Oleh: Stefanus Cagar Manusakerti
Namanya
adalah Markus Wisanggeni. Perpaduan dari nama seorang rasul dan tokoh
pewayangan. Markus adalah nama yang wajar diberikan oleh umat Katholik
kepada anak laki-laki mereka. Namun, untuk nama Wisanggeni, bukan tanpa
alasan orang tuanya memberikan nama itu. Dalam pewayangan, Wisanggeni
adalah seorang lelaki gagah yang sakti mandraguna. Namun, kelahirannya
sendiri ditolak oleh kahyangan bahkan oleh ayahnya sendiri, Arjuna.
Sejak lahir, Markus kecil tidak pernah mengenal ayahnya. Yang ia tahu
nama Wisanggeni dihadiahi ibunya untuk sekadar mengingatkan bahwa ia
memiliki seorang Ayah. Sekarang umurnya telah tepat menginjak 23 tahun
dan ia memiliki sebutan tambahan di depan Markus. Frater. Ya, Frater
Markus. Begitulah orang-orang memanggil ia sekarang. Oleh gereja, Markus
ditugaskan disebuah pulau kecil yang dikanan-kirinya hanya ada genangan
air biru langit yang membentang luas. Disana ia tinggal disebuah biara
kecil yang terletak di atas bukit tertinggi di pulau itu. Dari luar
biara itu memang terlihat rimpuh, namun dari biara itu dia dapat melihat
seluruh bagian pulau. Sudah dua tahun ia ditugaskan di pulau ini. Pada
tiap-tiap sore, Markus memiliki sebuah kebiasaan yang telah ia lakoni
semenjak pertama kali tiba di biara itu. Saban sore, ketika matahari
mulai turun dan desir angin pantai mulai mendesah, ia akan hinggap di
salah satu jendela biara yang menghadap langsung ke laut. Untuk satu
sampai dua jam ia akan diam saja disitu. Membiarkan dirinya dihisap
panorama yang mampu membuatnya berdecak kagum. Begitulah kebiasannya
disamping memberi pelayanan pada umat selama dua tahun bertugas.
Pada
suatu sore, seperti biasanya ia sudah siap di jendela itu. Seperti
biasanya pula Markus telah siap untuk menikmati lukisan alam yang
sedemikian rupa. Juga mendengar bunyi kepak camar yang berkejaran di
sela nyiur kelapa, mengamati kapal-kapal nelayan yang berbalik arah
menuju pantai yang dari jendela biara akan terlihat seperti sebuah
parade. Di bibir pantai para istri dan anak telah menunggu suami dan
Ayah hanya untuk membantu mengangkat ikan ataupun jala. Namun, ketika
sore telah hendak mencapai ujungnya, tiba-tiba entah dari mana asalnya,
melintaslah sebuah siluet berbentuk gadis yang melayang-layang di atas
lautan yang telah mulai berubah warna menjadi kelam. Dari siluet itu
keluar sebuah cahaya kemerah-merahan yang memancar sangat nyata dan
terang. Seketika sore yang coklat dan sedikit hangat yang saban hari ia
nikmati telah berubah menjadi sebuah sore yang kemerah-merahan dan
sangat hangat. Markus tersilap dan bingung. Apa itu, apakah matanya
mulai tidak beres? Apakah yang dulu diceritakan ibu itu akhirnya
terjadi? Ibunya pernah bercerita bahwa keluarga ibunya memiliki
keturunan penyakit mata yang kadang membuat mereka melihat hal yang
tidak-tidak. Sampai-sampai, kakek buyut dan kakeknya pernah dibilang
gila oleh orang-orang karena penyakit itu. Masih di jendela itu, ia
mulai mengedip-edipkan matanya dengan cepat. Ia takut jika penyakit
keturunan keluarga ibunya akhirnya juga menurun pada matanya. Semakin
kencang ia mengkedipkan matanya. Namun, siluet itu masih saja ada.
