Permukiman Penduduk Nusantara Masa Hindu Budha

Penulis: Irvan Maulana
Editor: Muhammad Fachrul R.
Rekaan kegiatan penduduk Beragama Budha
Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia pada abad ke 4-5 M dan berakhir pada awal abad ke-16 M. Hasil kajian memperlihatkan adanya berbagai aspek kehidupan masyarakat pada masa Hindu dan Budha yang mendukung maju-mundurnya suatu peradaban seperti aspek sosial, politik, ekonomi, agama, kesenian (sastra, arsitektur, arca), ilmu pengetahuan dan teknologi, serta aspek tata ruang tempat dimana masyarakat itu tinggal.

Tulisan ini akan berfokus pada aspek pemukiman dan arsitektur rumah-rumah penduduk pada masa Hindu-Budha.
Secara umum bisa dicatat bahwa dalam perkembangan arsitektur perumahan di masa Hindu-Buddha adanya klasifikasi hierarki rumah hunian dengan dasar kedudukan sosial. Kelas yang tertinggi adalah istana raja di ibukota kerajaan, kelas kedua adalah rumah-rumah orang terkemuka yang diberi hak-hak istimewa dengan ciri-ciri penanda tertentu bagi rumahnya, sedangkan kelas terendah adalah rumah penduduk pada umumnya.  Dari tiap-tiap permukiman itu memiliki pola yang linear atau memanjang, ada juga pemukiman penduduk desa, kota, kalangan keagamaan, dan sebagainya yang memiliki pola tersendiri.

Dalam Kitab Negarakertagama digambarkan istana atau pura Majapahit dikelilingi tembok batu merah, tebal, dan tinggi. Tembok ini memisahkan bangunan keraton dengan bangunan lainnya. Pintu gerbang utama terletak di utara. Rumah tinggal para pejabat tinggi sipil, serta tempat penjagaan dan balai pertemuan terletak di sebelah utara kompleks istana. Di sisi sebaliknya rumah tinggal pejabat tinggi keagamaan dan gedung peradilan terletak di selatan istana.

Rumah pejabat keagamaan dibagi dua tempat yaitu untuk pendeta Budha di sebelah barat dan pendeta Siwa di sebelah timur. Begitu masuk gerbang kedua terlihat taman istana yang luas dan indah. Ada beberapa wisma dan pendopo untuk orang-orang yang mengantri menghadap raja. Tempat tinggal Raja Hayam Wuruk dan kerabatnya terletak di halaman  paling belakang dari kompleks istana. Di sebelah timur Balai Witana berdiri gapura pertama yang terlarang bagi sembarang orang.

Sementara di sebelah selatan dihuni Singhawardhana, ipar Hayam Wuruk, bersama Ratu Pajang dan putra-putrinya. Kertawardana, ayah Hayam Wuruk bersama Ratu Kahuripan, tinggal di sebelah utara. Semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni. Kakinya dari batu merah berukir, bergambar aneka lukisan. Genting atapnya dihiasi tembikar berukir. Bunga tanjung, kesara, campaka, dan lainnya menghiasi halaman.

Pemukiman pada masa itu diperkirakan lebih dikembangkan atas dasar pencapaian masa prasejarah, sambil senantiasa mengacu pada sifat-sifat alam yang khas untuk tiap tempat. serta menyerap sebagian pengaruh-pengaruh dari luar. Contoh pengaruh luar yaitu penggunaan kain sutra halus (dalam prasasti disebut banantén yang mungkin suatu jenis tekstil impor) sebagai tirai, alas lantai, dan rumbai-rumbai tepian atap pada rumah tokoh-tokoh yang diberi hak  istimewa oleh raja.

Secara umum dapat dicatat bahwa dalam perkembangan arsitektur permukiman di masa Hindu dan Budha dikembangkan klasifikasi hierarki rumah hunian atas dasar kedudukan sosial. Kelas yang tertinggi adalah istana raja di ibukota kerajaan, kelas kedua adalah rumah-rumah orang terkemuka yang diberi hak-hak istimewa antaranya berkenaan dengan ciri-ciri penanda tertentu bagi rumahnya, sedangkan kelas terendah adalah rumah penduduk pada umumnya.

Penanda istana yang tak boleh ada pada kelas yang di bawahnya, antara lain terdapatnya antahpura (bagian dalam istana kawasan hunian untuk para putri), lapangan luas di depan (di sebelah utara) istana yang di dalamnya terdapat balai wanguntur, tempat pelaksanaan upacara-upacara besar yang menghadirkan banyak orang, dan ke arah luar lagi dari sana terdapat jalan besar yang disebut lebuh agong.

