Ibu, Esok Kamis Kau Datang Lagi

Oleh: Ahmad Effendi
Editor: Rachmad Ganta Semendawai

Illustrasi: Stefanus Cagar
Tubuhku terhuyung menemui aspal. Teriakan dari orang-orang sekitarku hanya samar kudengar. Pandanganku mengabur, khayalku terbawa ke tempat di mana ibuku menyajikan sarapan di atas meja makan. Dengan senyum ia selalu mengatakannya setiap pagi: “Jangan tinggalkan meja ini sebelum sarapan kau habiskan, sayang!” 

Oh, begitu kurindukan sebait kata itu. Rasanya sudah begitu lama tak kudengar. Semenjak titik didih rakyat telah memuncak, semenjak semua orang telah sadar akan penindasan, semenjak garis batas merdeka telah terlihat. Semenjak saat itu pula kutinggalkan ibuku. Kutinggalkan semua rasa nyaman dalam rumah. 

Ibu, andai kau tahu. Aku pergi bukan berarti aku meninggalkanmu. Aku akan selalu ada bersama sarapan yang kau sajikan setiap pagi. Aku akan kembali ke dalam peluk hangatmu di malam hari, ketika dengannya engkau dongengkan kisah wayang yang jenaka kepadaku. 

Ibu, pulang memanglah kata yang mudah diucap. Pulang, sangatlah ringan untuk dibayangkan. Namun, pulang adalah sesuatu yang sulit. Bukannya tak ada jalan, tapi aku percaya, pulang sebelum menang sama artinya dengan kembali membawa penghinaan. Penghinaan kepada naluri. Kita semua, punya naluri hidup merdeka, Ibu. 

Kurasakan lagi tubuhku ditendang. Pukulan terasa begitu telak diwajahku. Gagang senjata api mengenai pelipis yang sontak membuat pandangku semakin kabur. Kulihat moncong senjata api telah lurus dihadapanku. Aku tak akan sampai menghitung sampai tiga, karena kuyakin itu hal yang percuma. Saat ia menarik pelatuk, semua akan berakhir. 

Ibu, jika ini terjadi, aku ingin kau tahu bahwa aku menyayangimu. 

** 

Nak, katakanlah kejujuran meski hanya sebait. Tegakkanlah kebajikan meski angkara tegak menghadang. Kau harus percaya, kebenaran selamanya tidak akan mati. Ia akan selalu ada, yang jadi pertanyaan apakah kita mau mencari?” 

Rasanya baru kemarin Ibu mengatakannya. Namun, hari ini, kubawa kalimat itu. Kutelan semua yang Ibu katakan. Kucoba robek semua ketakutan yang coba menyelimutiku. Kuingin yakin bahwa tak ada pengorbanan yang sia-sia. Aku percaya bahwa ini lah waktunya.  

Sudah empat hari aku memimpin aksi massa ini. Empat hari pula keringat ini setia menemani pakaian kami. Di bawah terik panasnya ibukota, dari kejauhan kulihat segerombolan manusia berbaris membawa kawanan anjing-anjing mereka. 

Kutatap anjing-anjing itu. Kulihat juga manusia yang membawanya. Ah, sial. Aku salah. Ternyata mereka anjing juga. Bedanya mereka hanya dibekali dengan dengan seragam dan senjata api. Toh, mereka juga suka menggonggong. Atau yang pasti, mereka juga punya majikan dan mereka menuruti kemauan majikan. Dimana-mana, anjing memang sama saja. 

Bulan lalu, temanku kena pukul oleh anjing ini. Ini hanya karena kami menyelenggarakan diskusi tentang karya sastra dari Pram. Tiba-tiba sekawanan anjing datang, menggonggong meminta diskusi dibubarkan. Ditanya mengapa, mereka hanya mengatakan perintah majikan. Padahal kami yakin, mereka sama sekali tak mengerti bagaimana isi buku yang didiskusikan. Ya, beginilah anjing di negaraku. 

Kawanku menolak. Dan mudah ditebak selanjutnya, mana ada anjing yang bisa diajak negosiasi. Kawanku dihajar parah. Ia ditangkap dengan alasan tidak patuh kepada negara dan mengganggu ketertiban umum. Ia dibawa ke markas para anjing dan sampai hari ini tak kudapati kabar dari kawanku tersebut. 

Entah....

Yang jelas, hari ini, kembali kuhadapi anjing-anjing itu. Lagu-lagu pembebasan, serta orasi-orasi perlawanan terus kami gelorakan. Tuntutan-tuntutan yang disuarakan dibalas dengan tembakan ke udara yang sontak memecah massa. 

Anjing-anjing itu seperti terkena wabah anjing gila. Entah sejak kapan mereka mulai menyerang.  Mereka memukul secara brutal, menembak secara membabi buta. Bahkan, kulihat mereka menendang dan meludah pula. Kami bagai tak ada harga diri dihadapan mereka. 

Itu salah, mereka yang tak ada harga diri. Membela majikan yang tak pantas mereka bela. Mungkin itu sifat alami anjing, menuruti majikan! 

“Turunkan Harto!” 

“Turunkan Harto!” 

Suara teriakan ribuan aksi massa membaur bersama gonggongan dan sumpah serapah para anjing. Meraka semakin beringas tatkala nama majikannya diteriaki. Keadaan memburuk ketika suara tembakan semakin nyaring dan semakin sering terdengar. Kini anjing-anjing itu menangkapku.
  
Kurasakan tubuhku begitu ringan terbanting. Suara nyaring bedil tetap kudengar. Walau suara makian, hinaan, provokasi, dan serapah mereka lebih dominan di telinga. Wajahku yang penuh darah segar, serta ludah amarah para anjing berseragam itu hangat kurasakan. Ketika teriakan “Turunkan Harto!” semakin menggelora kudengar, batinku tersenyum. Sebelum kusadari ada dua peluru menembus dadaku. 
** 

Ibu, aku menyayangimu. Kupersembahkan segenap cinta kasih ini kepadamu. Kini, aku tak akan bisa lagi menikmati sarapan pagiku bersamamu. Biarkan semua kenangan tentang kisah jenaka para wayang terkubur bersama jasad dan lubang peluru di dadaku. 

Ibu, perjuanganku bukanlah akhir. Aku yakin, kini pun Ibu juga berjuang. Seperti yang engkau katakan bahwa “Kebenaran tak akan mati, ia akan selalu ada selama kita mau mencari” . Aku yakin, esok engkau akan datang kembali bersama orang-orang yang mencari kebenaran. Demi tegaknya keadilan. 

Ibu, itu payung hitammu. Besok hari kamis, hari kamisIbu! 



Komentar