Boven Digul, Neraka di Pedalaman Papua

Oleh: Muhammad Fachrul R.
Editor: Raihan Risang A. P.
Tokoh Nasional yang pernah diasingkan ke Digul. (Ilustrasi oleh Muhammad Lazuardi)
Boven Digul merupakan sebuah wilayah di pedalaman Papua, dulu terkenal sebagai tempat untuk membuang para pemberontak. Dari tahun 1927 hingga 1943, lebih dari 1.000 orang "pemberontak" diasingkan kesini oleh Kolonial Belanda. Para ekstremis ini kebanyakan berasal dari Jawa dan Sumatera Barat. Memang, ke dua daerah ini merupakan basis besar kaum komunis yang paling sering melakukan perlawanan.

Pemberontakan komunis Banten 1926 dan Silungkang 1927, merupakan salah satu perlawanan terbesar bangsa Indonesia terhadap pemerintah kolonial Belanda pada masa Pergerakan. Sasaran pemberontakan tersebut adalah para aparat kepolisian dan pejabat Belanda. Kedua pemberontakan itu menimbulkan kepanikan di kalangan orang-orang kulit putih. Di Batavia, banyak orang Belanda diliputi rasa cemas. Mereka takut keluar rumah dan lebih memilih untuk mengunci diri.

Menurut Catatan Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 4, Setelah pemberontakan kaum komunis itu, pemerintah Belanda menangkap sekitar 20.000 orang Indonesia tanpa proses pengadilan. Dari jumlah itu, 2.000 lebih orang diasingkan ke berbagai daerah, 823 orang diantaranya ke Digul, dan 16 orang di hukum gantung.

Awalnya, oleh Pemerintah Kolonial Belanda Kamp Digul disiapkan untuk menampung tawanan pemberontak kaum komunis November 1926. Digul kemudian beralih menjadi tempat pembuangan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan yang jumlahnya hingga sekitar 1.308 orang.

Selain tempat bagi para pentolan kaum komunis pemberontak. Tercatat sejumlah tokoh nasional pernah dibuang ke Boven Digul seperti Bung Hatta dan Bung kecil atau Sutan Sjahrir. Kedua tokoh nasional itu dibuang ke Digul secara bersamaan pada 28 Januari 1935 silam. Mereka dianggap musuh pemerintah kolonial Belanda karena membangkang kebijakan yang ditetapkan pemerintah Kolonial Belanda.

Selain Hatta dan Sjahrir, mereka yang dibuang ke Digul di antaranya Mohamad Bondan, Maskun, Burhanuddin, Suka Sumitro, Moerwoto, Ali Archam, dan sejumlah para pejuang lainnya.

Awal mula menjadi kamp pengasingan

Pemberontakan yang dilakukan oleh kaum komunis pada 12 November 1926 menyebabkan berbagai permasalahan bagi pemerintah Hindia-Belanda, salah satunya ialah kapasitas penjara yang dimiliki Belanda masih kurang untuk menampung banyaknya para ekstremis itu.

Karena itu, pada 18 November 1926, Raad van Nederlandsch-Indie (Dewan Hindia-Belanda) mengadakan rapat luar biasa membahas masalah tersebut. Mereka memutuskan untuk membangun Kamp Konsentrasi bagi para pentolan ekstremis-komunis yang berontak pada 12 November 1926. Lokasi yang dipilih hulu sungai Digul.

Kamp pengasingan di Boven Digul. Foto: Arsip Nasional
Pemerintah Hindia-Belanda menunjuk Kapten L. Th. Becking untuk bertanggung jawab membangun dan menjadi pengawas Kamp pengasingan Digul pada awal tahun 1927. Sebelumnya Kapten Becking ini yang dikenal sukses menumpas Pemberontakan kaum komunis di Banten, tentu ia tidak asing dengan para pemberontak komunis itu.

