Dia Oppaku Tahun 1950: Satu Narasi Absurd Korea

Oleh: Rachmad Ganta Semendawai
Editor: Agus Widi Astuti

Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai

Ini bukan Korea yang kita kenal dengan gemerlap cahaya lampu panggung. Bukan pula Korea yang nampak manis dengan drama di layar kaca. Apalagi Korea yang  garang melancarkan ekspansif budaya dengan pop culture-nya (Lee Si-hyung: 2017). Sekali lagi ini bukanlah narasi keindahan Korea yang tampil megah dan memikat. Ini tentang Korea yang penuh dengan karnaval air mata. Kala hantaman mortir, tembakan meriam, dan ledakan bertabur—senantiasa memberikan rasa awas nan mencekam sepanjang Negeri Ginseng. Demikianlah siapa yang menyangka, siapa yang menduga. Bahwa Korea Selatan (Korsel) tempo dulu dipenuhi hijau sayur dari pupuk yang dibuat atas kotoran manusia. Penuh cibiran sinis atas adab rakyatnya dari negara lain. Inilah sisi beda dari kemewahan Korea Selatan.


Tak Seindah Drakor
Tak seperti sekarang, dahulu Korsel masih dipenuhi pedesaan miskin yang sangat kontras dengan megahnya kota-kotanya kini. Bahkan saking miskinnya, majalah Time pernah membahas bahwa tahun 1960, Korsel lebih melarat dari Zimbabwe. Tentu kemiskinan ini erat kaitannya dengan konflik atas Korea Utara (Korut) pada masa Perang Korea (1950-1953). Akibat pendudukan Korut atas Korsel, negeri yang kala itu dipimpin oleh Syngman Rhee ini, mengalami bencana kemiskinan yang demikian dahsyat. 

Tak  jarang ditemukan mayat yang kehilangan nyawa akibat kelaparan. Dilain sisi, masyarakat jelata yang cukup beruntung—mendapatkan makanan dari hasil bantuan tentara negeri lain. Bisa tergambar betapa tragisnya nasib masyarakat Korsel kurun itu. Rakyat Korsel yang umumnya petani dan penduduk desa yang terimbas pertempuran penuh darah. Tak sedikit yang kurang memahami makna perang ini. Mereka cuma melihat bagaimana sawah mereka dihancur-leburkan, rumah mereka menjadi api, dan debu, serta menjadi saksi atas orang-orang yang mati tertembak di depan mata mereka sendiri (Mochtar Lubis: 1951).

Lebih jauh, sejak tahun 1919, Korea mengalami pahitnya penjajahan Jepang. Dalam cengkraman Kekaisaran Matahari Terbit, tanah air bangsa Korea dihisap habis-habisan, sedangkan rakyatnya tak ubahnya seperti budak. “Mungkin di atas dunia ini tidak ada satu bangsa yang begitu merana dan sengsara dari pada bangsa Korea jajahan Jepang”, tulis seorang wartawan Harian Haluan Padang (Rivai Marlaut: 1950).
Demikianlah pasca-penjajahan Jepang nasib Korea tidaklah membaik. Perang Dingin membelah Korea menjadi dua kutub yang berlawanan. Nasib Korea Utara lebih baik, karena mewarisi banyak wilayah industri peninggalan Jepang. Sedangkan Korea bagian Selatan mendapatkan wilayah agraris penuh petani miskin. 

Meskipun negeri ini tak ubahnya ditopang oleh produk pertanian. Akan tetapi,  celakanya—produktifitas pertanian Korsel belum mampu menyejahterakan isi perut populasi padat penduduk yang tumbuh di wilayah tersebut. Maka tak perlu heran dalam berbagai catatan historis, begitu banyak narasi kelaparan di Korea Selatan.


Ladang Hijau Penuh Kotoran Manusia
Ragam makanan penuh sayur Korea Selatan nampak terlihat lezat tersebar di sosial media sebagai daya tawar wisata. Sebut saja “Kimchi”, makanan yang biasanya ditumpuk untuk persediaan musim dingin. Hal ini dilakukan agar orang Korea dapat menikmati sayur selama musim dingin (Euny Hong: 2014).

Kimchi adalah satu dari banyaknya olahan sayur khas Korea. Hampir setiap makanan Korea tidak lepas dari sayur. Bisa dikatakan Korsel merupakan negara dengan hidangan berbahan dasar sayur terbanyak di dunia. Tentu ini erat kaitannya dengan latar belakang historis Korea Selatan yang penuh ladang pertanian. Lamun, ada fakta histori yang lebih menarik dari sekedar hamparan perkebunan hijau. Terdapat realitas sejarah yang absurd menyoal masa lampau Korea.

Fakta historis tersebut  dicatat oleh Muchtar Lubis saat menjelajahi Korea. Sang Sastrawan, seringkali mencium semacam bau yang amis yang membongkar perut. Ternyata kebun-kebun orang Korea memakai sesuatu yang tidak lazim. Hal tersebut adalah pupuk dari kotoran manusia, begitulah penyubur yang dipakai sepanjang negeri itu. Dalam tulisannya: Mochtar menganggap bila terlalu lama tinggal di Korea, maka bau busuk akan melekat di tubuhnya dan tidak hilang dengan sabun sekalipun.

