Masjid Gedhe Mataram adalah
masjid tertua di Yogyakarta. Masjid ini berlokasi di selatan kawasan Pasar
Kotagede. Tepatnya di Kelurahan Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Bantul. Catatan
sejarah menyebutkan bahwa kehadiran Masjid Gedhe Mataram bermula saat Ki Ageng
Pamanahan mulai mengeksplorasi Hutan Mentaok. Sebelum ke Hutan Mentaok, Ki
Ageng Pamanahan terlebih dahulu singgah di Candi Prambanan. Ki Ageng Pamanahan
bertemu dengan orang Hindu Prambanan dan mengajak mereka pergi ke Hutan Mentaok.
Ki Ageng Pamanahan mengajak mereka untuk membantu dalam membersihkan hutan dan
membangun masjid. Sebagai ucapan terimakasih Ki Ageng Pamanahan terhadap orang
Hindu, maka dibangunlah gapura di pintu masuk masjid.
Memang
saat pertama kali masuk, kita akan disuguhkan dengan gapura masjid yang
merupakan hasil kebudayaan masa Hindu-Buddha. Gapura
Paduraksa merupakan budaya nonislam yang paling mencolok pada arsitektur masjid
ini. Gapura paduraksa merupakan gerbang dari pagar dinding bata yang
mengelilingi masjid. Dinding pagar masjid dikelilingi tiga buah gapura sebagai
pintu masuk. Pada bagian pintu masuk terdapat gapura berbentuk bangunan pintu
gerbang candi. Pada bagian kiri dan kanan gapura dihubungkan dengan pagar
setinggi 2,5 meter yang mengelilingi kompleks masjid dan pemakaman. Sebelum
memasuki bangunan utama masjid, dari arah timur akan dijumpai sebuah gapura
yang terbuat dari batu bata dan berbentuk paduraksa. Pada bagian barat pintu
gerbang, terdapat aling-aling yang mirip dengan pintu gerbang bali nan dihiasi
dengan elemen bujur sangkar. Kemudian sebelah utara masjid, terdapat pemandian
yang dilengkapi dengan gapura serta dinding makam dengan hiasan candi. Selain itu, segi konstruksi atap masjid
berbentuk piramida atau
biasa disebut “tajo”. Atap masjid
tersebut kemudian ditopang oleh tiang penyangga yang disebut “blandar”. Pada mustaka masjid sendiri
terdapat ornamen kluwih, gada, dan
juga bunga pandan.
Masjid
Gedhe Mataram berada dalam satu kompleks Pasarean Agung, yaitu pemakaman besar.
Masjid Gedhe Mataram diperkirakan telah berdiri sejak masa pemerintahan Ki
Ageng Pamanahan, yaitu pada akhir abad ke – 16. Pada masa itu, struktur
bangunannya masih berupa sebuah langgar. Kemudian pada masa Panembahan
Senopati, bangunan langgar tersebut dipindah dan diubah menjadi cungkup makam.
Masjid Gedhe Mataram Kotagede dibagi menjadi bagian halaman, pagar keliling,
bangunan utama dan makam. Tata ruang masjid
terdiri dari ruang luar dan tata ruang dalam.
Tata ruang luar terdiri dari pagar
pembatas. Pagar pembatas adalah dinding yang mirip dengan dinding bangunan
candi-candi Hindu (Uwarna, 1987). Pada bagian dalam dinding terdapat
jagang/kolam keliling. Jagang mengelilingi emper bangunan masjid. Jagang
memiliki makna sebagai benteng keamanan setelah pagar pembatas (Setyowati,
2007). Jagang juga merupakan sarana untuk membersihkan kaki sebelum masuk ke
masjid. Dinding pagar keliling memiliki 3 buah Gapura sebagai pintu masuk. Pada
halaman Masjid Gedhe Mataram, berdiri dua buah Bangsal Pacaosan, yang ada di sebelah kanan dan kiri
halaman. Bangunan Pacaosan berdenah segi empat. Tinggi lantai 20 cm dari level
tanah halaman. Bangsail ini Merupakan bangunan terbuka (tanpa dinding) dengan
atap berbentuk limasan. Atap disangga oleh kolom kayu yang berjumlah enam buah.
