Ludruk, Sejarah Seni Teater Hiburan Rakyat dan Penggunaannya sebagai Propaganda

Oleh: Amaranggana Ratih M.
Editor: Muhammad Fachrul R.
Ludruk merupakan seni pertunjukan dari Jawa Timur. (Foto. Ditjen Kebudayaan Kemendikbud)
Ludruk adalah salah satu seni pertunjukkan teater tradisional yang ada di Jawa, utamanya Jawa Timur. Mulanya ludruk adalah kesenian rakyat yang berawal dari bentuk ngamen dan jogedan (tarian), dari rumah ke rumah. Kesenian yang dilakukan kemudian berkembang dengan memasukkan parikan (pantun Jawa) dan dialog, karena tarian-tarian yang dibawakan selalu menghentak-hentakkan (gendruk-gedruk) kaki, sehingga disebutlah dengan ludruk.

Namun pada saat ini, dalam satu pagelaran ludruk memiliki beberapa bagian adegan, umumnya ludruk dimulai dengan pertunjukkan Tari Remo, kemudian dilanjutkan dengan kidungan (nyanyian), bedayan oleh para travesty (laki-laki yang berdandan seperti wanita) dan kemudian lakon cerita utama.

Lakon cerita yang umumnya dibawakan adalah serta dongeng seperti Cak Sakra, Damar Wulan, Ande-ande Lumut  dan Sarif Tambak Yoso. Namun ludruk juga seringkali menceritakan cerita fantasi seperti cerita karangan individu tertentu yang biasanya berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. 

Fungsi kesenian ludruk ini mulanya hanya sebagai kesenian rakyat, ruang lingkupnya pun terbatas, namun ketika Belanda datang, kesenian ini mulai beralih fungsi. Ludruk lamakelamaan mampu mengumpulkan massa besar, dan lakon-nya mulai berisi kritik sosial. Hal ini tentu tidak luput dari kecurigaan Belanda, sehingga naskah lakon ludruk sebelum dipentaskan harus dilaporkan terlebih dahulu kepada pihak Belanda.

Seorang seniman ludruk bernama Sutak Wardhiono mengatakan bahwa pada saat itu ludruk menjadi media yang efektif dalam menyalurkan kritik sosial, karena pemerintah kolonial takut kepada kesenian rakyat. Salah satu seniman ludruk yang selalu mempropagandakan anti penjajahan adalah Cak Pono, yang mengabarkan berdirinya organisasi Budi Utomo di tahun 1928 lewat kidungnya saat pentas. Akibatnya, Cak Pono ditangkap Belanda dan dipenjarakan.

Pada era tahun 1930an, dr. Soetomo dan Bung Karno menaruh perhatian kepada ludruk, mereka menyadari bahwa ludruk merupakan elemen penting bagi revolusi Indonesia. Pada masa ini lahir tokoh-tokoh ludruk yang cukup besar namanya, seperti Cak Durasim, Cak Urip Hartojo dan Cak Bowo. Bahkan perkumpulan ludruk Cak Durasim mampu mementaskan ludruk secara regular di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Surabaya.

Pada masa Jepang, pemerintah Jepang ingin menggunakan ludruk Cak Durasim sebagai propaganda semangat Asia Timur Raya. Namun, para pemain ludruk ini malah justru tetap menggunakan ludruk sebagai penanaman anti kolonialisme dan cinta tanah air. Salah satu parikan Cak Durasim yang terkenal mengkritik pemerintah Jepang adalah:

Begupon omahe doro, melok Nippon soyo soro.
(begupon/pagupon rumahnya burung dara, ikut Nippon tambah sengsara).

Hal ini membuat Cak Durasim ditangkap dan dipenjara sampai meninggal pada Agustus 1944. Parikan ini kemudian dikenang dengan pahatan bunyi parikan tersebut beserta patung Cak Durasim di Gedung Kesenian Cak Durasim yang berada di kompleks Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, atas jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan melalui kesenian.

Periode ludruk setelah proklamasi bisa dikatakan sebagai masa emas, karena muncul banyak perkumpulan ludruk, seperti Perkumpulan Ludruk Marhaen, Perkumpulan Ludruk Bintang Merah dan Ludruk RRI Surabaya.
Ludruk dijadikan senjata melawan Kolonial pada masa Pergerakan.
Pada masa Orde Lama, ludruk menjadi alat Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk  massa, terutama saat pemilu, ludruk dipilih PKI karena dekat dengan rakyat. Sebagian besar ludruk dikelola oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), pada 1963 tercatat ada 549 perkumpulan Ludruk di Jawa Timur, di Surabaya ada 27 distrik ludruk dan 26 diantaranya berada di bawah Lekra.

