Sandiwara Maya: Batu Sandungan Hegemoni Propaganda Jepang

Oleh: Bagas Nugroho Pangestu
Editor: Rachmad Ganta Semendawai

Salah satu scene dari Sandiwara Maya dengan lakon "Manusia Super"

“Kami ingin berusaha di luar ruang lingkup Pusat Kebudayaan. Kalau di Keimin Bunka Sidoosho masih ditenggang unsur-unsur Sidookan Jepangnya, maka di dalam Maya seratus persen orang-orang Indonesia bisa berkarya.”  Rosihan Anwar 

Ketika Jepang mulai menduduki Indonesia pada waktu itu, Jepang menginginkan jika Indonesia bisa menjadi salah satu tempat meminta bantuan dalam keikutsertaannya di Perang Pasifik. Agar bisa mendapat dukungan yang kuat dari Indonesia, Jepang menggunakan salah satu lembaganya yang bernama Sendenbu (Kantor Propaganda Jepang) untuk menyebarkan propaganda. Sendenbu terbentuk pada Agustus 1942, Sendenbu sendiri merupakan organ utama pemerintah militer Jepang yang bernama Gunseikanbu. 

Kedatangan Jepang nampaknya mampu mengubah patron kesenian Indonesia pada waktu itu. Dalam artikel yang ditulis Budi Setiyono berjudul “Antara Drama dan Film”, menggambarkan salah dua kesenian yaitu film dan drama diatur sedemikian rupa, sehingga kedua kesenian itu harus menguntungkan perpolitikan Jepang. Film-film yang berbau propaganda buatan Jepang, diimpor ke Indonesia sedangkan drama, Sendenbu membuatkan sekolah dan kelompok-kelompok teater baru yang kemudian tergabung dalam Perserikatan Oesaha Sandiwara di Djawa (POSD) atau Engeki Kyokai. 

POSD yang dibawahi oleh Hinatsu Eitaro ini, menaungi beberapa kelompok teater sebut saja Tjahaja Timoer, Bintang Soerabaja, dan Pantjawarna (Anwar, 2015: 40). Perkembangan drama saat itu begitu pesat, terbukti pada acara pementasan yang dilakukan beberapa kota hingga penulisan naskah drama yang begitu produktif saat itu. Hal ini yang kemudian mendorong salah satu kelompok teater yang digawangi oleh orang-orang seperti Usmar Ismail, Abu Hanifah, Rosihan Anwardan H.B. Jassin muncul. Kelompok ini bernama Sandiwara Maya atau dikenal juga dengan sebutan Sandiwara Penggemar Maya. 

Terbentuknya Kelompok Sandiwara Maya 

Terbentuknya Sandiwara Maya berkat peran Usmar Ismail dan Dr. Abu Hanifah—serta Cornel Simanjuntak. Rosihan Anwar mencatat jika Maya terbentuk pada bulan Juli 1944 (Anwar, 2015: 39). Pada waktu itu Rosihan menjabat sebagai Ketua, sedang Usmar sebagai Sutradara dan Hanifah—yang menggunakan nama samaran El Hakim—sebagai Penulis Naskah. 

Menurut Fandi Hutari dalam tulisannya berjudul “Riwayat Sandiwara Penggemar Maya”, keanggotaan Maya pada awalnya berdasarkan kedekatan Usmar kepada teman-teman sekolahnya di AMS A Yogyakarta dan wartawan Asia Raya (www.indonesiaseni.com). Sandiwara Maya diisi oleh orang-orang dari golongan seniman maupun non-seniman, antara lain Cornel SimanjuntakHario Singgih, Tjok Sinsu, H.B. Angin, Basuki ResobowoSuromo, Kartono Yudhokusumo, S. Tutur (golongan seniman), H.B. Jassin, Dr. Ali Akbar, Zainal Abidin, Boes Effendi, Hermin, Zuraida SanawiHadjari Singgih, Tienne Mamahit, dan Djuwita (golongan non-seniman). 

Pentas pertama Maya yang di atas panggung dilaksanakan pada Juli 1944, hal ini yang dianggap Rosihan sebagai waktu terbentuknya Sandiwara Maya. Pentas pertama ini dilakukan di Siritu Gekizyoo (yang kemudian City Theatre di Pasar Baru) dengan lakon “Taufan di Atas Asia gubahan El Hakim (Anwar, 2015: 38). 

Selain lewat panggung Sandiwara Maya melakukan pentasnya juga melalui siaran radio. Hal ini merupakan dampak dari adanya beberapa stasiun penyiaran milik Jepang yang tersebar di kota-kota besar. Tanggal 29 Agustus 1944 menjadi siaran perdananya dengan membawa lakon “Djalan Kembali”. Pentas radio Sandiwara Maya pun berumur cukup lama, beberapa judul turut disiarkan di radio. Pada 7 Februari 1945 disiarkan lakon “Ni Ajoe Sitti” atau ”Mereboet Benteng Krojapada 9 Maret 1945 disiarkan lakon ”Tempat jang Kosong”, pada 25 Maret 1945 disiarkan lakon Poetera Negara” karya Achdiat, pada 4 Mei 1945 disiarkan lakon ”Djibakoe Atjeh” karya Idroes, dan tanggal 15 Juni 1945 disiarkan lakon ”Mutiara Dari Nusa Laut” karya Usmar. 