Pada halaman masjid juga berdiri bangunan tugu, yang berfungsi sebagai penunjuk
waktu salat. Puncak tugu berhiaskan kupluk/peci raja. Hal ini menunjukkan bahwa
bangunan masjid tersebut adalah milik kerajaan.
Tata ruang dalam Masjid Gedhe
Mataram terdiri dari bangunan utama, bangunan serambi, dan emper. Bangunan
utama disebut liwan yang berbentuk persegi 30 x 30 m. Struktur utamanya terdiri
dari empat buah kolom kayu yang disebut “sokoguru”. Dimensi kolom sokoguru ialah
0,3 x 0,3 m, dengan tinggi 5 m. Sokoguru mendukung struktur atap yang disebut tajug lambang gantung. Pada ruang liwan
terdapat mihrab dengan ornamen motif sulur. Mimbar adalah salah satu ciri
arsitektur Islam. Ruang liwan dibatasi dengan dinding bata dua batu. Terdapat
lima pintu yang menghubungkan liwan dengan serambi. Semua material kayu dari
bangunan utama masjid, didatangkan langsung dari Bojonegoro—atas
perintah para wali—melalui jalan darat. Ketika kayu dari Bojonegoro tiba di
Kota Gedhe, para pekerja dari Prambanan ikut membangun bagian luar Masjid.
Mereka membangun pagar, makam, dan sendang. Dikarenakan dasar ilmu bangunannya
adalah bangunan candi, maka bagian-bagian pagar, makam, dan sendang mirip
dengan bangunan candi.
Arsitektur
Masjid Gedhe Mataram memiliki makna filosofis sendiri. Hal tersebut digunakan
untuk lebih mengajarkan agama Islam. Menurut pandangan Mataram, masjid
merupakan pusat kegiatan agama Islam, disamping juga sebagai simbol idil
kesultanan. Masjid Gedhe Mataram memiliki sebuah makna filosofis yang disebut catur gatra tunggal. Jika diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia berarti empat wujud yang menjadi satu makna. Masjid
sebagai simbol ketuhanan, atau simbol ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kemudian kerajaan atau kesultanan sebagai simbol kepemimpinan. Lalu alun-alun
sebagai simbol sosial kemasyarakatan dan terakhir adalah pasar yang bermakna
sebagai sebuah simbol ekonomi.
Bentuk
arsitektur Masjid Gedhe Mataram kemudian menjadikannya begitu unik, yang dirasa
hanya ada pada masjid itu sendiri. Arsitektur yang
demikian merupakan bentuk toleransi terhadap agama Hindu-Buddha. Memang sewaktu awal pembangunannya, orang
Islam bahu-membahu bersama orang Hindu dalam membangun Masjid Gedhe Mataram.
Seliyan itu, bentuk arsitektur Masjid Gedhe Mataram juga merupakan respon
langsung dari arsitektural lokal pada masa itu yang masih didominasi oleh unsur
Hindu-Buddha. Budaya Hindu-Buddha sangat melekat, bahkan pada penampilan luar
kompleks Masjid Gedhe Mataram.
Seliyan
nuansa Hindu-Buddha, Masjid Gedhe Mataram juga kuat akan nuansa budaya Cina. Hal
ini terlihat pada teknik pondasi yang menggunakan batu alam atau umpak,
penggunaan dinding bata, dan atap tajuk bersusun tiga. Menurut Handinoto
(2012), atap tajuk bersusun menyerupai atap pagoda Cina. Pengaruh kultur Cina
tidak terlepaskan dari banyaknya orang Cina muslim yang datang ke Nusantara
melalui perdagangan. Mereka umumnya menempati daerah pesisir dan mendirikan
bangunan masjid. Dalam sejarahnya kerajaan pesisir dikalahkan oleh kerajaan
pedalaman atau Kerajaan Mataram. Oleh karena itu, dimungkinkan teknologi
membangun masjid ala pesisir juga diterapkan dalam pembangunan Masjid Gedhe
Mataram.