Lakon yang terkenal pada masa PKI berjudul “Tujuh Setan” yang mengisahkan tuan tanah yang kejam dan menyuruh tukang pukulnya untuk merampas hasil petani. Para pemain ludruk ini tidak sadar jika dirinya dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan politik, karena sebagian besar dari mereka tidak lulus Sekolah Rakyat (setara Sekolah Dasar).
 
Namun kejayaan ludruk pada masa ini harus kandas akibat peristiwa G30S tahun 1965, perkumpulan-perkumpulan ludruk yang berafiliasi dengan Lekra dibubarkan oleh pemerintah, banyak juga pemain ludruk yang dibunuh atau dipenjara. Dengan ketegasan pemerintah dalam membubarkan perkumpulan-perkumpulan ludruk yang berhubungan dengan Lekra maka hal ini menimbulkan efek traumatis bagi para seniman ludruk yang tidak berafiliasi dengan Lekra.

Para seniman ludruk ini khawatir, bilamana mereka nekat menyelenggarakan pertunjukan maka perkumpulan ludruk mereka akan dibubarkan juga oleh pemerintah. Pada 1967 pemerintah berusaha membangkitkan lagi ludruk yang tidak berafiliasi dengan Lekra, melalui pembinaan oleh Kodam/V Brawijaya, dan kemudian diteruskan pembinaannya oleh ABRI hingga tahun 1975. Pembinaan tersebut mampu memulihkan kepercayaan masyarakat Indonesia, dan Jawa Timur khususnya, terhadap ludruk.

Kelanjutan dari ludruk binaan ABRI ini adalah dibentuknya perkumpulan ludruk dengan nama dari bahasa Sankerta yang umumnya digunakan oleh institusi militer, diantaranya adalah Perkumpulan Ludruk Putra Bhirawa dan Bintang Jaya di Jombang, Perkumpulan Ludruk Teratai Jaya di Porong dan Perkumpulan Ludruk Karya Budaya di Madiun.

Selain dari penamaan, ciri khas lain dari ludruk binaan ini adalah setiap pagelaran ludruk diawali oleh tembakan salvo, penanda kesetiaan perkumpulan tersebut terhadap pemerintah. Lakon yang dipentaskanpun berisi program-program pemerintah, seperti program Keluarga Berencana (KB) dan program Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA), konsep pemerntasan harus mendapatkan izin dari militer.

Tidak hanya menggunakan perkumpulan ludruk binaan ABRI, pemerintah Orde Baru juga menggunakan ludruk dari RRI Surabaya untuk mensosialisasikan program-programnya. Pada masa-masa ini ludruk RRI Surabaya mengalami masa kejayaan.

Salah satu penyebab ludruk RRI Surabaya dijadikan sebagai media yang efektif dalam menyampaikan propaganda dikarenakan pesan yang disampaikan lewat lawakan akan lebih mudah dicerna masyarakat. Salah satu pesan pemerintah terkait program Keluarga Berencana yang disampaikan melalui parikan dalam ludruk adalah:

Anak loro dadi ukurane Supaya cukup pendidikane Iso cerah masa depane Urip mandiri dadi tujuane 
(Anak dua menjadi ukuran Supaya cukup pendidikannya Bisa cerah masa depannya Hidup mandiri jadi tujuannya).
 
Setelah masa reformasi, pertunjukkan ludruk menjadi lebih independen, lakon yang dimainkan pun berdasarkan cerita kehidupan sehari-hari dan dengan tujuan untuk pendidikan masyarakat. Di zaman modern ini, ludruk sudah dikemas dengan penyajian yang lebih milenial agar tetap bisa bertahan dengan arus globalisasi.

Mengutip Instagram @surabayasparkling, ludruk yang baru saja manggung di gedung Balai Budaya Surabaya adalah Ludruk Luntas yang membawakan cerita “Misteri Suster Gepeng” pada 11 Januari 2020. Serta ludruk anak yang ditampilkan dalam acara Rumah Kreatif di Balai Pemuda dan Ludruk Plat L yang berjudul “Virus Corona vs. Kekaisaran Suroboyo Empire” di Balai Budaya pada Februari 2020. 

Oleh: Amaranggana Ratih Mradipta
*Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta 2018

Komentar