Adapun rumah para tokoh yang diberi hak istimewa disamping rumah boleh dihiasi kain halus seperti di istana atau, juga ditandai dengan palungan di depan rumah, boleh memiliki semacam pendapa (waruga) di depan dan tengah rumah, menggunakan delapan tiang, dan beratap genteng. Berdasarkan perincian hak-hak istimewa itu, dapat ditafsirkan bahwa rumah orang biasa tidak boleh bertiang delapan, tak boleh beratap genteng, tak boleh punya pendopo, dan seterusnya. Dalam hal ini, terlihat fakta bahwa perkembangan arsitektur diarahkan mengikuti struktur sosial pada zaman dan lokalitas masing-masing.

Hingga saat ini pola permukiman yang sudah diketahui adalah permukiman yang memanjang yaitu  pemukiman yang mengikuti aliran sungai, pemukiman yang berada di sepanjang tepi pantai, dan pemukiman yang berada di pedalaman. Dari pola-pola pemukiman itu pun harus dibedakan lagi pemukiman penduduk desa, kota, kalangan keagamaan, dan sebagainya yang memiliki pola tersendiri.

Dari sini maka kita bisa tahu bagaimana pengaturan tata ruang untuk rumah tempat tinggal penduduk biasa dan kaum elit, tempat peribadatan, pasar, dan sebagainya yang terdapat di kota sebagai pusat pemerintahan dan bagaimana pula pengaturan tata ruang di daerah pinggiran yang jauh dari pusat pemerintahan. pemukiman masa Hindu-Buddha diketahui adanya situs-situs pemukiman yang terletak di pedalaman sampai pada pemukiman penduduk yang terletak di daerah aliran sungai.
Pembangunan permukiman masyarakat Hindu di Bali. (Foto. Diorama 25 Permukiman Hindu Bali, Museum Perjuangan Rakyat Bali)
Menurut kesaksian Ma Huan, penerjemah Laksamana Cheng Ho, ketika mengunjungi ibukota negara Jawa (Majapahit). Rumah tempat tinggal penduduk dialasi jerami dan dilengkapi ruang penyimpanan yang terbuat dari batu sekira 1 meter. Digunakan untuk menyimpan barang milik mereka. Di atas tempat penyimpanan ini mereka biasanya duduk. Rata-rata bahan dasar pembuatan rumah-rumahnya menggunakan batu bata merah.

Pada masa itu mereka juga telah menghiasi rumah-rmah mereka sesuai dengan kedudukan sosialnya. Alat rumah tangga yang terbuat dari logam seperti dandang, seperangkat tempat sayur, paliwetan, seperangkat tempat minum, tempat mandi (padyussan), talam, obor, bejana (buri), cepuk, baki, cerek, periuk, lampu. Panginangan atau tempat sirih biasa ditemukan. Ada pula alat rumah tangga terbuat dari batu, seperti sepasang alat pipih.

Selain itu, meski tak ditemukan buktinya, kemungkina terdapat alat rumah tangga terbuat dari anyaman. Dugaan ini setelah melihat penjelasan dalam prasasti yang menyebut kerajinan anyaman atau anganyam. Karena menggunakan bahan-bahan yang tidak bertahan lama, maka seiring bertambahnya waktu maka banyak pemukiman-pemukiman yang akhirnya hancur dan rusak sehingga hanya tersisa puing-puing bangunannya saja yang masih bisa ditemui saat ini.

Pemukiman pada masa Hindu-Budha dibangun atas dasar kedudukan sosial mereka. Semakin tinggi kedudukannya maka rumah yang dibangun akan semakin megah dengan arsitektur dan memiliki hiasan yang semakin banyak pula. Berbeda dengan rumah-rumah penduduk biasa yang hanya dialasi dengan jerami dan alat-alat rumah tangga saja. Sedangkan,pola permukiman yang sudah diketahui adalah pola memanjang yaitu mengikuti aliran sungai, permukiman sepanjang tepi pantai, dan permukiman yang berada di pedalaman.

Dari pola-pola pemukiman itu pun harus dibedakan lagi pemukiman penduduk desa, kota, kalangan keagamaan, dan sebagainya yang memiliki pola tersendiri. Pada masa sekarang hanya tinggal puing-puing bangunan pemukiman masa hindu-budha sebab menggunakan bahan bangunan yang tidak tahan lama namun tetap nyaman untuk ditinggali.

Oleh: Irvan Maulana
*Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Sejarah UNY Angkatan 2019

Sumber:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2012. Indonesia alam Arus Sejarah Bab 2 Kerajaan Hindu-Buddha. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Nastiti, Surti Titi, 2014. Jejak-jejak Peradaban Hindu-Budha di Indonesia.
Diperoleh dari http://jurnalarkeologi.kemdikbud.go.id.

Putri, Risa H., 2019. Rupa Istana Raja-raja Hindu-Budha. Diperoleh dari https://historia.id/kuno/articles/rupa-istana-raja-raja-hindu-buddha-DLLYJ

Komentar