Sebelum dijadikan kamp, Boven Digul tadinya hanya hutan belantara, dikelilingi ganasnya alam liar. Pembukaan lahan kamp konsentrasi Digul oleh Kapten Becking dimudahkan adanya pos polisi di Assike di sebelah selatan Boven Digul. Pos itu sudah ada sejak 1913 dan dihuni 40 polisi bersenjata.

Boven Digul tidak seperti kamp konsentrasi yang sering didengar. Awalnya Digul tidak dirancang sebagai sebuah kamp kosentrasi karena tidak ada penyiksaan atau pembunuhan terhadap tawanan di tempat itu. Di Digul, orang buangan tak disiksa dan tak diwajibkan kerja paksa. Digulis dibiarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, mereka hanya perlu membangun rumah sendiri untuk ditempati.

Mereka boleh pergi kemanapun dia suka, asalkan masih dalam radius 30 KM dari kamp. Jika melarikan diri, mereka akan dikejar oleh polisi dan serdadu KNIL yang bertugas disana. Tak ada kawat berduri, tak ada tembok besar, dan tidak ada peleton pengawal. Para Digulis bebas melakukan apapun di dalam kamp itu.

Memang, ada ratusan usaha pelarian, tapi kebanyakan gagal. Tak mudah kabur dari Kamp Digul, sebab dikelilingi oleh hutan lebat yang masih terisolasi. Di sungai dan rawa-rawa juga banyak buaya. Apalagi saat gagal melarikan diri dan tertangkap serdadu, umumnya mereka hilang.

Tetapi ,walaupun bebas Digul tetap bukanlah tempat yang menyenangkan. Menurut eks Digulis, dalam Buku Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel (2002) Karya Mas Marco Kartodikromo, Digul adalah tempat pembuangan yang paling menyeramkan.

Mulai dari penyakit Malaria dan TBC, hingga menjadi Gila

Dulu, di-Digul-kan berarti sudah berada dekat dengan maut. Para Digulis memang tidak disiksa. Tetapi sumber siksaan bagi mereka adalah terisolasi ditengah hutan belantara teramat liar disekeliling kamp. Banyak Digulis terkena serangan nyamuk yang menyebabkan penyakit malaria. Para pengawas akan membiarkan mereka kesakitan dan mati perlahan. Selain itu, para tahanan banyak yang terkena penyakit TBC. Tercatat sudah banyak orang buangan yang meninggal gara-gara penyakit ini.

Di samping itu ada pula jenis penyakit mematikan lainnya, yang dikenal sebagai black water fever. Selain tiga penyakit tersebut, musuh terbesar para penghuni kamp adalah rasa sepi dan kejenuhan yang luar biasa. Tekanan semacam ini kemudian menimbulkan ketegangan dan gangguan jiwa bagi sebagian interniran  (terbuang).

Akibat dari rasa terkepung oleh pagar alam yang mengerikan, muncul penyakit Clausthropobia atau rasa cemas akan ruang. Orang-orang yang mengidap penyakit ini tema obrolannya makin menyempit hingga akhirnya hanya merenung dan termenung saja atau menggumam seorang diri. Banyak juga dari para Digulis yang tiba-tiba tersentak karena melihat genderuwo muncul dari balik hutan. Orang-orang yang dulu begitu aktif badaniah dan rohaniah, semakin lama semain merosot mentalnya.

Pihak pemerintah kolonial pun tak menafikan penyakit gila. Kaum militer dan sipil akan dipindahkan ke daerah lain setelah berdinas satu atau dua tahun di Digul agar tak menjadi gila. Hanya beberapa orang yang bertahan lebih lama.

Menurut Chalid Salim dalam Lima Belas Tahun Digul, pemerintah kolonial berencana, jika kaum buangan tidak sampai mati di Digul, sekurang-kurangnya mereka akan menjadi dungu atau sinting jika suatu ketika bebas dari Digul.

Komentar