Negasi Kerudung Sebagai Tata Busana Eksklusif

Oleh: Dony Agustio
Editor: Rachmad Ganta Semendawai


Saat ini busana perempuan seperti hijab, jilbab, atau kerudung diidentikkan sebagai budaya muslim atau muslimah. Hal ini kemudian yang membuat gaya busana tersebut menjadi simbol dari suatu agama, yaitu Islam. Padahal, jika dilihat dari konteks sejarah dan kultural, bukan hanya agama Islam yang mengenal tata busana selayaknya berkerudung. Kebudayaan Samawi lain, seperti Kristen dan Yahudi pun juga dikenal. Ajarannya Yahudi dalam Taurat, terdapat term semakna kerudung, yaitu tif’eret. Begitu pula dalam Injil, yaitu zammah, re’adah, dan zaif. Lebih jauh lagi—bahkan sebelum Samawi—ternyata penggunaan kerudung sudah dikenal dalam peradaban kuno di Mesopotamia.
Hidup dalam berbagai Kebudayaan

Kerudung bisa dikatakan sebagai produk budaya yang memiliki fungsi, kegunaan, dan nilai sosial yang melekat dalam perjalanan peradaban manusia. Tradisi berkerudung bagi perempuan—untuk melindungi rambut dan wajahnya—sudah dipraktekkan jauh sebelum Islam berkembang di Jazirah Arab pada abad ke-7 M. Menurut Nashrudin Umar dalam bukunya Fiqih Wanita untuk Semua, kebiasaan berkerudung sudah menjadi wacana dalam Kode Bilalama (3.000 SM). Kemudian berlanjut di dalam Kode Hammurabi (2.000 SM) dan Kode Asyiria (1.500 SM). Ketentuan penggunaan ḥijāb sudah dikenal di beberapa kota tua di Mesopotamia seperti Babilonia dan Asyiria. Perempuan terhormat harus menggunakan ḥijāb di ruang publik. Sebaliknya, budak perempuan dan prostitusi tidak boleh menggunakannya. Perkembangan selanjutnya ḥijāb menjadi simbol kelas menengah atas masyarakat kawasan itu.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Islam tidak menciptakan atau memperkenalkan kebiasaan berkerudung. Kebiasaan berbusana kerudung telah jauh ada pada masa pra-Islam. Dalam literasi lain, bahkan menyebutkan bahwa perempuan Yunani dan Romawi Kuno juga berkerudung. Mereka berkerudung ketika berada di ruang publik dengan mengulurkan pakaian bagian atasnya menutup kepala dan melintasi wajahnya. Adat ini berlanjut hingga abad pertengahan, khususnya abad ke-12 sampai ke-13 Masehi sebelum kemudian menjadi punah.

Penggunaan kerudung untuk perempuan juga lebih dulu dikenal oleh masyarakat Yahudi. Bagi  Yahudi, kerudung tidak bisa dilepaskan dan menjadi tradisi yang kuat dalam masyarakat. Rabi (Pendeta Agama Yahudi), Dr. Menachem M. Brayer, Profesor Literatur Injil di Universitas Yeshiva dalam buku The Jewish Woman in Rabbinic Literature menulis bahwa pakaian bagi perempuan Yahudi saat keluar rumah harus mengenakan penutup kepala. Terkadang bahkan, harus menutup hampir seluruh muka dan hanya meninggalkan mata. Aturan ini turun menurun dalam masyarakat Yahudi.

 
Melalui perjanjian baru, agama Kristen juga menganjurkan pemakaian kerudung. Akan tetapi, tidak disyariatkan seperti dalam Talmud Yahudi. Kebanyakan Gereja Ortodoks menafsirkan bahwa kerudung harus dilestarikan perempuan saat beribadah seperti ajaran Rasul Paulus. Dalam ajaran Katholik, perempuan yang mengabadikan dirinya kepada Yesus dan memutuskan untuk menjadi biarawati diwajibkan memakai kerudung. Pada umumnya, para biarawati menggunakan kerudung sepanjang bahu yang diikat di tengkuk dan dipadukan dengan baju terusan sebawah lutut.

Jelaslah bahwa kebudayaan Samawi yang berkembang di Jazirah Arab memiliki gaya berbusana kerudung. Namun, kalau diperhatikan kerudung pun terdapat dalam kebudayaan Eropa. Dalam sebuah film dokumenter yang berjudul Edwardian Biritaian in Colour memperlihatkan bahwa wanita di Inggris Utara pada tahun 1901 menggunakan kerudung di jalanan Kota Lancahisre. Sejarawan Inggris, Vanessa Toulmin berpendapat bahwa menutup rambut dengan berkerudung menjadi sesuatu yang melekat bagi perempuan Inggris, tetapi hal itu telah menjadi hilang dan terlupakan sebagai bagian dari kebudayaan Inggris. Selain Inggris pakaian tradisional perempuan Norwegia, Belanda, Rusia, Belanda, dan Italia juga mengenal berbusana kerudung. Mereka berkerudung dengan kain persegi yang dilipat menjadi segitiga dan biasanya diikat di dagu atau tenguk. Tata busana kerudung bagi perempuan Eropa mudah ditemui hingga tahun 1960.

Dengan demikian, didapati negasi bahwa berkerudung bukan hanya melulu soal nilai sosial satu kelompok saja. Akan tetapi, juga terkait dengan bahasan lintas budaya yang menjadi gaya berpakaian beberapa kelompok masyarakat dunia. Walaupun begitu, yang jelas bahwa tata busana berkerudung menjadi simbol kebaikan bagi suatu kelompok. Semua kelompok yang mengenal kerudung sangat menghormati tata busana tersebut sebagai simbol pakaian yang agung. Oleh sebab demikian, menjadi tidak etis tata busana—lebih-lebih kerudung—digunakan sebagai dalih untuk menjadi bingit terhadap kelompok lain.

Komentar