Manis-Pahit Memori Jepang untuk Indonesia

Oleh: Eka Widyaningsih
Editor: Rachmad Ganta Semendawai

Illustrasi: Eka Widyaningsih
Dibandingkan dengan kontak antara orang Indonesia dengan orang India, China dan Arab, hubungan antara orang Indonesia dengan orang Jepang dapat dikatakan masih “Belum begitu lama”. hubungan orang Indonesia dengan bangsa kuning itu baru terjalin dalam kurun waktu yang relatif bersamaan dengan kontak antara orang Indonesia dengan orang Eropa.

Bahkan, orang Eropa itu sendiri yang saat itu kebetulan telah berhubungan dengan orang Indonesia, ikut serta mengintesifkan kontak antara Nusantara dengan Negeri Matahari Terbit tersebut. Demikianlah aktivitas niaga yang dilakukan oleh orang Eropa (dan kemudian oleh orang Jepang) menjadi titik awal hubungan antara Nusantara dengan Negeri Matahari Terbit tersebut.

Aktivitas niaga menjadi sebuah fenomena dalam sejarah Jepang pada abad-abad sekitar pertengahan milenium kedua. Terutama pada zaman Ashikaga atau zaman Muromachi (1338-1573) dan kemudian dilanjutkan pada zaman Azuchi-Momoya (1573-1615).

Pada masa Muromachi, perdagangan luar negeri Jepang tumbuh dan berkembang secara luar biasa. Sebuah perkembangan yang sering disebut dalam berbagai literatur sebagai fenomena yang “tidak pernah terjadi di masa sebelumnya”. Hal yang sama juga terjadi pada masa Azuchi-Momoya.

Jejak kehadiran orang Jepang di Indonesia terlacak pertama kali di kawasan Sumatra Timur. Diperkirakan mereka datang dan didatangkan dari Singapura atau Pulau Penang. Di samping letak kedua negeri itu relatif dekat dengan Sumatera Timur, dugaan daerah asal kedatangan mereka ini (dari kedua kota bandar tersebut) juga didukung oleh kenyataan bahwa transportasi antara Sumatera Timur dengan Singapura Dan Pulau Penang tersedia dengan cukup lengkap dan baik.

Alasan lainnya adalah kenyataan yang menampilkan bahwa sebagian besar buruh (orang China) yang dipekerjakan di berbagai perkebunan di daerah para Sultan tersebut umumnya didatangkan dari Singapura. Sumber-sumber sejarah mencatat bahwa orang Jepang telah hadir di Sumatera Timur pada tahun 1875, dan jumlah mereka saat itu tercatat 15 orang.

Dalam waktu yang relatif singkat jumlah mereka di kawasan tersebut meningkat dengan cukup signifikan, sehingga tahun 1896 tercatat sebanyak 179 orang Jepang di sana. Pada tahun yang sama diketahui jumlah orang Jepang diseluruh Hindia Belanda sebanyak 463 orang, dengan perincian Batavia (46 orang), Priangan (1 orang), Semarang (3 orang), Surabaya (3 orang), Probolinggo (4 orang), Sumatera Timur (209 orang), Yogyakarta (5 orang), Sumatera Barat (75 orang), Bengkulu (6 orang), Palembang (9 orang), Aceh (32 orang), Riau (30 orang), Kalimantan Barat (12 orang), Kalimantan Tenggara (11 orang), Sulawesi Selatan/Timur (35 orang), dan Manado (2 orang). Sama juga dengan pengalaman yang ditampilkan Singapura, sebagian besar orang Jepang yang berada di Indonesia pada akhir abad ke-19 terdiri dari kaum perempuan dan bekerja sebagai pelacur

Perhatian Jepang pada Indonesia sudah lama sebelum Perang Dunia II. Jepang meluaskan kekuasaannya ke luar perbatasan Jepang setelah kemenangannya melawan Rusia pada tahun 1904. Dalam perjanjian yang ditandatangani dengan Rusia di tahun 1905. Rusia mengakui hak-hak dan kepentingan Jepang di Korea, dan hak Jepang menyewa wilayah sewa di Kwantung, dan menyerahkan pada Jepang jalan kereta api Manchuria di selatan Cangcun, serta pula menyerahkan pada Jepang daerah sebelah selatan garis lintang 50 derajat Utara di Pulau Sakhalin.

Akhirnya di tahun 1940 Jepang berhasil menaklukan seluruh daratan Korea, yang kemudian disusul oleh serbuan-serbuannya ke Cina. Sumber-sumber batubara dan besi di Manchuria memungkinkan Jepang mengembangkan industri beratnya dan perkembangan perdagangan luar negerinya. Pembangunan kekuatan militernya di darat, laut, dan udara membuat Jepang melirik Asia Tenggara untuk mendapatkan sumber-sumber bahan mentah yang diperlukannya, seperti timah, karet dan terutama minyak.

Indonesia di mata Jepang merupakan sumber utama bagi keperluannya mengenai minyak, yang sangat diperlukan Jepang baik untuk mesin industri maupun perangnya. Di sisi lain, Orang Jepang telah berbenturan dengan orang Indonesia, sebelum tentara Jepang menyerbu Hindia Belanda, ketika Jepang memulai Perang Pasifik di Perang Dunia ke II yang lalu.

