Nyai-Gundik Pemuas Nafsu Gaya Hidup Kolonial


Oleh: Agus Widi Astuti
Editor: Rachmad Ganta Semendawai
Di zaman sekarang, seorang wanita dewasa merasa senang bukan kepalang ketika bisa menikah dengan laki-laki asing atau bule. Apalagi menikah atas kesediaan masing-masing. Namun, hal tersebut berbanding terbalik ketika kita melihat ke masa penjajahan Belanda. Wanita yang menikah dengan seorang Belanda atau bukan pribumi akan menderita, malang nasibnya digantung sang tuan. Kemungkinan mendapat nasib baik itu tetap ada, tapi kecil.

Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan terutama Jawa, kata “Nyai”  bukan suatu hal yang asing. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar atau bahkan menyebut seseorang dengan tambahan kata “Nyai”, terlebih jika seorang tersebut merupakan sosok perempuan yang sangat dihormati. Namun, pada suatu zaman, seorang perempuan yang menyandang “Nyai” boleh jadi ia adalah perempuan yang hina di mata masyarakat kala itu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “Nyai” adalah panggilan kepada perempuan yang lebih tua dan bisa juga diartikan sebagai sebuah gelar jabatan kepada putri kerajaan. Istilah “Nyai” sendiri sudah ada jauh sebelum bangsa Belanda datang ke Nusantara, utamanya di Jawa dan Bali.
Seperti di daerah Jawa Tengah, istilah “Nyai” lebih pada sebutan untuk istri dari seorang Kyai (Ulama di Jawa), Nyai Ahmad Dahlan. Namun, semenjak kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara ini, istilah “Nyai” mempunyai artian yang berbeda dengan zaman sebelumnya.

Saat zaman Belanda, banyak tentara maupun orang asing yang berdatangan untuk bekerja menjadi pegawai di sini. Saat jabatan belum tinggi, gaji tak mencukupi. Saat hasrat menuntut untuk dipenuhi, tapi kasta menghalangi. Menjadikan mereka gelap mata, melakukan segala cara agar keinginan itu tercapai. Jangankan untuk menikahi wanita Belanda, menikahi wanita indo saja sudah mending-dibanding menikah dengan wanita pribumi. 

Malang sekali wanita pribumi jaman dahulu, selalu dianggap rendah tak lebih dari tanah yang diinjak-injak. Ketika banyak tentara atau pegawai Belanda datang tanpa istri maka akan bertambah pula wanita-wanita malang di tanah jajahan. Saat nafsu sudah tak terkendali, hingga akhirnya gundik yang menjadi korban. 

Hendak mengadu pun entah kepada siapa, selain kepada sang pemberi nyawa. Berharap bisa lepas dari kesengsaraan yang berkepanjangan. Hendak memberontak pun harus sadar akan kekuatan dan kedudukan. Gundik, yang tak lebih dari tanah liat yang diberi nyawa. Seberapalah harga seorang gundik di mata petinggi, yang tak lebih dari sekedar sepatu uji coba, sebelum akhirnya menikah dengan perempuan dari kasta yang sama.

Seperti arti “Gundik” dalam KBBI yaitu istri tidak resmi, selir, atau perempuan piaraan (bini gelap). Perempuan Indo atau pribumi yang dipilih laki-laki Belanda kemudian dijadikan wanita simpanan—bukan sebagai istri sah. Mereka dijadikan sebagai gundik, masyarakat menyebut dengan panggilan “Nyai”. 

 Kebanyakan gundik orang Eropa berasal dari Bali. Oleh karena itu, istilah “Nyai” mulai disematkan kepada gundik-gundik tersebut. Pada awalnya, istilah “Gundik” hanya untuk gundik seorang Belanda. Namun, lama-kelaman istilah itu berlaku juga untuk gundik orang-orang asing lain seperti orang Cina.

