Apakah Pantas Ki Ageng Mangir Disebut Pemberontak?

Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai
Melalui pupuh Dhandhanggula pada serat Wulangreh, riwayat Kyai Ageng Mangir dimulai. Di dalam pupuh yang berlatar belakang zaman awal Kerajaan Mataram Islam tersebut, hiduplah seorang pemuda kesatria, bernama Kyai Ageng Mangir. Ia tinggal di sebuah desa yang bernama Desa Mangiran. Sekarang, desa tersebut menjadi Desa Wisata Sendangsari, Bantul.

Kyai Ageng Mangir terkenal akan wataknya yang menolak tunduk terhadap Mataram Islam. Baginya, Desa Mangiran sudah merdeka sejak zaman Kerajaan Demak dan Pajang sehingga tidak perlu tunduk pada penguasa mana pun, termasuk kepada Kerajaan Mataram Islam. Lagi pula menurutnya, tanah Mangiran adalah milik Tuhan, bukan milik seorang raja.

Apa yang dilakukan oleh Ki Ageng Mangir tersebut dapat dikatakan berani. Menimbang, Panembahan Senopati merupakan sosok yang ambius dalam menaklukan sebuah daerah. Terlebih, ditopang kemampuan cerdiknya dalam berperang. Hal tersebut tidak membuat Ki Ageng Mangir gentar, bahkan nasihat para sahabatnya pun tidak dihiraukan. Tindakan Ki Ageng Mangir ini, jelas membahayakan bagi warga Desa Mangiran.

Panembahan Senopati mengetahui sikap Ki Ageng Mangir yang menolak tunduk terhadap Mataram Islam. Kemudian, dalam tembang Pocung (salah satu dari sebelas tembang Macapat), menjelaskan bahwa Panembahan Senopati menerima masukan dari patihnya yang bernama Adipati Mandaraka atau Ki Juru Martani. Masukan tersebut diterima oleh Panembahan Senopati, yang menyangkut untuk memberi tugas terhadap putrinya yang bernama Ratu Ayu Pambayun. Tugas tersebut berupa untuk berpura-pura mencari uang dengan cara bermain wayang dan penari ledhek di daerah Mangir.

Kepatuhannya terhadap orang tua, barangkali menjadi alasan terkuat dari Ratu Ayu Pembayun untuk berani menunaikan tugas berbahaya tersebut. Sebelum berangkat menuju Mangir, Panembahan Senopati berpesan kepada putrinya. Dalam pesan itu, Ratu Ayu Pembayun diminta agar nanti setelah bertemu Kyai Ageng Mangir, jangan selalu menuruti kehendaknya. Bujuklah agar Kyai Ageng Mangir bersedia menghadap Panembahan Senopati. Setelah itu, layani Kyai Ageng Mangir sebaik-baiknya dan carilah tombak baruklinting, yang diyakini merupakan pusaka andalan Kyai Ageng Mangir. Setelah ditemukan, hendaknya tombak tersebut diusap dengan pakaian dalam sebanyak tiga kali. Dipercaya dengan cara ini akan melemahkan kesaktian tombak baruklinting.

Untuk meminimalisir bocornya siasat ini, Ratu Ayu Pambayun dan rombongan disuruh menggunakan nama samaran terlebih dahulu, sebelum memasuki wilayah Mangir. Setelah semua dirasa siap, beraksilah Ratu Ayu Pembayun menuju Mangir dengan menyamar sebagai sinden di rombongan wayang. Kebetulan, saat itu Kyai Ageng Mangir ingin mengadakan pertunjukan wayang di wilayahnya. Maka, diundanglah rombongan Ratu Ayu Pembayun untuk mengadakan pertunjukan. Seketika, Ki Angeng Mangir jatuh hati pada sang sinden, yang tak lain merupakan Ratu Ayu Pembayun. Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Ratu Ayu Pambayun untuk terus mendekati Ki Ageng Mangir.

Singkat cerita, terjalinlah hubungan di antara dua insan tersebut. Sesuai dengan pesan ayahnya, Ratu Ayu Pembayun kemudian berterus terang kepada Kyai Ageng Mangir, bahwa sebetulnya ia adalah putri Panembahan Senopati, sang penguasa Mataram. Pengakuan tersebut membuat Kyai Ageng Mangir tersentak dan merasa terjebak. Akan tetapi, Ratu Ayu Pambayun dapat menghibur dan meyakini Kyai Ageng Mangir bahwa semua dosanya akan diampuni. Kyai Ageng Mangir pun berjanji untuk menemui Panembahan Senopati.

