Pangeran Blitar Dalam Perang Suksesi Jawa II (1719-1721)

Penulis: Raymizard Alifian Firmansyah
Editor: Muhammad Fachrul R.
Ilustrasi Perang Suksesi Jawa II.
Dalam kekuasaan di tanah Jawa sudah tidak asing akan terjadinya suksesi. Perang Suksesi Jawa II merupakan perang perebutan kekuasaan. Menurut KBBI, arti kata suksesi yaitu penggantian (terutama di lingkungan pimpinan tertinggi negara) karena pewarisan. Setiap pergantian raja yang terjadi di Jawa, sering terjadi perang perebutan tahta atau Perang Suksesi. Hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya pergatian raja yang terjadi di lingkungan kerajaan.

Suksesi ini tidak lain disebabkan perebutan tahta diantara bangsawan maupun keluarga keturunan raja. Peristiwa-peristiwa penting tentang perang perebutan tahta yang pernah terjadi di lingkungan kerajaan Mataram, yaitu Perang Suksesi Jawa I terjadi tahun 1704-1708 antara Amangkurat III melawan Paku Buwana I, Perang Suksesi Jawa II terjadi tahun 1719- 1723 antara Amangkurat IV melawan saudara-saudaranya, dan Perang Suksesi Jawa III terjadi tahun 1749-1757 antara Paku Buwana II dan Paku Buwana III melawan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I.

Narasi Pangeran Blitar dalan Historiografi Tradisional
Pada Perang Suksesi Jawa II, dimana keberpihakan Amangkurat IV kepada VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang diturunkan oleh ayahnya yaitu pangeran Puger atau Pakubuwana I. Pakubuwana I memiliki tiga orang putra, Raden Mas Suryo (Amangkurat IV), Raden Mas Songko (Pangeran Purbaya), Raden Mas Sudomo (Pangeran Blitar). Banyaknya putra yang dimiliki Pakubuwana I menjadi pemicu konflik Perang Suksesi Jawa II.

Amangkurat  IV  naik  tahta  menggantikan ayahnya, Pakubuwono I  yang  wafat  pada Februari 1719.  Amangkurat IV  memiliki  nama  kecil,  adalah  Raden  Mas  Suryo, yang lahir dari permaisuri Ratu Mas Balitar  (keturunan  Pangeran  Juminah,  putra Panembahan  Senopati dengan Retno  Dumilah putri Madiun). VOC menobatkan  Raden  Mas Suryo sebagai raja Mataram  dengan  gelar  Susuhunan  Prabu  Amangkurat  Jawa  Senopati  Ingalaga Ngabdurahaman   Sayidin  Panata.

Pada awal  Pemerintahanya  digambarkan  oleh VOC sebagai penguasa yang ditinggalkan oleh seluruh rakyatnya dan hampir seluruh dunia Jawa memusuhinya. Adik-adiknya (Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar) tidak setuju akan Amangkurat IV menjadi raja. Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar mencari dukungan dengan pangeran-pangeran lain, yaitu dengan putra keturunan Untung Suropati, dan bahkan dengan putra Amangkurat IV sendiri yaitu Mangkunegara (Ayah Pangeran Sambernyawa) yang membangkan kepada orang tuanya sendiri.

Pada Juni 1719, Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar, melancarkan serangan terhadap Amangkurat IV. Mereka didukung oleh seluruh pemimpin Islam di istana dan mendapat simpati terang-terangan dari ibu mereka (Ratu Pakubuwana), yang memiliki pengaruh kuat di istana. Para pemberontak dapat dipukul mundur oleh tembakan meriam dari pasukan VOC yang mengawal istana.

Dengan mundurnya pasukan pemberontak oleh pasukan gabungan VOC dan Kartasura, para pemberontak melarikan diri. Mereka dengan para pengikutnya yang bersenjata kemudian mengambil tempat pemberontakan di Mataram, di Bale Kajenar, bekas tempat kedudukan Sultan Agung, yakni kota Karta yang diganti namanya menjadi Kartasekar atau Kartasari.

Campur tangan VOC dalam beberapa konfik kekuasaan Jawa merupakan hal yang lumrah. Romantisme VOC dengan pihak yang berkuasa bukan tanpa sebab. Para penguasa yang tidak berdaya melawan para pemberontak selalu meminta pertolongan kepada VOC, dimulai dengan perjanjian-perjanjian yang menguntungkan VOC, dan berakhir dengan kemenangan sementara oleh pihak berkuasa. 

Historiografi berdasarkan Tradisi Lisan
Berbeda dengan sejarah kebanyakan, tradisi lisan yang berkembang di Kota Blitar 
sangat bertolak belakang dengan apa yang telah ada. Alih-alih mengatakan hal yang sama seperti apa yang sudah dijelaskan di Babad Kartasura, tradisi lisan menyatakan bahwa Pangeran Blitar tidak pernah mengikuti peperangan dalam konflik suksesi Mataram.

Tidak berhenti disitu, dijelaskan pula bahwa Pangeran Blitar dibunuh oleh adipatinya sendiri (Patih Sengguruh) di Blitar, ini juga berbeda dengan apa yang telah dijelaskan oleh J.K.J. De Jonge. Dalam  arsip De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indie Deel IX (1877) Koleksi Rekso Pustoko Istana Mangkunegaran, Surakarta. Yang mengatakan bahwa Pangeran Blitar meninggal pada tahun 1721 yang sakit keras ketika pelarian dan kebetulan menetap di Malang, dan Jenazahnya dibawa Pulang ke Kartasura.

Tradisi lisan juga menjelaskan tentang kehidupan Pangeran Blitar selama memerintah tanah Blitar. Usai dilantik sebagai adipati di Blitar, Pangeran Blitar bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Haryo Balitar I (Aryo Blitar I). Tak lama setelahnya, rupanya patihnya sendiri menaruh hati pada istri Aryo Blitar, yaitu Dewi Rayung Wulan. Hal ini berujung pada terbunuhnya Aryo Blitar oleh patihnya sendiri yang bernama Sengguruh.

Pasca terbununhnya Aryo Blitar I, patih Sengguruh secara tidak langsung menjadi Aryo Blitar II. Dengan begitu ketika putera Aryo Blitar I yang bernama Joko Kandung, dewasa dan mengetahui ayahnya Adipati Aryo Blitar I dibunuh oleh Aryo Blitar II, maka Joko Kandung membunuh Aryo Blitar II dan dilantik menjadi Aryo Blitar III.

Kontroversi semacam ini merupakan hal yang lumrah dalam sejarah. Mengingat sejarah yang memihak. Tak peduli saudara sendiri, apapun demi legitimasi. Dalam kasus Pangeran Blitar, berbagai tipe historiografi saling adu untuk mendapat legitimasi. Satu mengkonotasikan Pangeran Blitar sebagai pemberontak, yang lain mongkonotasikannya sebagai pemimpin yang dicintai rakyat.

*Tulisan ini didapat dari hasil wawancara dengan Mbah Isnu (Juru Kunci generasi ke-delapan di Makam Haryo Balitar III), pada 15 Januari 2020.

Komentar