Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai |
Apa yang terbersit dalam pikiran Anda saat menyebut makanan Yogya? Tentu kita akan menemukan daftar makanan penuh rasa. Sebut saja geplak, bakmie jawa, sate klatak, tiwul dan lain-lain. Akan tetapi, terasa kurang lengkap gerainya bila tidak membahas makanan manis yang satu ini. Gudeg tentunya yang saya maksud.
Gudeg sebagai salah satu peninggalan Mataram Islam tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang yang selaras dengan bumbu dan cita rasa manis legit serta gurihnya. Kehadiran gudeg pun tidak dapat dijauhkan dengan eksistensi Yogyakarta itu sendri. Kala itu Panembahan Senopati membuka hutan Alas Mentaok demi mendirikan Mataram Islam. Prajurit dan kaum pekerja bersama-sama memangkas hutan. Dimana kelak berikut hari hutan itu menjadi cikal bakal Yogyakarta.
Dalam proses penebangan hutan, mereka menemukan pohon nangka, kelapa, dan tangkil dalam jumlah yang besar. Karena jumlah yang demikian, Para pekerja berfikir untuk mengolah makanan dari bahan gori atau nangka muda dengan santan dan daun melinjo. Kemudian dimasaklah gori beserta bahan lain di dalam kuali besar. Karena berjumlah sangat banyak, maka dibutuhkan alat pengaduk yang tidak kecil. Proses pengadukan gudeg sendiri disebut “hangudeg” yang menjadi cikal bakal nama “gudeg” (Murdijati Gardjito: 2017). Para pekerja merasakan cita rasa yang semakin enak, saat gudeg terus dimasak tanpa gosong, hingga air perlahan mulai kering.
Menurut Heri Priyatmoko, dilansir dari detik.com, Serat Centhini sebagai peninggalan penting pencatatan kekayaan budaya Jawa tak luput membahas ihwal gudeg. Dimana Penguasa istana Kasunanan bersama bawahannya, turut mencicipi sepincuk gudeg. Diriwayatkan, Paku Buwana IX (1861-1893) pernah memborong nasi gudeg plus nasi liwet yang diolah para bakul dari daerah Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Hidangan itu untuk ngingoni rombongan niyaga (penabuh gamelam) yang menghibur penghuni istana dengan alat musik karawitan semalam suntuk.
Banyaknya pohon nangka saat ekspedisi tentara Mataram menuju Batavia membuat prajurit Mataram mengakalinya sebagai makanan. Dalam perkembangannya, saat disajikan gudeg biasanya dilengkapi dengan nasi putih, telur bacem rebus, sambal krecek, ayam suir maupun utuh, dan kerupuk udang atau kerupuk kerecek. Khusus di Surakarta sendiri, gudeg memiliki ciri khas berkuah agak keputihan sedangkan di Yogyakarta lebih kental dan kecoklatan oleh gula jawanya.
Saat ini gudeg terdapat beberapa variasi, yakni kering dan basah. Gudeg kering sejatinya tidak benar-benar kering. Hanya saja disajikan dengan kuah yang sedikit kental dan lebih meresap. Rasa gudeg kering dianggap lebih enak dan lebih tahan lama dibandingkan dengan gudeg basah. Gudeg basah yang lebih dulu diciptakan, memiliki kuah yang banyak daripada gudeg kering. Namun, bukan berarti tidak enak. Kuahnya yang melimpah membuatnya enak untuk diseruput kala bersemayam di lidah. Akan tetapi, karena tuntutan yang mengharuskan gudeg dijadikan sebagai oleh-oleh membuat gudeg memiliki banyak variasi.
Khusus Surakarta sendiri juga terdapat gudeg, tetapi dengan ciri khas kuahnya yang berwarna putih santan. Gudeg juga disebut makanan fleksibel karena topping atau lauk pauknya dapat menyesuaikan selera penikmatnya. Dahulu, untuk kalangan rakyat, umumnya mereka menikmati gudeg dengan lauk tahu dan tempe, sedangkan untuk kalangan ningrat biasanya menggunakan ayam suir atau daging.
Perjalanan dalam proses pembuatannya sendiri, gudeg awalnya dimasak dalam kuali tanah liat besar dan anglo atau tungku tanah dengan bahan bakar kayu. Masih banyak terdapat beberapa tempat makan yang mempertahankan cara tersebut untuk menjaga cita rasa dari gudeg itu sendiri. Namun, banyak juga yang kini beralih ke kompor gas biasa dan menggunakan panci dari aluminium besar untuk wadahnya.
Kota Yogyakarta, banyak terdapat restoran gudeg terutama daerah Wijilan yang disebut sebagai sentra gudeg. Ada juga yang terkenal ialah “Gudeg Yu Djum” yang telah ada sejak tahun 1950. Lamun, bukan berarti gudeg hanya dapat dibeli atau dimasak di dartah Wijilan saja. Gudeg juga menjadi makanan wajib bagi masyarakat Yogyakarta untuk kegiatan Slametan. Baik Slametan nikahan, yang biasanya dilakukan saat seseorang nyumbang ke tetangga yang sedang ada hajatan, maka yang memiliki hajatan esoknya akan mengirim makanan atau terter ‘mengantar makanan atau oleh-oleh’, berupa nasi, ayam, gudeg, mie, capcay, sambel goreng, dann lain-lain untuk tetangga yang sudah nyumbang (di beberapa daerah, oleh-oleh nyumbang sendiri terdapat perbedaan, ada yang berupa telur mentah seberat 1 kg, ada yang berupa ayam goreng 1 ekor).
Dewasa ini gudeg masih menjadi ikon kuliner kota Yogyakarta yang melegenda. Demikianlah legitnya gudeg tak serta merta menjadi hidangan santap untuk menggoyang lidah penikmatnya saja. Lebih dari itu Gudeg adalah warisan besar sejarah, akan megahnya kebesaran Mataram Islam tempo dulu.
Narasi: Nadiah Nur Azizah
Tim Penyusun: Nadia Nur, Aufa Latifah M, Ika Nurul'aini, Imroatul Sholikhah, Nesha Putri, Rohmah, Lintang Setyarini, Anisa Rizki Arinta, Esa Rayhan
Editor: Donny Agustio Wijaya dan Rachmad Ganta
*Tulisan ini merupakan bagian dari serangkaian acara Ekspedisi 2019
Komentar
Posting Komentar