Menurut Fandi, eksistensi Sandiwara Maya mulai meredup menjelang masa revolusi fisik. Banyak anggotanya yang berpencar-pencar. Pentas Sandiwara Maya berlanjut kembali di tahun 1949. Dalam Majalah Merdeka, Nomor 14 Tahun II, 2 April 1949 berjudul “Sesudah Nonton Sandiwara Penggemar Maya mengatakan “Dua malam berturut-turut sandiwara Penggemar Maya telah memainkan tetesan pena Usmar Ismail API pada tanggal 22-23 yang baru lalu, di gedung Komedi Schouwburg Jakarta” (dilansir ulang oleh seputarteater.wordpress.com dalam bentuk kliping). Namun, pada akhir tahun 1949, aktivitas Maya benar-benar vakum dan ditinggalkan anggota-anggotanya. Mungkin tahun tersebut menjadi akhir dari kegiatan Sandiwara Maya dan pertunjukannya pun tidak ada lagi. 

Menantang Lewat Lakon 

Walaupun anggotanya kebanyakan dari Pusat Kebudayaan, tetapi semangat revolusi perjuangan anggotanya terus membara. Menurut Fandi, Sandiwara Maya diam-diam menyelipkan cita-cita kemerdekaan. Menurut Rosihan alasan dibentuknya Sandiwara Maya merupakan upaya pembebasan dalam berkarya.

Maya seakan-akan melawan dominasi Pusat Kebudayaan yang dibuat Jepang. Menurut Fandi, Sandiwara Maya sengaja menyelipkan perlawanan terhadap sikap fasis Jepang melalui lakon yang dibawakan setiap di atas panggung. Menurut Fandi juga, Maya mampu menyelipkan secara halus ide-ide yang dicita-citakan oleh bangsa (kemerdekaan).

Di sisi lain menurut Rosihan, keberadaan Maya merupakan wadah pemuda-pemuda Indonesia yang tidak mau diatur mentah-mentah oleh Jepang untuk mengembangkan bakat seniman dan daya cipta (Anwar, 2015: 39). Selain melawan melalui lakon, Maya tidak mau mengikuti patron bersandiwara yang berkembang saat itu—apa yang ditentukan Jepang. 

Tidak seperti rombongan sandiwara “Bayaran” lainnya, seperti Tjahaja Timoer, Buntang Soerabaja, dan Pantjawarna, Maya punya punya treatment sendiri dalam bersandiwara. Mulai dari penggunaan Spotlight (pencahayaan) hingga penyaduran salah satu lakon yang bercirikan Eropa ikut dimasukan dalam pertunjukan Maya. Hal ini yang membuat Jepang sedikit geram, apalagi ketika pada waktu itu Gedung Kesenian Pasar Baru yang sering dipakai pentas Sandiwara Maya, karcisnya selalu terjual habis (Anwar, 2015: 40). Pada waktu yang sama konsumsi film propaganda Jepang malah menurun karena kebanyakan orang waktu itu lebih suka menonton Maya.

Menurut Rosihan, Sandiwara Maya dijuluki sebagai advantgarde-nya teater modern Indonesia. Hal ini dinilai lewat beberapa kriteria Rosihan antara lain pimpinan sandiwara yang dipimpin langsung sutradara di setiap pementasan, pemainnya patuh pada lakon, lakonnya mengambil cerita semangat zaman, dan panggungnya telah mengikuti zaman. 

Daftar Pustaka:

Anwar, Rosihan. 2015. Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia jilid 7 Kisah-kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan. Penerbit Buku Kompas: Jakarta. 

Hutari, Fandi. Riwayat Sandiwara Penggemar Maya. Diterbitkan di www.indonesiaseni.comsecara berkala 9 Mei 2010, 19 Mei 2010, dan 5 Juni 2010, dan dilansir ulang kertaslawas.wordpress.com pada 9 Juni 2018 dan diakses pada 24 Maret 2019 pukul 11.13 WIB. 

Majalah MerdekaSesudah Nonton Sandiwara Penggemar Maya. Nomor 14 Tahun II, 2 April 1949. Dilansir ulang di seputarteater.wordpress.com dalam bentuk kliping pada 8 Maret 2018 dan diakses pada 24 Maret 2019, pukul 11.06 WIB. 

SetiyonoBudi. Antara Drama dan Filmhistoria.id dilansir pada 3 Mei 2010. Tulisan ini diakses pada 24 Maret 2019 pukul 10.37 WIB. 




Komentar