Mungkin sesekali orang Jepang yang datang ke Indonesia adalah serdadu sewaan Jepang yang dibawa oleh perusahaan Belanda yaitu VOC ke Hindia Belanda. Serdadu-serdadu Jepang itu hanya berjumlah puluhan atau paling banyak ratusan. Mereka bertugas antara lain di Batavia dan juga dengan pasukan-pasukan VOC yang dikirim ke Hindia Belanda bagian timur dalam usaha VOC untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Maluku.

Ketika pasukan VOC berhasil menundukkan perlawanan rakyat dan Belanda menangkapi pemimpin-pemimpin rakyat dan menjatuhkan hukuman mati pada mereka. Maka serdadu sewaan Jepanglah yang bertugas memancung kepala mereka di atas geladak kapal Belanda yang sedang berlabuh.

Seperti juga orang Belanda yang pertama kali datang ke Indonesia membuang jangkar dan mendarat di Batam. Maka tentara Jepang yang datang menyerbu ke Indonesia dalam Perang Pasifik, mendaratat pula di pantai Bantam menjelang akhir Februari tahun 1942. Dalam waktu yang amat singkat tentara Belanda menyerah pada tanggal 8 Maret 1942.

Dari kehancuran ini Belanda tak dapat lagi bangkit. Percobaan Belanda untuk bangkit kembali menghidupkan Hindia Belanda setelah kaum serikat mengalahkan Jepang, menemui kekandasan oleh karena perlawanan rakyat Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pendudukan militer Jepang di Indonesia merupakan sebuah tragedi yang amat traumatik bagi bangsa Indonesia. Dari sikap bersahabat yang mula-mula diperlihatkan Jepang, pemerintah militer Jepang berubah menjadi bengis dan tanpa hati nurani mempergunakan Indonesia sebagai sumber bahan-bahan yang diperlukannya untuk melanjutkan peperangan.

Produksi beras dan bahan pangan yang lainnya serta sumber-sumber alam Indonesia semuanya diprioritaskan untuk keperluan bala tentara Jepang. Akibatnya mulai muncul penderitaan rakyat Indonesia yang bukan kepalang. Di seluruh penjuru Indonesia berjuta-berjuta rakyat menderita kelaparan dan serba kekurangan.

Dibeberapa bagian Indonesia rakyat sampai terpaksa membuat pakaian dari karet atau kulit kayu dan banyak sekali orang Indonesia yang mati karena kelaparan. Tak sedikit pula yang tewas karena tak adanya obat selama masa pendudukan Jepang tersebut.

Setelah Jepang dinyatakan kalah dan dipukul mundur oleh sekutu, Indonesia segera mengambil gerakan untuk memerdekakan dirinya dari penjajahan. Sedangkan para tentara-tentara Jepang pasca Perang Dunia II mereka dianggap melakukan desersi (Dasso nihon-hei).

Namun, dalam perjalanan waktu persepsi itu berubah, kini mereka disebut prajurit yang tinggal di belakang (zanryu nihon-hei). Dari kacamata Indonesia, kehadiran serdadu Jepang ini menguntungkan bagi tentara kita karena mereka bisa membagi ilmu, strategi dan pengalaman peperangan.

Dalam buku “Mereka yang Terlupakan Memoar Rahmat Shigeru Ono Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik” karya Eiichi Hayashi. Dikisahkan bahwa pada tahun 1942 pasukan Ono diberangkatkan ke Jawa dengan kapal laut via Saigon. Ono termasuk Batalyon 153 yang bermarkas di Purwokerto walaupun ia sendiri bertugas di Cilacap.

Bertugas 3 bulan di sana, ia lalu dipindahkan ke Bandung, membawahi prajurit rendah dan pembantu militer asal Korea. Diantara orang Korea ini adapula yang akhirnya berpihak ke Indonesia dan belakangan ini di tonjolkan dalam sejarah Korea Selatan.

Tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Tanggal 15 Agustus 1945, sekitar jam delapan pagi di sebuah barak tentara Jepang , Jawa Barat para tentara Jepang berkumpul mereka mendengarkan pidato radio kaisar Jepang Tenno Heika. Namun, pidato itu tidak terdengar jelas sehingga mendatangkan semacam kebingungan apa betul Jepang sudah menyerah.

Rencana semula prokmasi kemerdekaan 17 Agustus akan dilangsungkan dilapangan Ikada (sekarang Monas). Akan tetapi, karena tempat itu dijaga ketat oleh militer Jepang yang antara lain menggunakan tank maka acara itu diadakan tepat depan rumah Sukarno di Pegangsaan Timur 56.

Pasukan sekutu mendarat di Tanjung Priok Jakarta bulan September dan bulan Oktober di Tanjung Perak, Surabaya. Tentara Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu menunggu kepulangan ke Tanah air mereka.

Namun, sebanyak 1000 orang, sumber lain mengatakan 2000, tentara Jepang menyeberang ke pihak Indonesia. Angka yang berbeda dicatat oleh Yayasan Warga persahabatan di Jakarta, sebanyak 903 mantan prajurit Jepang ikut gerilya. Kiranya 531 orang (59%) diantara mereka meninggal/hilang, 45 kembali ke Jepang (5%), 324 tinggal di Indonesia (36%). Alasan mereka tetap tinggal di Indonesia diantaranya, mereka telah berjanji memerdekakan Indonesia. Namun, tidak ditepati dan ada yang memilih tetap ikut berperang untuk melepaskan Asia dari belenggu penjajahan orang kulit putih.

Komentar