Dalam halaman lainnya, ia menyatakan bahwa bau sayuran busuk dan apek serta amis, bau kotoran manusia adalah penanda sebuah desa telah dekat. Muchtar juga merekam keberadaan pasar unik  di Pusan yang sempat didengarnya. Dimana terdapat pasar spesial untuk memperjualbelikan kotoran manusia. Pasar aneh tersebut, melelang kotoran manusia dalam tong-tong. Tinja ini dijual kepada petani yang biasanya memiliki lubang besar di sudut sawah atau kebunnya. 

Biasanya penyubur tanaman ini akan diambil kalau telah berkerak  tebal di bagian atasnya. Sampai akhirnya akan dicampurkan dengan air dan disiramkan di kebun-kebun petani Korea. “Sayur kol, tomat, cabe, semua kena siram air pupuk ini. Hingga tidak seorang juga orang asing di Korea yang berani makan buah-buahan dari kebun orang Korea. Dan baunya...! Ampun” demikianlah kisahnya.


Lebih Jauh Menyoal Kotoran Manusia
Orang Korea kala itu percaya bahwa kotoran manusia merupakan pupuk yang terbaik untuk kesuburan. Mungkin terdengar absurd di era modern. Akan tetapi, percaya tidak percaya, kotoran manusia sebagai penyubur, bukan hal yang asing di negara Asia Timur seperti Cina, Taiwan, Jepang, dan Korea itu sendiri. Pemanfaatan kotoran manusia sebagai pupuk organik telah lama dikembangkan secara tradisional. Bahkan di China, telah ada metode khusus untuk mengumpulkan kotoran manusia (Sukamto: 2012).

Cukup menarik bahwa Jepang pra-modern memiliki produktivitas pertanian yang melampaui Korea tahun 1983. Menariknya lagi, sektor cocok tanam tersebut ditopang dengan kotoran manusia sebagai pupuk utamanya (Kazushi Okawa: 1983). Night Soil (sebutan pupuk kotoran manusia) masih dipakai oleh negara tetangga Korsel, yakni Korea Utara—sampai sekarang. 

Bila kita menarik benang sejarah lebih jauh, kerajaan sebesar Yunani kuno pun melakukan hal yang sama. Penduduk Yunani Kuno juga mengumpulkan kotoran Athena di waduk, yang mana mengangkutnya ke lembah sungai Cephissus demi menyuburkan tanaman. Tentu pemakaian Night Soil ini dapat kita mengerti, bila kita memahami istilah “Zeitgeist”.
Gaya Hidup yang Jauh Berbeda
“Serdadu muda dari Texas menceritakan, bahwa orang Korea juga bau sekali tubuhnya. Oleh karena itu tidak bisa jatuh cinta pada perempuan-perempuan Korea, katanya berseloroh. Mereka mandi hanya 3 kali, dia meneruskan ceritanya-sekali ketika dilahirkan, kemudian sekali lagi ketika akan kawin. Dan berakhir kali ketika mereka mati.”

Begitulah kesaksian dari tentara Amerika kala di penghujung Perang Korea. Meskipun bagi Muchtar Lubis apa yang disampaikan oleh pria itu dalam bukunya agaknya berlebihan. Akan tetapi, dia tak membantah sepenuhnya. Ia membandingkan warga Jepang jauh lebih bersih ketimbang orang Korea Selatan periode silam. Jika kini orang Korea tampil  modis nan pada taraf tertentu menjadi patokan dalam urusan kecantikan (Shafira Bayugiri: 2012). Kalender masa lampau berbicara beda, dahulu tampilan penduduk Korea Selatan tidaklah memikat bagi orang yang berkunjung. Sangat jauh berbeda kini. “Pakaian mereka juga tidak menarik hati sama sekali-baju putih celana putih, atau baju dan celana hitam. Seakan mereka tidak tahu ada warna yang lain.” Celoteh Mochtar.


Penutup
Teriakan demi teriakan terus meluncur menyambut idol tampan yang turun dari langit—berjalan melewati bandara. Pun jarum jam berputar seirama dengan rotasi jentera nasib. “Pasca-Perang Korea 1950-1953, Korsel tidak lebih dari tumpukan debu. Perang hanya menyisakan desa-desa yang compang-camping, tanah telantar, serta 48 jutaan warga miskin dan kurang makan.” Demikianlah apa yang disampaikan sejarawan, Russel Gugeler nampak berbanding terbalik pada Korea Selatan dewasa ini.

Kini puing-puing sisa perang sudah disulap menjadi gedung-gedung mewah. Hantaman mortir dan letusan peluru sudah tak terdengar lagi. Kini korea nampak silau dengan pop culture-nya. Korea Utara yang dahulu lebih sejahtera, kini telah disalip begitu lesat oleh tetangganya. Korean Wave pun mewabah, tidak ada lagi tangisan dan teriakan minta tolong—korban perang. Tidak lagi! Kini yang terdengar adalah teriakan fans yang menyambut idol tampan yang turun dari langit. 

*Tulisan ini telah dimuat di Buletin Sanskerta edisi September 2019 




Komentar

Posting Komentar