Pada umumnya masjid-masjid Jawa
yang dibangun sekitar abad 15-16, memiliki bentuk yang spesifik. Abad 15-16 menjadi
masa transisi bentuk arsitektur, dari gaya Jawa-Hindu ke Jawa-Islam. Sumanto al
Qurtuby (Handinoto, 2012) menyebutkan masa transisi ini sebagai zaman Sino-Javanese Muslim Culture. Karakter
masjid masa transisi ini terlihat dari liwan dan serambi yang sering digunakan
untuk kegiatan kemaslahatan (acara ijab dan perkawinan). Pada bangunan serambi
terdapat beduk, yang merupakan salah satu ciri masjid-masjid di Jawa. Beduk
akan dipukul ketika waktu salat tiba. Bangunan serambi masjid di Jawa, biasanya
ditutup dengan atap limasan. Sambungan antara atap “tajuk gantung” dengan atap
limasan serambi menggunakan talang dari plat besi berbentuk cekung setengah
bola. Teknik sambungan dengan talang tersebut dimungkinkan merupakan teknologi
dari pertukangan Cina. Teknik tersebut juga digunakan pada bangunan Kuil Sam Go
Kong di Semarang.
Hadirnya jagang (parit kecil) pada
emper bangunan masjid, juga menjadi ciri sendiri bangunan masjid di Jawa.
Jagang ini memiliki kedalaman sekitar 0,6 m dan lebar 1,5 m. Terkadang jagang
dilengkapi dengan air mancur (Setyowati, 2007). Ciri ini banyak dijumpai pada
masjid di Jawa, seperti Masjid Kauman Magelang, Masjid Gedhe Kraton Yogyakarta,
dan Masjid Pathok Negoro Yogyakarta. Jagang tersebut digunakan untuk membasuh
kaki sebelum masuk ke bangunan masjid. Teknologi menggunakan unsur air pada
bangunan masjid belum diketahui berasal dari mana. Analisa penggunaan air pada
bangunan ialah untuk memberikan kesejukan pada bangunan, disamping juga tujuan
ibadah (proses bersuci dari najis kecil). Pada hal ini jelas Islam menyumbangkan
konsep kenyamanan dan kebersihan serta kesucian masjid sebagai tempat ibadah.
Kehadiran makam pada lingkungan
masjid pun merupakan karakteristik bangunan masjid Jawa Kuno (Handinoto, 2012).
Makam yang ada pada lingkungan masjid adalah makam para pendiri masjid dan
keluarganya. Makam di Masjid Gedhe Mataram terletak sebelah barat atau barat
laut masjid. Bentuk bangunan di sekitar makam menyerupai bangunan candi Hindu.
Pada bagian pintu masuk terdapat gapura berbentuk pintu gerbang candi. Terdapat
sesaji berupa bunga, kemenyan, tungku perapian atau anglo
dan sebagainya di gerbang makam. Dalam kesehariannya, makam sering dikultuskan
oleh masyarakat yang datang berkunjung. Tujuan para pengunjung sebagian besar adalah
untuk minta “berkah” dari makam raja. Ini merupakan pandangan secara kosmologis
adanya kekuatan roh dari raja atau wali yang telah meninggal dunia. Makam
tersebut kemudian dianggap dapat mendatangkan keuntungan dan kebahagiaan dalam
hidup mereka (Like, 2017).
Sumber :
Makna dan Fungsi Arsitektur Masjid Gedhe Mataram
Kotagede Yogyakarta oleh Nanda Silviana, Program Studi Agama-agama, Fakultas
Ushuluddin Dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2017.
Akulturasi Budaya Pada Bangunan Masjid Gedhe
Mataram Yogyakarta oleh Endang Setyowati, Gagoek Hardiman, Titien Waro Murtini,
Mahasiswa Program Doktoral Teknik Arsitektur, UNDIP; Arsitektur Fakultas sains
dan Teknologi Yogyakarta.
*Tulisan ini merupakan bagian dari serangkaian acara Ekspedisi 2019
Komentar
Posting Komentar