Kyai Ageng Mangir segera menepati janjinya, yaitu menghadap raja Mataram. Pupuh Asmaradana dalam Babad Bedhahing Mangir, menceritakan bahwa Kyai Ageng Mangir berangkat menuju Mataram dengan Ratu Ayu Pembayun, yang telah sah menjadi istrinya. Pemberangkatan tersebut juga didampingi oleh Ki Dhalang dan segenap niyaga. Sang niyaga membocorkan peristiwa ini kepada Adipati Martalaya bahwa Kyai Ageng Mangir sudah dapat dibujuk dan sedang dalam perjalanan menuju Mataram. Maka, semua prajurit Mataram disiapkan. Selain itu, Kyai Ageng Mangir berangkat ke Mataram juga membawa dua puluh prajuritnya, juga tak ketinggalan tombak sakti baruklinting.

Ia tidak merasa dijebak karena mendapatkan sambutan luar biasa berupa pesta. Dalam pesta itu, Kyai Ageng Mangir dijanjikan akan menjadi adipati wilayah Kedu dan Bagelen. Kanjeng Panembahan Senopati juga hadir dalam pesta ini dengan tombak pleret di samping pahanya. Ketika hendak sungkem kepada Panembahan Senopati, mendadak nafsu amarah Panembahan Senopati memuncak.

Panembahan Senopati menusuk dada Mangir sekonyong dengan tombaknya. Kyai Ageng Mangir pun membalas dengan berusaha menubruk Panembahan Senopati. Akan tetapi, balasan tersebut dapat dihindari oleh Panembahan Senopati sehingga Kyai Agen Mangir jatuh terkena Batu Gilang (singgasana Panembahan Senopati). Arkian, kepala Mangir diinjak oleh Panembahan Senopati, yang membuatnya tewas seketika. Tewasnya Kyai Ageng Mangir membuat bumi Mangir dibagi tujuh bagian untuk prajurit-prajurit Mataram yang telah berjasa. Namun, terdapat banyak negasi terkait dengan tunduknya Ki Ageng Mangir ini.

Dalam versi lain mejelasakan bahwa Ki Ageng Mangir hanyalah korban. Alasan sebenarnya Panembahan Senopati ingin menguasai Mangiran ialah karena warga Mangiran yang terlalu memuji Kyai Ageng Mangir. Hal ini lah yang membuat iri Panembahan Senopati sehingga berencana membunuhnya. Disamping itu, Panembahan Senopati takut akan Ki Ageng Mangir yang memiliki kesaktian lebih dari dirinya. Oleh karena itu, Penembahan Senopati selalu mencari dalih untuk menyalahkan Kyai Ageng Mangir.

Dari periwayatan tersebut, seakan menginsafkan kita bahwa dalam memahami historiografi tradisional harus dicermati secara kritis. Seperti ungkapan yang melegenda dari Winston Churchill—PM Inggris—bahwa sejarah hanyalah milik seorang pemenang, dan yang kalah akan dijadikan pecundang. Dalam kasus ini, Kyai Ageng Mangir menjadi pihak yang terkalahkan sehingga terus dikonotasikan buruk, seperti pembangkang. Akan tetapi, Panembahan Senopati yang menjadi pemenang, malah akan terus dikultuskan.

Pada akhirnya membuat kita harus berpikir tajam terkait cap pengkhianat yang selalu disematkan pada Kyai Mangir. Beliau memang menolak tunduk pada Mataram karena berprinsip bahwa hasil kekayaan Mangir adalah berkah Tuhan, dan tidak ada sangkut pautnya dengan Panembahan Senopati. Oleh karena itu, kemudian pantaskah apabila narasi historiografi terus menyalahkan Kyai Ageng Mangir karena prinsipnya itu? Atau malah sebaliknya, Kyai Ageng Mangir adalah seorang pahlawan karena berjuang melawan Keraton Mataram yang menindas hak rakyat Mangiran.

Kebenaran tidak selalu hitam dan putih seperti yang dinarasikan dalam historiografi tradisional.


Narasi: Raihan Risang Anugerah
Tim Penyusun: Raihan Risang Anugerah P, Raymizard Alifian Firmansyah, Annisa Mardiana Mulsy, Tegar Ardeta, Gilang Alifio Abdilah Kusuma, Muhammad Rahman, Muhammad Rendy Granada Putra, Intan Pangastuty P, Berta Nugraheni, Dyah Noviana Rahmawati
Editor: Agus Widi Astuti
*Tulisan ini merupakan bagian dari serangkaian acara Ekspedisi 2019

Komentar