Akulturasi Budaya Pada Bangunan Masjid Gedhe Mataram Kotagede


Masjid Gedhe Mataram merupakan masjid tertua di Yogyakarta, yang dibangun oleh Sultan Agung pada tahun 1640 M. Pembangunan masjid dilakukan secara bergotong royong dengan masyarakat sekitar yang umumnya masih memeluk agama Hindu dan Buddha. Masjid Gedhe Mataram sendiri berada di kompleks pemakaman raja-raja Mataram yang beralamatkan di Dusun Sayangan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Pada bagian depan kompleks masjid, terdapat sebuah prasasti berbentuk bujur sangkar yang di atasnya terdapat lambang Kasunanan Surakarta Agung. Ihwal tersebut menunjukan keterlibatan Kasunanan Surakarta pada tahap kedua pembangunan Masjid Gedhe Mataram, yang dalam hal ini Paku Buwono X. Perbedaan bangunan yang didirikan oleh Sultan Agung dan Paku Buwono X adalah pada tiang masjid yang dibangun oleh Sultan Agung berasal dari kayu, sedangkan Paku Buwono X memakai besi. Secara keseluruhan, bangunan masjid yang berbentuk limasan terbagi menjadi dua bagian, yaitu inti dan serambi.

Ulasan Bagian Bangsal Masjid Gedhe Mataram Kotagede
Di balik seketeng adalah halaman masjid. Dari halaman masjid ke arah lurus dan kanan, terdapat bangunan masjid. Kemudian, jikalau menuju ke arah kiri, terdapat kompleks makam dan sendang/kolam. Pada halaman masjid ini berdiri dua buah bangunan Bangsal Pacaosan, yang ada di sebelah kanan dan kiri halaman. Bangunan Pacaosan berdenah segi empat. Tinggi lantai 20 cm dari level tanah halaman. Bangsal ini merupakan bangunan terbuka, tanpa dinding dengan atap berbentuk limasan. Atap disangga oleh kolom kayu berjumlah enam buah. Pada bagian halaman masjid, juga berdiri bangunan tugu yang berfungsi sebagai tempat jam/penunjuk waktu salat. Pada puncak tugu, dihiasi dengan hiasan berbentuk kupluk/peci raja. Hal ini menunjukkan bahwa bangunan masjid adalah bangunan milik kerajaan.

Pada bagian ini, budaya Jawa sangat melekat pada tata ruang. Dimulai dari ruang luar yang menyerupai alun-alun dengan pohon beringinnya, bangunan Pacaosan sebagai bangunan perantara atau tempat menunggu untuk berkegiatan di Masjid. Menurut tata ruang Jawa, bangunan Pacaosan digunakan sebagai tempat tunggu, sebelum masuk ke ruang raja.

Ulasan Bagian Gapura Masjid Gedhe Mataram Kotagede
Tata ruang masjid terbagi atas ruang luar dan ruang dalam. Tata ruang luar terdiri dari pagar pembatas. Pagar pembatas adalah dinding yang mirip dengan dinding bangunan candi Hindu (Uwarna, 1987). Pada bagian dalam dinding terdapat jagang/kolam keliling. Jagang mengelilingi kompleks masjid dan juga ada di sekeliling emper bangunan masjid. Makna jagang di sekeliling dinding pagar ialah sebagai benteng keamanan (Setyowati, 2007). Akan tetapi, untuk jagang di sekeliling bangunan masjid digunakan sebagai sarana membersihkan kaki sebelum masuk ke masjid. Dinding pagar keliling memiliki tiga buah gapura sebagai pintu masuk. Gapura-gapura ini berbentuk paduraksa, semacam gapura pada candi. Persis di bagian depan gapura, akan ditemui sebuah tembok berbentuk huruf “L”. Pada tembok tersebut, juga terpahat beberapa gambar yang merupakan lambang kerajaan. Bentuk paduraksa dan huruf “L” tersebut merupakan bentuk toleransi Sultan Agung pada warga Hindu dan Buddha yang ikut bergotong royong membangun masjid

Ulasan Bagian Pagar Bata Masjid Gedhe Mataram Kotagede
Selain pada sisi dalam masjid, keunikan arsitektur Masjid Gedhe Mataram juga terdapat pada sisi halaman luar masjid alias area pekarangan. Pada sisi kiri halaman, akan ditemui pagar tinggi yang terbuat dari batu bata besar. Pagar tersebut merupakan pagar utama yang dibangun pada masa Sultan Agung dan merupakan bangunan asli dari Masjid Gedhe Mataram. Konon, perlekatan dari batu bata ini menggunakan gula aren. Pagar ini dihiasi batuan marmer yang berukir aksara jawa dan menjadi ciri khas lain dari Masjid Gedhe Mataram. Kemudian pada sisi kanan halaman, terdapat pagar dengan ukuran batu bata lebih kecil dan warna yang lebih pucat. Pagar tersebut merupakan hasil pembangunan kedua oleh Pakubuwono X. Pagar dengan batu bata kecil ini lebih mendominasi keseluruhan bagian pagar, yang diakhiri dengan pintu gerbang cantik berarsitekturkan Jawa kuno, paduraksa. Sebuah konsep arsitektur khas budaya Hindu.

