Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX: Fakta Historis Perempuan Jawa Tempo Dulu

Oleh: Agus Widi
Editor: Rachmad Ganta Semendawai

Tampilan Buku "Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVII-XIX", terbitan 2016

Identitas Buku

Judul Buku : Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVII-XIX
Pengarang : Peter Carey dan Vincent Houben
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Maret 2016, Cetakan Pertama
Tebal Buku : xiv + 114 halaman
Harga Buku : Rp. 50.000,-


Ikhtisar Buku

Buku yang berjudul “Perempuan-perempuan Perkasa” karya dari Peter Carey dan Vincen Houben mencoba menggambarkan sosok perempuan Jawa. Dalam buku in, sang penulis mengajak kita menelusuri Jawa pada abad ke-18 sampai awal abad ke-19. Antara sebelum Perang Jawa (1602) hingga menjelang peralihan kekuasaan Jepang (1942). Zaman itu sering disebut sebagai era pemerintah kolonial yang sesungguhnya (high colonial period). 

Melalui buku ini, dapat dilihat bagaimana sosok perempuan Jawa yang mampu berpartisispasi dan mendapatkan peran dalam dunia yang dianggap sebagai ranah laki-laki, seperti militer dan politik.
Buku ini terbagi-bagi menjadi sepuluh subbab. Bagian-bagian tersebut mengupas hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan, adat istiadat, perempuan keraton, dan kepercayaan mengenai mitos-mitos yang berkembang di masyarakat kerajaan bagian Selatan.

Bagian pertama dalam subbab “Sosok Perempuan Jawa dalam Sastra Kolonial Hindia Belanda”, menceritakan bagaimana gambaran perempuan Jawa zaman dahulu. Utamanya pada zaman kolonial Belanda dalam karya sastra yang dibuat oleh sastrawan dari negara kincir angin. Terdapat ungkapan klasik dari Belanda yang sangat menonjol untuk orang-orang Jawa. “Bangsa yang paling lembut di dunia” (de Javaan als de zachste volk ter aarde) tentang suatu masyarakat yang terkenal sangat halus dan menurut. 

Kebanyakan karya sastra kolonial menggambarkan sosok perempuan dari kalangan elite atau kaum priyai. Karya sastra yang paling dominan pada masa itu adalah bentuk roman dan sandiwara. Salah satu roman yang terkenal yaitu De Stille Kracht (Kekuatan Gaib) karya Louis Couperus (1863-1923) dan karya J. B. Ruzius yaitu Heilig Indie (Hindia Suci) (1905). 

Kedua karya diatas menggambarkan sosok Raden Ayu sebagai boneka yang tersenyum simpul dan meniadakan diri.  Selain pada sosok Raden Ayuboneka dalam sastra Hindia Belanda, dilain sisi terdapat perempuan biasa yang berjuang untuk bertahan hidup. Ada pula perempuan elite yang sudah berusia lanjut sehungga sangat dihormati dan mempunyai wewenang sebagai kepala keluarga. 

Satu tema yang sangat digemari oleh sastrawan Hindia Belanda adalah khayalan mereka tentang dunia Timur sebagai surga hiburan sensual, gairah seks yang tidak akan luntur. Salah satu tema dalam roman De Stille Kracht karya Couperus tentang bagaimana pengaruh kekuatan dunia malamketidakberdayaan dan nafsu seksyang mampu mangalahkan akhlak orang Eropa yang berkarakter tinggi.
Potret Sejarwan, Peter Careey (71)
Bagian kedua, dalam subbab “Sosok Perempuan dalam Wayang” memberikan perbedaan mengenai figur perempuan dalam karya sastra Belanda yang kontras dengan perempuan dalam lakon pewayangan. Selain itu, dibagian yang sama juga memberi contoh sosok perempuan dalam sejarah Jawa terutama pra-kolonial. Dalam dunia wayang tidak terdapat sosok Raden Ayu yang tersenyum dan berkepala kosong seperti yang digambarkan oleh sastrawan Belanda. Justru, mempunyai sifat berani dan perkasa yang sama seperti suaminya, seperti dalam lakon Mahabarata dan Ramayana

Salah satu tokoh yaitu Dewi Sumbadra, istri Arjuna, sebagai perempuan impian yang menjadi wadah kesaktian dan penerus warisan leluhur. Sumbadra mencerminkan peran kunci perempuan Jawa sebagai pangabsah wangsa. Seperti yang dicontohkan dalam buku tersebut terdapat Ken Dedes, Ratu Singosari, istri Ken Arok, Raja Singosari pada awal abad ke-13 dan Dewi Mundingsari, putri dari kerajaan Padjadjaran, anak kedua Raja Sigaluh. Menurut Serat Sakondhra, Dewi Mundingsari menikah dengan Raja Spanyol, Baron Sukmul, Ibu dari Gubernur Jendral Belanda, Jan Pieterszoon Coen atau dalam babad-babad Jawa (1578-1629) disebut sebagai “Mur Jangkung”.

Dapat dilihat pada kedua topik diatas, keduanya saling bertolak belakang. Dimana, sastrawan Belanda menggambarkan perempuan seperti boneka kayu yang berkepala kosong. Menganggap seorang perempuan hanyalah sebuah mainan tak berguna.

Akan tetapi, akan sangat berbeda sekali jika membaca di bagian kedua. Bab yang menggambarkan sosok perempuan Jawa yang tangguh selayaknya Srikandi, namun tetap anggun sebagaimana perempuan harus bersikap yang semestinya. Pada part ini, yang sangat menonjol adalah bagian sebelum  awal kolonial Eropa sampai di Nusantara. Kepercayaan pra-kolonial sangat kental akan eksistensi kekuatan seorang perempuan pilihan “Ardhanariswari”. 

Potret Vincent Houben, Akademisi yang terlibat dalam penyusunan buku
"Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVII-XIX"
Kelebihan Buku

Buku ini memberikan gambaran tentang sosok perempuan Jawa, terutama  kaum bangsawan keraton Jawa Tengah Selatan pada abad ke-18 sampai abad ke-19 dan peran mereka dalam dalam kehidupan keraton. Dilengkapi dengan sumber buku yang beragam, memberikan banyak referensi kepada para pembaca yang kemudian tertarik pada subbab tertentu.

Penggunaan bahasa yang sederhana memudahkan pembaca memahami isi dari bacaan tersebut. Disetiap subab juga ditambahkan ilustrasi atau foto-foto yang dapat memberikan gambaran dan pengetahuan baru bagi pembaca. Penjelasan penulis yang dituangkan dalam deskripsi tidak terlalu panjang maupun tidak terlalu pendek, penyampaiannya pun menarik. Pada buku tersebut juga disertai dengan semacam poster.

Kekurangan Buku 

Keberadaan catatan kaki yang berada di akhir-akhir halaman, sehingga harus membalik beberapa halaman terlebih dahulu untuk dapat membaca apa yang tertulis dalam catatan kaki tersebut. Meskipun tidak menghilangkan esensi tulisan, tetapi ini cukup mengganggu kenyamanan membaca.


Saran

Buku ini dapat dijadikan sebagai referensi dan/atau penambah wawasan untuk mahasiswa maupun masyarakat umum, karena di dalamnya memuat banyak sekali informasi yang mungkin belum banyak orang yang tahu. Terutama bagi yang mempunyai minat tentang kisah dan peran perempuan keraton zaman kolonial, kebudayaan dan kepercayaan Jawa terhadap mitos-mitos yang berkembang di khalayak ramai.


Komentar