Sekarang kakinya berpantulan lincah di atas permukaan laut. Seperti
halnya seorang anak yang kegirangan bermain di halaman depan rumahnya.
Hal itu semakin membuat takut Markus. Wajahnya mulai basah dengan peluh
sebesar biji jeruk. Tetapi, disamping rasa takut, ada sebuah perasaan
lain yang hadir. Sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan. Sesuatu
yang membuatnya merasa hangat di sekujur tubuhnya. Ia mengawang, rasanya
seperti ketika ibu menempelkan handuk hangat ketika ia habis bermain
hujan dan menggigil kedinginan. Tapi kehangatan ini lain. Bahkan 100
handuk hangat ibu pun tetap tidak sebanding dengan kehangatan yang
sedang ia rasakan saat ini. Saat ini, di depan jendela biara rimpuh, di
bukit tertinggi, sebuah pulau terpencil.
Ketika
matari telah sampai pada ujung riwayatnya dan hendak ditelan cakrawala,
siluet gadis itu juga pergi menuju garis lurus cakrawala. Langit
kembali gelap seperti sediakala. Langit itu memberikan perasaan yang
masygul bagi Markus. Seolah kehangatan yang ia rasakan tadi telah
menguar entah kemana. Seperti obor yang kering minyaknya sehingga padam
tiba-tiba. Ia mencoba menenangkan hatinya dengan rebahan di atas kasur
kapuk tipis yang selama ini menemani tidurnya. Namun, kasur itu seperti
mendorongnya untuk berdiri. Alkitab mungkin lebih mampu menenangkannya
ketimbang kasur kapuk pikirnya. Ia membuka Alkitab pemberian gurunya
saat masih di seminari. Sama saja. Ia masih dikuasai rasa yang begitu
berkecamuk. Semua jarum pada jam dinding telah menunjuk angka 12. Markus
mencoba berdoa. Ia buat tanda salib. Bapa apakah gerangan yang terjadi,
aku tak pernah merasakan sesuatu yang seperti ini. Kenapa siluet gadis
itu masih ada di mataku. Tuhan, apakah hambamu ini telah jatuh hati?
Pagi
itu ia pergi ke pasar di perkampungan nelayan untuk membeli persediaan
dapur. “Frater apa Frater kemarin sore masih terjaga?” Tanya pedagang di
tempat Markus membeli ikan. Markus mengangguk. “Sebenarnya apa itu
Frater. Saya lahir dan hidup disini, tapi selama ini saya tidak pernah
melihat yang seperti itu disini. Apa itu kuasa Tuhan Frater?”.
Sebetulnya Markus juga memiliki pertanyaan yang sama. “Mungkin saja bisa
begitu” Markus menjawab seadanya. “Frater saya pernah membaca sebuah
buku karangan seseorang yang saya lupa namanya dan judulnya. Dalam buku
itu digambarkan persis seperti apa yang terjadi kemarin. Ketika pada
sore hari langit akan berwarna kemerah-merahan dan hangat. Dalam buku
itu, pengarangnya menyebutnya sebagai senja” sahut anak pedagang tadi
yang ternyata menguping dan tiba-tiba muncul dari bagian belakang kios.
Senja, sebutan yang indah untuk suatu bentuk yang indah. Ketika waktu
telah menunjukkan sore, Markus kembali ke biara. Ia telah siap di depan
jendela untuk menantikan siluet gadis senja itu lagi. Benar adanya.
Gadis itu kembali datang dan melayang-layang di atas buih-buih laut.
Sore kembali memerah dan hangat. Markus kembali merasakan hal yang sama
seperti yang ia rasakan hari lalu. Gadis itu masih terlihat sama
riangnya. Melompat-lompat seperti anak kelinci dan kembali hilang di
penghujung sore. Tuhan, aku benar-benar telah jatuh hati.
