Mari Simak: Empat Tradisi Unik Kurban di Indonesia



Oleh: Azizatul Hafidah
Editor: Rachmad Ganta Semendawai


Idul Adha atau yang dikenal dengan sebutan Idul Kurban atau Lebaran Haji, merupakan Hari Raya Haji yang disertai dengan penyembelihan hewan kurban (seperti sapi, kambing, atau unta) bagi yang mampu. Idul Adha juga merupakan salah satu hari besar yang dirayakan oleh umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pada tahun ini, Idul Adha jatuh pada Minggu Pon (11/08/2019).

Hari Raya Idul Adha diperingati setiap tanggal 10 Dzulhijjah dalam penanggalan Islam, atau bertepatan 70 hari setelah perayaan Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 1 Syawal. Lantas apa yang istimewa dari Idul Adha? Tentu adalah penyembelihan hewan kurban untuk memperingati perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Perayaan Idul Adha berawal dari kisah Nabi Ibrahim yang mendapat perintah Allah SWT untuk menyembelih anaknya, Ismail melalui mimpi. Namun, saat akan disembelih, Allah mengganti Nabi Ismail dengan seekor hewan ternak yang besar. Kisah ini terdapat dalam Al-Qur’an Surat Ash-Shaffat Ayat 103-107.

Pada umumnya, orang-orang akan merayakan Idul Adha dengan Sholat Idul Adha dan pemotongan hewan kurban. Namun, ternyata setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi Idul Adha berbeda dan unik selain pemotongan hewan kurban. Berikut sejumlah perayaan tradisi Idul Adha di sejumlah daerah di Tanah Air.

Grebeg Besar

Dilansir dari tagar.id, Kraton Yogyakata menggelar tradisi Grebeg Besar jelang peringatan Hari Raya Idul Adha. Kegiatan tersebut merupakan upaya untuk melestarikan tradisi yang telah berlangsung sejak ratusan tahun, di kerajaan pewaris Mataram Islam itu. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki Hajad Dalem Garebeg Besar dengan mengeluarkan gunungan yang berisi hasil bumi.

Acara yang digelar Senin Wage (12/08/2019) juga merupakan wisata budaya, sebanyak tujuh gunungan diarak dan dibagikan oleh Kraton kepada masyarakat. Setelah shalat Idul Adha, para prajurit Keraton Yogyakarta telah bersiap untuk mengawal ketujuh gunungan Grebeg Besar. 

Tidak hanya prajurit Keraton saja, masyarakat umum yang berkumpul juga tidak kalah ramai. Bahkan teriknya sinar matahari tidak menghentikan animo masyarakat untuk menonton Gunungan Grebeg Besar.

Dalam acara Gunungan Grebeg Besar, dari tujuh gunungan dibawa lima gunungan ke Masjid Gede Kauman. Satu gunungan lagi dibawa menuju komplek Kantor Gubernur, lalu yang satunya lagi diberikan ke Puro Pakualaman.

Menggendong Kambing

Selanjutnya, dilansir dari tribuntravel.com, terdapat tradisi menggendong kambing ini dikenal dengan nama Kaul dan Abdau yang dilakukan oleh masyarakat Negeri Tulehu di Maluku Tengah. Acara ini biasanya diselenggarakan sesaat setelah melaksanakan Shalat Idul Adha secara berjamaah.

Tradisi ini merupakan penyembelihan hewan kurban, berupa kambing. Unik dan bedanya, adalah prosesi penyembelihan dilakukan sebanyak dua kali. Pertama dilakukan setelah Shalat Idul Adha, yang kedua atau disebut sebagai penyembelihan khusus, dimana seekor kambing inti dan dua ekor kambing pendamping digendong dengan kain oleh pemuka adat dan agama untuk diarak keliling Negeri. Diiringi shalawat dan takbir, ketiga kambing dibawa menuju ke pelataran Masjid Negeri Tulehu.

Penyembeluhan langsung dilakukan oleh Imam besar Masjid Negeri Tulehu. Dari atas masjid, ibu-ibu akan menaburkan bunga-bungan yang harum. Sementara cipratan darah dari kambing yang disembelih diperebutkan oleh para pemuda anggota adat abdau. Hal ini sebagai simbol bahwa pemuda Tulehu rela berkorban untuk kebenaran.