Secara ekonomi mereka memang mempunyai derajat yang lebih tinggi. Keadaan berbanding terbalik ketika di mata masyarakat umum pada saat itu, seorang nyai dianggap rendah, tidak bermoral, karena melanggar norma-norma dengan menjadi gundik seorang terhormat Belanda. Tak jarang seorang nyai atau gundik akan dibuang dari masyarakatnya sendiri. Hal ini dapat terjadi jika mereka diusir oleh sang tuan. 

Meskipun derajat moral mereka rendah, seorang nyai atau gundik mempunyai peran strategis dalam pembaharuan budaya pribumi dan Eropa. Kedatangan bangsa Eropa di Nusantara ini membawa dampak yang luar biasa besar, tidak hanya dibidang ekonomi saja, tetapi juga bidang sosial budaya.
Transfer kebudayaan dan pengetahuan terjadi di dalam kegiatan pernyaian atau pergundikan ini. Sang tuan dapat mengetahui kebudayaan, bahasa, makanan, dan adat istiadat setempat bahkan bisa lebih. Sedangkan sang nyai dapat mengetahui pengetahuan-pengetahuan yang sudah mulai modern dari dunia Barat sana. 

Seperti nyai atau gundik yang digambarkan dalam sosok Nyai Ontosoroh, roman Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Jika kebanyakan perempuan pribumi selalu identik dengan sikap nrimo-nya, maka berbeda dengan sang Nyai yang mempunyai ketegasan dalam dirinya. Mampu menyerap dan menguasai semua ilmu yang diberikan sang tuan, sehingga ia mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas.

Tampilan luar Nyai Ontosoroh memang pribumi. Namun, siapa yang menyangka dengan tampilan luar yang seperti demikian, ia mampu menjelma seperti wanita Eropa yang terpelajar. Pemikirannya seperti perempuan Eropa, dibalut dengan keanggunan wanita Jawa yang mengenakan kebaya putih berendra.

Tak ada seorang yang bisa memilih takdirnya. Nasib menjadi seorang gundik tidak bisa dikira-kira secara pasti. Kemungkinannya hanya ada dua, diperlakuan baik atau buruk. Beberapa memang mendapat nasib baik, menikah dengan laki-laki Eropa secara resmi. 

Namun, sekali lagi tidak semua gundik mendapatkan keberuntungan yang sama. Banyak di antara mereka disiksa dan mendapatkan perlakuan kasar yang tidak sepantasnya. Mengerikan memang melihat kondisi perempuan pribumi yang seperti demikian. Mereka dididik oleh orang tua untuk menjadi perempuan yang lemah lembut, patuh, dan nrimo. 

Sikap ntimo memang bukan sesuatu yang salah. Namun, akan menjadi salah saat seorang perempuan selalu bersikap demikian tanpa ada perlawanan jika terjadi sesuatu yang tidak semestinya. Meskipun hanya secuil pembelaan yang tak berarti, setidaknya mereka berani mempertahankan harga diri jika direndahkan atau diinjak-injak.

Beruntunglah perempuan zaman sekarang yang bisa hidup tenang tanpa rasa was-was, rasa yang selalu menghantui perempuan zaman kolonial. Memang miris mengetahui nasib perempuan zaman kolonial, mereka tak lebih seperti barang yang dapat dipindahtangankan dari tuan satu ke tuan yang lainnya. Mereka diperlakukan seenak hati, ditelantarkan seperti barang yang sudah tak berguna jika istri sah sang tuan datang ke tanah jajahan.

Terlepas dari kepahitan masa lalu itu, sudah semestinya seorang perempuan sekarang bersyukur. Banyak cara yang bisa dilakukan atas rasa syukur itu. Salah satunya dengan melakukan kegiatan-kegiatan positif sebagai tameng untuk menjaga diri. Menahan diri agar tidak tergoda akan materi yang ditawarkan praktik pergundikan zaman modern ini. 

*Tulisan ini telah dimuat di Buletin Sanskerta edisi September 2019 


Komentar