Historiografi yang Kering dan Tidak Menyolusi

Oleh: Donny Agustio Wijaya
Editor: Rachmad Ganta



Dalam upaya merekonstruksi sebuah peristiwa sejarah—lebih-lebih menyangkut sejarah nasional—bukanlah sekedar kegiatan intelektual atau akademis. Namun, juga sering terbawa dalam kegiatan yang bermakna politis. Berbagai klaim muncul menyoal asal-usul, status pahlawan atau pemberontak, siapa korban atau pelaku. Kemudian, dalam historiografi yang ada hanyalah pihak yang menang dan kalah. Pihak yang menang akan terus dikultuskan dan pihak yang kalah akan terus dinarasikan sebagai pecundang.

Situasi yang demikian juga terjadi dalam perkembangan historiografi Indonesia. Pada awal kemerdekaan, kita dihadapkan pada situasi pencarian jati diri bangsa. Para kelompok elite menggunakan sejarah sebagai alat dekolonisasi untuk membentuk semangat nasionalisme sebagai alat perjuangan. Hal ini kemudian yang membentuk corak Indonesiasentris sebagai identitas historiografi Indonesia.

Dekolonisasi menjadi prinsip dasar dari Indonesiasentrisme yang merupakan cara pandang orang Indonesia tentang masa lalunya sendiri. Seolah-olah telah membangun wacana sekaligus perspektif yang menjadikan historiografi sekedar sebagai alat penghujat dan menggunakan masa lalu sebagai tameng pembenaran.

Menafikan banyak realitas yang dikategorikan sebagai bagian dari kultur kolonial. Menganggap hal itu hanya sebagai bagian dari sejarah Belanda atau sejarah para penjajah yang tidak ada hubungannya dengan sejarah Indonesia. Padahal, sebagai sebuah proses, realitas-realitas itu sebenarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah Indonesia (Purwanto: 2006).

Cara pandang itu telah mengakibatkan berkembangnya historiografi Indonesia yang menjauh dari tradisi sejarah kritis. Sebaliknya, menghadirkan historiografi parsial yang penuh dengan muatan politis. Hal ini, Indonesiasentris telah gagal dalam menghadirkan historiografi secara total. Realitas-realitas yang dianggap tidak menguntungtungkan secara politis tidak akan diungkir.

Dalam historiografi Indonesiasentris, perjuangan bangsa dalam mencapai kemerdekaan diglorifikasikan dengan tinta emas nan heroik. Padahal tidak sepenuhnya demikian. Ada sisi-sisi gelap yang tidak mampu diungkap. Historiografi Indonesiasentris telah gagal dalam menelanjangi sisi gelap yang tidak mungkin bisa ada dalam historiografi yang bermuatan politis.

Revolusi Indonesia jelas punya banyak sisi manis seperti yang dinarasikan dalam Indonesiasentris. Namun, revolusi tak selamanya manis. Meski sulit diterima, kenyataannya ada sisi gelap dalam dalam revolusi kemerdekaan Indonesia yang sulit diungkap karena mungkin dianggap “Borok” sebagai legitimasi.

Beberapa peristiwa memilukan terjadi. Antara pejuang kemerdekaan, yang terlibat pergerakan nasional pada zaman kolonial seperti Amir Hamzah dan Oto Iskandar di Nata, menjadi korban. Dua orang itu terbunuh. Namun, bukan oleh para sena Jepang atau NICA-Belanda, melainkan lantaran orang Indonesia sendiri.

Di Jawa, dikenal dengan “Masa Bersiap” yang ditandai maraknya tindakan kriminal dan kekerasan dengan sasaran orang Belanda dan Indo-Belanda. Keadaan ini hampir di seluruh Pulau Jawa dan Sumatera. Kelakuan aksi-aksi yang membabi-buta di Masa Bersiap ini nyatanya tak hanya membuat Indonesia terlihat buruk, tapi menambah musuh dan pembenci kaum Republikan.

Di Sumatera Timur, dalam tulisan “Sisi Lain Revolusi: Angkat Diri Jadi 'Jenderal Nagabonar' & Menteri” yang ditulis Petrik Matanasi (dilansir tirto.id), hal agak unik terjadi. Seorang bekas copet, yang berjuang melawan Belanda, dengan ngawur mengangkat diri jadi Jenderal. Timur Pane mengumpulkan beberapa barisan, dan kesatuan yang besar yang diberinya nama Tentara Marsuse.

Timur Pane menyatakan diri Jenderal Mayor dan mengangkat beberapa Kolonel dan opsir-opsir menengah lain. Pendeklarasian sepihak seperti Timur Pane, juga terjadi di berbagai daerah sehingga sering menjadi biang kerusuhan sosial. Rupanya, kemerdekaan menjadi sesuatu yang merepotkan bagi Republik Indonesia. Rakyat sipil yang gelap mata sulit dikontrol.

Historiografi Indonesiasentris tidak mampu menghadirkan peristiwa tersebut. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hanya dilihat sebagai peristiwa politik ketika Soekarno dan M. Hatta memproklamasikan kemerdekaan dan upacara yang mengikutinya.

Tidak ada upaya untuk mencari tahu apa yang terjadi secara sosial, kultural, atau pun psikologis di sekitar peristiwa itu. Dengan ini, membuat sisi hitam, seperti kekacauan pada masa revolusi tidak tersibak. Historiografi Indonesiasentris hanya menghadirkan peristiwa-peristiwa yang penting secara politis untuk legitimasi elite.

Dengan demikian, historiografi Indonesiasentris tidak ada bedanya dengan model historiografi sebelumnya, Neerlandosentris. Indonesiasentris hanya membalikkan sudut pandang yang ada dalam Neerlandosentris. Status pemberontak kemudian dijadikan pahlawan.

Dikatakan pahlawan dalam Neerlandosentris dijadikan pemberontak. Kehadiran historiografi Indonesiasentris hanya menjadi anti-tesis dari historiografi Neerlandosentris. Historiografi Indonesiasentris bukanlah penawar. Historiografi Indonesiasentris sama kering dan sempitya, juga tidak membuka peluang akan perspektif lain.

*Tulisan ini merupakan penghantar Buletin Edisi PKKMB

Komentar