Potret Gapura Masjid Mataram Kota Gede |
Salah satu bagian paling terlihat adalah gapura dan dinding luar dari Masjid Gede Mataram. Budaya Hindu sangat melekat pada penampilan bagian luar kompleks Masjid Gede Mataram. Dimulai dari pintu gerbang berbentuk gapura yang dilengkapi dengan dinding berhiaskan relief-relief candi. Sebelah utara masjid, terdapat pemandian yang dilengkapi dengan gapura dan dinding makam berhiaskan relief candi.
Gapura Masjid Gede Mataram menawarkan perspektif menarik dalam proses pembangunan Kerajaan Mataram. Gapura itu dibangun oleh para pengikut Panembahan Senopati yang beragama Hindu dan ikut membabat Alas Mentaok sebagai cikal bakal berdirinya ibu kota Mataram Islam.
Alas Mentaok merupakan bekas wilayah Kerajaan Pajang. Lokasi Kerajaan Pajang sendiri berasal dari daerah Surakarta kala dikuasai oleh Sultan Hadiwijaya, yang nama mudanya dikenal sebagai Jaka Tingkir atau Mas Karebet. Alas Mentaok diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah. Beliau merupakan pemimpin prajurit Wirotantomo di Kerajaan Pajang.
Ki Ageng Pemanahan dipercaya sebagai pendiri Mataram Islam, ia mulai membangun cikal bakal Mataram Islam pada tahun 1556. Hal tersebut juga berhubungan dengan ramalan Sunan Prapen, bahwa di Mataram akan lahir kerajaan yang lebih besar daripada Pajang. Sebagai sebuah wilayah kesultanan, masyarakat Mataram Islam cukup heterogen. Terbukti dari berbagai bentuk akulturasi agama Islam dan Hindu dalam ornamen bangunan peninggalan Mataram Islam.
Ciri khas Hindu dan Buddha masih tampak jelas mempengaruhi bangunan Masjid Gede Mataram, seperti gapura yang berbentuk paduraksa. Bangunan inti masjid merupakan bangunan Jawa berbentuk limasan. Cirinya dapat dilihat pada atap yang berbentuk limas dan ruangan yang terbagi dua, yaitu inti dan serambi.
Gapura depan masjid berbeda dengan masjid pada umumnya. Karena gapura tersebut menyerupai tempat peribadatan umat Hindu atau Buddha. Bentuk gapura tersebut ada yang menyebutnya sebagai kelir, di mana jika ada orang yang hendak memasuki halaman masjid harus belok ke kanan.
Kerajaan Mataram memberikan syarat mengucapkan syahadat bagi para warganya yang ingin memasuki masjid. Syarat ini bersifat sukarela tanpa paksaan sama sekali. Hal tersebut merupakan strategi untuk menyebarkan ajaran Islam di wilayah Kota Gede.
Dalam ajaran Islam pada masa Mataram, masjid merupakan tempat untuk menghadap Allah, maka untuk beribadah pada hakikatnya kita telah mati. Masyarakat Mataram Islam percaya kalau ingin bahagia terdapat syarat dan langkah-langkahnya yaitu iman, kebersihan hati, dan akhlak mulia. Ketiga hal itu ada dalam ritual dan simbol gapura di Masjid Gede Mataram.
Salah satu syarat bagi yang hendak melewati gapura, yaitu dengan mengucapkan syahadat. Disamping untuk berdakwah hal tersebut juga salah satu syarat masuk surga. Maka masyarakat yang belum menganut Islam secara tidak langsung mengimani ajaran Islam. Demikianlah metode tersebut termasuk dalam strategi islamisasi di Mataram.
Pada pintu gapura terdapat kepala raksasa yang dinamakan “mangkoro”. Ornamen melambangkan kebersihan hati yang berfungsi sebagai penolak bala/bencana. Akan tetapi, oleh orang Islam digunakan sebagai metode dakwah. Dakwah tersebut berupaya untuk mensucikan manusia dari sifat angkara (bengis). Selain itu, pada jalan menuju masjid terdapat kolam (jagang) untuk membersihkan kaki. Kaki manusia angkara dianggap memiliki langkah yang buruk. Oleh karena itu, untuk menghadap Allah harus bersih terlebih dahulu.
Setelah melewati gapura masjid, kita akan melihat pohon sawo kecik. Pohon ini juga merupakan simbol ajaran Islam. Sawo kecik berasal dari istilah bahasa Jawa, yaitu “sarwo becik” yang artinya serba bagus. Pohon sawo tersebut tidak boleh lebih ataupun kurang, jumlahnya harus tujuh belas sesuai dengan rakaat sholat dalam ajaran Islam. Kita bisa melihat banyak sekali simbolisasi ajaran Islam, dari bentuk gapura sampai pohon sawo.
Selain itu, dengan arsitektur gapura dan makna filosofisnya, kita bisa memahami bahwa agama juga memiliki sisi kultural. Agama yang merupakan sebuah konsep ilahi ketika bertemu kenyataan budaya atau sosial pasti mengalami kontekstualisasi. Dari berbagai fenomena ini kita bisa belajar, bahwa kontekstualisasi ajaran agama bisa memiliki berbagai cara menarik.
Dalam perspektif kebudayaan dan toleransi, kita bisa memahami bahwa agama adalah way of life, bukan sekedar ajaran teologis. Dari Masjid Gede Mataram kita belajar, bahwa untuk menyebarkan agama dan kepercayaan, medium yang dipakai sangat beragam. Dari bentuk gapura sampai pohon sawo.Narasi: Amos
Tim Penyusun: Amos, Sudden, Andini, Christin, Okta, Lana, Dwinda, Tika, Virgin, dan Fajar
Editor: Donny Agustio Wijaya dan Rachmad Ganta Semendawai
*Tulisan ini merupakan bagian dari serangkaian acara Ekspedisi 2019
Komentar
Posting Komentar