Setelah
kehadiran gadis senja itu sejak pertama kali, pada tiap malam Markus
selalu merasakan sesuatu yang masygul dalam dirinya. Ia selalu mengingat
bentuk siluet itu. Ia selalu mendamba rasa hangat itu untuk menjamah
tubuhnya lagi dan lagi. Gelap malam hanya memberi dia rasa kalut yang
dalam. Dalam doanya Markus mengucap, “Tuhan aku ini hamba-Mu. Aku telah
berjanji bahwa hanya kaulah tempat dimana tubuhku pantas mengabdi. Tapi
Tuhan, saat ini aku merasa bahwa tubuhku menginginkan pengabdian yang
lain. Pengabdian duniawi. Menyerahkan diriku untuk ditelan habis oleh
cahaya kemerah-merahan itu. Oleh kehangatan itu. Ya, oleh gadis senja
itu. Tuhan ketika gadis itu hilang ditelan cakrawala bersamaan dengan
matari, hamba seperti melihat Bunda Maria yang diangkat ke Surga dengan
kudus. Maafkan hamba Tuhan, tak pantas rasanya hamba membuat
perbandingan itu. Namun, itulah yang benar-benar hamba rasakan saat ini.
Tolonglah hamba Tuhan”.
Makin
hari perasaan itu semakin menguat. Benih perasaan itu telah menjadi
subur oleh kehangatan yang mencuat dari kulit gadis senja itu. Dan
sekarang benih itu telah berakar. Sebuah akar tunjang telah menancap
pada relung hatinya paling dalam. Yang sebelumnya hanya ia perbolehkan
Tuhan untuk menjamah tempat itu. Setelah pertama kali gadis itu datang,
Markus selalu membuat coretan pada kalender di kamarnya. Coretan itu
telah berjumlah 364. Telah 364 hari, Markus berada dalam kemasygulan.
Siang itu ia sudah diambang batas. Markus coba menenangkan diri pergi ke
taman di belakang biara. Walau kecil, namun taman itu terlihat asri
dengan kembang dan kumbangnya. Ia duduk di tepian air mancur. Ia
melongok ke air dan terlihatlah pantulan wajahnya. Markus baru tersadar,
sudah lama tidak bercukur. Ketika sedang memperhatikan wajahnya yang
telah lama tidak dipelihara, dari dalam kolam Markus melihat sebuah
padma. Padma mekar yang telah ranum. Mungkin jantungnya berhenti untuk
sesaat. Keringat dingin bercucuruan dari pori-pori di seluruh kulitnya.
Padma itu, warnanya mengingatkan ia akan warna cahaya yang keluar dari
kulit gadis itu. Seketika itu juga, luruhlah hatinya. Tak bisa lagi
Markus tahan akar tunjang yang tumbuh terlalu cepat. Akar itu telah
menerobos keluar dari hatinya. Tanpa pikir panjang, ia ambil padma itu.
Sore telah jatuh. Markus berlari menuruni bukit tertinggi itu. Ia lari
dengan tergopoh-gopoh. Seperti maling ayam yang dikejar warga.
Hingga ketika matanya hampir mengatup, Markus merasakan kehangatan yang sama lagi. Dari bagian matanya yang masih sedikit membuka, Markus melihat seperti ada cahaya kemerah-merahan yang menghampirinya. Ya, itu dia. Gadis senja. Dengan lirih gadis itu berucap “Mulai sekarang kau akan melihatku pada tiap-tiap senja. Mulai sekarang senja akan selalu turun di pulau ini. Selamanya.” Akhir kalimat itu membuat Markus tersadar. Ia mencoba membuka matanya. Sedikit pedas rasanya. Markus tersadar bahwa telah ada di bibir pantai dengan sekerumunan orang yang telah mengelilinginya. Ditangannya, Markus melihat padma itu masih ada. Padma dengan rona kemerah-merahan itu masih sama segarnya ketika ia ambil dari kolam. Ketika Markus bangun dan menengadahkan kepalanya ke langit di atas laut lepas, ternyata senja sedang turun dengan indah-indahnya.
Komentar
Posting Komentar