Ulasan Bagian Saka/Tiang Masjid Gedhe Mataram Kotagede
Saka merupakan sebutan untuk tiang penyangga dari Masjid Gedhe Mataram. Saka sendiri berfungsi sebagai penyangga bangunan serambi masjid dengan atap limasan. Sambungan antara atap tajug lambang gantung dengan atap limasan pada serambi menggunakan talang dari plat besi berbentuk cekung setengah bola. Teknik talang dengan material besi tersebut merupakan teknologi dari pertukangan Cina. Teknik terebut juga digunakan pada bangunan Kuil Sam Go Kong di Semarang. Kolom pada bangunan serambi disebut Soko Pengarep dan Soko Penanggap. Semua saka ditopang oleh pondasi umpak dari batu alam hitam tanpa ornamen. Bagian atas Soko Pengarep ditutup dengan papan yang penuh dengan ornamen kaligrafi. Tiang atau saka pada Masjid Gedhe Mataram dikenal dengan istilah “saka guru”. Istilah tersebut diambil dari bahasa Sanskerta, yang mana “saka” berarti tiang dan “guru” berarti utama. Jadi, saka guru merupakan tiang penyangga utama dari Masjid Gedhe Mataram. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saka guru merupakan bagian dari unsur Jawa.


Ulasan Bagian Kolam Masjid Gedhe Mataram Kotagede
Pada area Masjid Gedhe Mataram, terdapat sebuah jagang atau kolam yang berbentuk menyerupai parit dan mengelilingi masjid. Pada awalnya, jagang tersebut terhubung dengan sendang yang berada di sebelah selatan masjid. Namun, terkait dengan masalah perairan di area masjid, maka jalan air yang menghubungkan kolam dengan sendang diputus sehingga jagang berdiri sendiri mengelilingi masjid. Jagang juga pada awalnya digunakan sebagai media berwudu, membersihkan kotoran sebelum memasuki masjid. Jagang mengandung filosofi bahwa sebelum memasuki masjid, hendaknya seseorang menghilangkan sifat angkaranya terlebih dahulu. Lamun seiring dengan berjalannya waktu, atas dasar pemutakhiran masjid, dibangunlah tempat wudu dengan keran menggantikan fungsi bersuci dari jagang. Kini, jagang yang mengelilingi Masjid Gedhe Mataram hanya berfungi untuk mendinginkan masjid.

Ulasan bagian Atap Masjid Gedhe Mataram Kotagede
Ihwal lain yang menarik dari Masjid Gedhe Mataram ialah terdapat sebuah mustaka di puncak atap masjid. Mustaka tersebut tidak berornamenkan bulan sabit/lafaz Allah pada umumnya, melainkan sebuah gada berukuran besar yang berornamenkan daun mimbar. Pada bagian atap masjid, terdiri dari dua tingkat. Atap masjid Gedhe Mataram Kotagede terbuat dari kayu dan ditutup menggunakan genteng. Pada bagian atas atap tersebut berbentuk segitiga dengan sudutnya yang runcing. Kemudian, bagian bawah atap tersebut seperti segitiga yang terpotong bagian atasnya saja. Pada bagian puncak tersebut diberi mahkota yang disebut dengan “pataka”.

Ulasan Bagian Mimbar dan Beduk Masjid Gedhe Mataram Kotagede
Masjid Gedhe Mataram memiliki beduk yang berukuran diameter 85 cm. Beduk sebagai penanda waktu salat ini merupakan hadiah yang diberikan oleh Nyai Pinggit dari Desa Dondong, Kulon Progo. Untuk mengenang jasa Nyai Pinggit, keturunannya diperbolehkan menempati wilayah di sekitar area masjid. Daerah tersebut diberi nama Dondongan. Mereka juga menjadi abdi dalem yang bertugas mengurusi masjid. Masjid Gedhe Mataram juga mempunyai mimbar khotbah di dalamnya. Mimbar tersebut terletak di sebelah utara mihrab. Menurut catatan sejarah, mimbar tersebut merupakan pemberian dari Kesultanan Palembang Darussalam kepada Kesultanan Mataram pada masa Sultan Agung.
  
Daftar Pustaka:
Mengungkap kisah masjid agung kotagedhe. https://www.idntimes.com 
https://seminar.iplbi.or.id/akulturasi-budaya-pada-bangunan-masjid-gedhe-mataram-yogyakarta/
https://visitingjogja.com/12706/masjid-mataram-kotagede/
Nanda Silvia. Makna Dan Fungsi Arsitektur Masjid Gedhe Mataram Kota Gedhe Yogyakarta,
Skripsi FUPI UIN Sunan Kalijaga. 2017. http://digilib.uin-suka.ac.id/29787/2/13520023_BAB
Apriyanto. Akulturasi Budaya Dalam Arsitektur Masjid Gedhe Mataram Kota Gede, Skripsi FAIB
UIN Sunan Kalijaga, 2015.
Gagoek Hardiman. Akulturasi Budaya pada Bangunan Masjid Gedhe Mataram Yogyakarta,
Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 1, A 011-018. Program Doktoral
Arsitektur dan Perencanaan Kota, Fakultas Teknik,
https://www.antaranews.com/berita/769768/warisan-toleransi-di-masjid-gedhe
Kompas.com. (2010, 13 Agustus). Mengheningkan Cipta bagi Semua Makhluk.
Setiawan Agus  Prasetya. 2017. Tugas Akhir Perancangan Buku Infografis Kompleks Masjid
Gedhe Mataram Kotagede. ISI Yogyakarta .

Tim Penyusun: Milhatu Fitriyah, Maytri Zahra Saraswati, Ratna Riyana, Clara Aprillita KrismurtiArif I. Ismail, Khaerul Waro’, Haidar Putra Pratama, Fakhrozi Satria Rosadi, Yoga Hanindyatama, Renaldi Fadliansyah.
Editor: Donny Agustio
*Tulisan ini merupakan bagian dari serangkaian acara Ekspedisi 2019

Komentar