Sesudah penyembelihan selesai, proses abdau (ibadah) dilangsungkan. Peserta yang mengikuti acara ini sebagian besar adalah pemuda, yang hanya mengenakan kaus singlet, berikat kepala warna putih, dan berjalan beramai-ramai menuju rumah imam Negeri Tulehu.

Setelah para pemuda abdau sempai, imam besar akan menyerahkan bendera hijau berenda benang warna kuning emas. Hijau melambangkan kesuburan dan kuning adalah kemakmuran. Bandera inilah yang nantinya bakal diperebutkan oleh ratusan pemuda yang mengikuti upacara ini. Sebelum prosesi rebutan bendera dilakukan, para pemuda ini terlebih dahulu disiram air kasiat oleh imam besar yang konon bisa membuat tubuh kuat dan terbebas dari rasa sakit.

Dengan saling pukul, injak, dan dorong para pemuda ini berebutan untuk mendapat bendera panji. Melihat hal ini orang-orang yang berada disekeliling akan berteriak, menyoraki, sembari tetap memberi dukungan kepada para pemuda agar berhasil mendapatkan bendera lambang kesuburan dan ketentraman.

Manten Sapi

Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Pasuruan, Jawa Timur, untuk menghormati hewan qurban yang akan disembelih. Sebelum disembelih, sapi-sapi warga akan didandani secantik mungkin layaknya pengantin (dilansir dari detik.com). Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk melestarikan budaya dan tradisi yang sudah dilakukan sejak dulu oleh masyarakat setempat.

Ritual yang dilakukan oleh warga Desa Sebalong, Kecamatan Nguling ini, digelar sore sebelum waktu shalat Ashar sehari sebelum menjelang Hari Raya Idul Adha. Sapi-sapi akan dimandikan hingga benar-benar bersih. 

Setelah itu dirias dengan bunga tujuh rupa. Tubuh sapi manten juga disemati kain kafan. Selesai didandani, semua sapi diarak dan dipamerkan ke masyarakat. Tak hanya itu masyarakat yang ikut berkeliling akan membawa berbagai kebutuhan dapur, beras, minyak goreng, bumbu-bumbu hingga kayu bakar juga ikut diarak.

Semua bawaan masyarakat nantinya akan diberikan kepada warga yang kurang mampu bersamaan dengan daging hewan kurban. Berkurban dan membantu sesama adalah pesan yang terkandung dari tradisi ini. Selain menjadi syiar agama Islam, tradisi ini juga menjadi pengingat warga yang mampu, agar berkurban pada Idul Adha.

Mepe Kasur

Terdapat tradisi unik lagi, kali ini digelar oleh masyarakat Osing, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, setiap menjelang perayaan Hari Raya Idul Adha, dilansir dari liputan6.com. Suku Osing akan melakukan tradisi Mepe Kasur, sebuah tradisi menjemur kasur secara bersamaan di depan rumah masing-masing, sebelum dilaksanakan Tumpeng Sewu pada malam harinya.

Uniknya, kasur-kasur yang dijemur memiliki warna yang seragam, yaitu warna dasar hitam dengan pinggiran merah. Sesekali juga terlihat warga yang sedang memukul-mukul kasur, dengan menggunakan sapu lidi atau penebah rotan agar bersih. Masyarakat Osing meyakini dengan mengeluarkan kasur dari dalam rumah dapat membersihkan diri dari segala penyakit.

Proses penjemuran kasur berlangsung sejak pagi hingga menjelang sore hari. Begitu matahari terbit kasur segera dijemur di depan rumah masing-masing sambil membaca doa dan memercikkan air bunga di halaman. Tujuannya agar dijauhkan dari bencana dan penyakit. 

Ketika matahari melewati kepala atau tengah hari, semua kasur harus digulung dan dimasukkan ke dalam rumah. Konon jika tidak segera dimasukkan hingga matahari terbenam, kebersihan kasur akan hilang dan tidak ada kasiatnya lagi.

Setelah memasukkan kasur ke dalam rumah, warga pun melanjutkan tradisi bersih-bersih desa dengan arak-arakan barong. Barong diarak dari ujung desa menuju batas akhir desa yang ada di atas. Kemudian selesai arak-arakan barong, Masyarakat Osing melanjutkan berziarah ke Makam yang diyakini sebagai penjaga desa. Puncak dari tradisi ini adalah gelar selamatan Tumpeng Sewu pada malam hari.

Komentar