada Pancasila. Nilai filosofis ini sejak dahulu telah menjadi alat perekat kesatuan bangsa dimasyarakat Nias. Masyarakat Nias biasa menyebutnya istilah “Bolalahina”, yaitu: 


  1. Bologo Dodou (Bersifat sabar), nilai filosofis ini sering diucapkan oleh ketua adat Nias ketika ada terjadi suatu peretentangan di kalangan masyarakat adat Nias.
  2. Lauzisokhi (Berbuat Baik), nilai ini mencerminkan ciri khas sosial masyarakat Nias.
  3. Lakhomiu (Bersatu-padu), nilai ini menggambarkan masyarakat Nias yang tolong-menolong atau Gotong royong.
  4. Hinodalau (Semasih mampu), nilai ini menunjukkan jika masyarakat Nias adalah pekerja keras. 
  5. Natolau (Upaya), nilai ini menunjukkan ciri khas orang Nias yang tidak mudah putus asa dalam menggapai suatu hal yang dicita-citakan, misalnya masyarakat Nias memperjuangkan terbentuknya sebuah Kabupaten lagi di Pulau Nias yaitu Kabupaten Nias Selatan (Nisel) dan hal ini terbukti dengan terbentuknya Kabupaten tersebut pada 28 Juli 2003.

Selain itu, Nias dikenal memiliki beberapa tradisi yang telah terbukti dapat dijadikan sebagai alat untuk memperkuat ketahanan mereka. Akan tetapi jika dimaknai secara mendalam tradisi ini juga bisa dijadikan sebagai ketahanan nasional. Adapun tradisi-tradisi tersebut, yaitu:

  

  1. Lompat batu (Hombo Batu). Lompat batu merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat adat Nias untuk membuktikan kematangan dan kedewasaan seorang pria. Tradisi ini dilakukan di Desa Bawo Mataluo (Bukit Matahari) dengan cara melompati batu setinggi dua meter dengan lebar 90 cm dan panjang 60 cm. Ketika berhasil melakukan lompat batu maka akan diberi tugas untuk menjaga desa dari konflik peperangan antar desa. 
  2. Tarian Perang Foluaya, Tarian perang ini merepresentasikan sejarah peperangan antar suku Nias yang sempat terjadi. Selayaknya seorang kesatria dalam peperangan, setiap penari membawa tameng (baluse), pedang (gari), dan tombak (toho) sebagai alat pertahanan.  Kemunculan tarian perang Foluaya tak bisa dijauhkan dari pengaruh Hombo Batu. 


Berdasarkan catatan sejarah, pasukan Belanda harus melakukan tiga kali ekspedisi militer untuk menguasai Nias. Tepatnya pada tahun 1756, 1855, dan 1856. Masyarakat Nias memang pejuang hebat. Ketiga ekspedisi militer yang dilancarkan Belanda tak berbuah manis. Para pasukan Belanda akhirnya harus mengakui kekuatan para pejuang Nias yang dipimin oleh Raja Orahili. Maka, pantas lah kalau orang-orang Belanda menjuluki Raja Orahili sebagai “De Verdijver der Hollanders” (Pengusir orang-orang Belanda). Keberhasilan tersebut dipengaruhi oleh masyarakat Nias yang melaksanakan tradisi tersebut.  


Jika kita berkaca pada pemaparan di atas dapat dilihat bahwa semangat, kegigihan, dan kegagahan pada masyarakat Nias dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk menjaga keamanan dan ketahanan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semangat pantang menyerah, menjunjung tinggi nilai keberagaman, dan mengembangkan rasa malu merupakan cara yang dapat kita lakukan untuk memupuk nasionalisme dan memperkuat ketahanan nasional. 


Untuk itu sudah sepantasnya sebagai warga negara Indonesia, kita harus berpegang teguh pada Pancasila dan melestarikan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, cara yang demikian akan dapat memupuk rasa nasionalisme di dalam diri masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika nasionalisme telah tertanam pada jiwa masyarakat Indonesia, maka ancaman apapun yang sewaktu-waktu datang menghampiri Indonesia akan dengan mudah dapat dicegah. 

Komentar