Kala Revolusi Tak Semanis yang Dinarasikan

Oleh: Donny Agustio Wijaya
Editor: Rachmad Ganta Semendawai
Illustrasi: Eka Widyaningsih
Periode yang disebut sebagai periode Revolusi dalam sejarah Indonesia merupakan salah satu periode penting. Mengingat perjalanan suatu bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dalam periode ini, pemitosan-pemitosan banyak terjadi. Peristiwa dan tokoh-tokoh tertentu, khususnya mereka yang terlibat mengangkat senjata.

Dalam historiografi Indonesiasentris, perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai atau menegakkan kemerdekaan, diglorifikasikan dengan tinta emas nan heroik. Revolusi Indonesia, seperti yang dinarasikan, memang punya banyak sisi manis. Namun, revolusi tak selamanya manis. Dibalik itu, terdapat sisi-sisi gelap yang mengiringinya. Meski sulit diterima, realitas berkata demikian.  Sisi gelap tersebut sulit untuk dipungkir karena dianggap “Borok” atau tidak inheren revolusi. 

Selama revolusi, beberapa peristiwa memilukan terjadi. Di antara pejuang kemerdekaan, yang terlibat pergerakan nasional pada zaman kolonial seperti Amir Hamzah dan Oto Iskandar Dinata menjadi korban. Dua orang itu terbunuh. Namun, bukan oleh para sena Jepang atau NICA (Nederlandsch Indiƫ Civiele Administratie) Belanda, melainkan oleh orang Indonesia sendiri.

Sebutan pahlawan yang bernasib malang terhadap Amir Hamzah—seperti halnya Oto Iskandar Dinata— dirasa sebati. Amir Hamzah sendiri menjadi korban sentimen yang membara terhadap feodalisme di Sumatera Timur pada awal kemerdekaan Indonesia, seperti yang diungkap Anthony Reid dalam bukunya “Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera timur”.

Hal ini sangatlah wajar. Kebencian kaum kromo kepada kaum feodal yang berabad-abad menjadi sumber penderitaan kaum kromo. Bagaimanapun, kematian Amir Hamzah di Kuala Begumit pada 20 Maret 1946 menjadi titik noda dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarah Republik Indonesia, peristiwa Maret 1946 yang menimpa kaum feodal di Sumatra Timur disebut sebagai "Revolusi sosial". 

Oto Iskandar Dinata sedikit berbeda "Lakon". Namun, tetap sama-sama berakhir tragis ditangan orang Indonesia sendiri. Petaka bermula ketika Oto—sebagai Mentri Negara pertama—hendak mengkoordinir mantan anggota Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho  serta bekas prajurit KNIL (Koninklijke Nederlands-Indische Leger) ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR). Rupanya, tidak semua pihak setuju dengan upaya penyatuan para mantan tentara itu ke dalam BKR. Mereka yang tidak sepakat kemudian membentuk laskar-laskar sendiri. 

Mereka juga cenderung tidak menyukai gaya diplomasi untuk peralihan pemerintahan sepenuhnya dari Jepang—seperti yang diusahakan oleh Oto dan pemerintahan republik—dan memilih bertindak lebih frontal. Ditengarai dari situlah asal-muasal maut yang menjemput Oto. Selain itu, juga desas-desus yang disebarkan agen-agen NICA bahwa Oto adalah mata-mata Belanda semakin membuat kalut situasi. Oto pun diculik oleh salah satu laskar yang bermarkas di Tangerang, pada 19 Desember 1945. Oto dibawa ke pesisir Pantai Mauk dan berakhir dengan eksekusi.

Teruntuk Jawa sendiri, dikenal dengan adanya “Masa Bersiap”. Suatu periode untuk menandai awal perjalanan Revolusi Indonesia yang penuh kekacauan. Menurut Adam Malik dalam bukunya “Mengabdi Republik jilid II: Angkatan 45”, istilah “Masa Bersiap lahir dari dari aba-aba ‘Siaaap!’". Aba-aba ini menjadi sangat khas karena sering diserukan oleh para pemuda untuk berkumpul dan berbaris, supaya siap untuk bertempur melawan Belanda yang ingin menjajah Indonesia lagi.
Illustrasi: Stefanus Cagar Manusakerti
Pada Masa Bersiap, berbagai tindakan kekerasan terjadi terhadap orang Belanda, Indo-Belanda, juga pihak-pihak yang dicurigai mendukung penguasa kolonial. Mulai dari penculikan, penjarahan (penggedoran), perampokan, pembunuhan bahkan pembantaian massal terjadi. Keadaan ini hampir di seluruh pulau Jawa, juga Sumatera. Kekacauan-kekacauan tersebut relatif tidak dapat dikendalikan oleh Pemerintahan RI yang masih lemah. Hal ini membuat Masa Bersiap menjadi masa transisi yang kritis dan sangat menentukan. Nyatanya, kelakuan aksi-aksi yang membabi-buta di Masa Bersiap ini tak hanya membuat Indonesia terlihat buruk, tetapi menambah musuh dan pembenci kaum Republikan. 

Di Sumatera Timur, dalam tulisan “Sisi Lain Revolusi: Angkat Diri Jadi 'Jenderal Nagabonar' & Menteri” yang ditulis Petrik Matanasi (dilansir tirto.id), hal agak unik terjadi. Seorang bekas copet, yang berjuang melawan Belanda, dengan ngawur mengangkat diri jadi Jenderal. Timur Pane mengumpulkan beberapa barisan, dan kesatuan yang besar yang diberinya nama Tentara Marsuse. Timur Pane menyatakan diri sebagai Jenderal Mayor dan mengangkat beberapa Kolonel serta opsir-opsir menengah lain. Pendeklarasian sepihak seperti Timur Pane, juga terjadi di berbagai daerah sehingga sering menjadi biang kerusuhan sosial. Rupanya, kemerdekaan menjadi sesuatu yang merepotkan bagi Republik Indonesia. Rakyat sipil yang gelap mata sulit dikontrol. Tak jarang mereka melakukan tindakan manasuka sehingga berujung kekerasan.

Dalam artikel “Shadows of an Unseen Hand: Some Patterns of Violence in the Indonesian Revolution 1945-1949”, dijelaskan oleh William Frederick bahwa memang telah terdapat semacam pengakuan terhadap kekerasan yang terjadi di dalam periode Revolusi. Namun, kekerasan tersebut dijustifikasi sebagai respon atas teror yang dimulai oleh anasir Belanda. Pada masa Orde Baru, pengakuan akan kekerasan baru muncul pada akhir tahun 1990-an. Meskipun demikian, tetap saja adanya kekerasan dalam periode Revolusi dilihat dalam perspektif pelaku sebagai manusia Indonesia yang liyan. Jadi, kekerasan tidak ada kaitan dalam diri manusia Indonesia saat ini. 

*Tulisan ini telah dimuat di Buletin Sanskerta edisi PKKMB 2019

Komentar