Oleh: Siti Cholisah
Editor: Rachmad Ganta Semendawai dan Agus Widi
Foto: Eka Widyaningsih |
Keinginan bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari penjajahan telah lama dimimpikan. Begitu pula dengan perjuangan demi dapat menikmati kemerdekaan juga berulang kali dilakukan. Salah satu upaya yang dilakukan bangsa Indonesia untuk bebas adalah dengan meningkatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. Pendidikan hakikatnya adalah untuk membangun peradaban bangsa melalui pembentukan manusia seutuhnya. Selain itu pendidikan juga merupakan hak yang dimiliki setiap orang untuk meningkatkan harkat dan martabatnya dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak masa pemerintah Kolonial Belanda terjadi diskriminasi pendidikan yang tajam. Dimana anak-anak Belanda mendapat prioritas, sedangkan miris mendekap anak-anak pribumi yang hanya diberikan pengajaran seadanya. Pemerintah lebih menunjukkan perhatian pada sekolah anak-anak Belanda dan sekolah-sekolah lokal untuk rakyat pribumi hanya dipandang sebelah mata. Sungguh melihat pendidikan pada masa itu sangat memprihatinkan gerainya.
Pergerakan kebangsaan sudah dimulai sejak tahun 1908 dengan lahirnya Budi Utomo sebagai suatu cara untuk meninggikan derajat bangsa dari penjajahan. BU senantiasa berusaha memberi sokongan kepada pemuda-pemuda untuk melanjutkan pengajaran, mendirikan sekolah-sekolah demi membangkitkan rasa kebangsaan, dan memelihara kebudayaan bangsa. Salah satu tokoh yang tergerak hatinya untuk mengubah pendidikan barat dan mengembangkan pendidikan nasional yaitu Ki Hajar Dewantara.
Tekad Ki Hajar Dewantara untuk terjun dalam bidang pendidikan berawal pada masa pengasingan di Belanda. Ki Hajar Dewantara sempat mengikuti pelajaran di Lager Onderwijs (Sekolah Guru) dan berhasil memperoleh akta mengajar, yakni Akte van Bekwamheid als Onderwijzer (Ijazah Keterampilan Mengajar). Ia terinspirasi untuk mengubah sistem pendidikan barat di Indonesia setelah membaca karya beberapa tokoh pendidikan seperti Montessori dari Italia dan karya tokoh pendidikan India Rabindranath Tagore.
Montessori menyoroti pentingnya hidup jasmani anak-anak dan mengarahkannya agar mereka memiliki kecerdasan budi. Menurut Montessori, dasar utama pendidikan adalah kebebasan dan spontanitas untuk memperoleh kemerdekaan hidup dalam arti seluas-luasnya. Sementara menurut pandangan Rabindranath Tagore yang tak kalah visioner, pendidikan merupakan suatu syarat untuk memperkokoh kemanusiaan dalam arti seluas-luasnya, termasuk dalam bidang keagamaan.
Demikianlah pandangan kedua tokoh itu memberi sumbangsih dalam pemikiran Ki Hajar. Lebih-lebih, baginya mereka adalah pembongkar dunia pendidikan lama--menciptakan tatanan pembangunan pendidikan yang baru, berdasarkan pada Kebudayaan Nasional. Prinsipnya adalah kembali kepada yang bersifat “Nasional”. Begitulah sepulang dari pengasingan di negeri Belanda Ki Hajar Dewantara mulai merealisasikan untuk membangun pendidikan di negerinya sendiri. Berdirilah Organisasi Taman Siswa yang pada tanggal 3 Juli 1922 sebagai tonggak baru dalam diskursus pendidikan kala itu.
Awalnya, perguruan Taman Siswa bernama “Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa”. Didirikanya Taman Siswa ini sebagai wujud perlawanan atas penjajahan. Dimana Taman Siswa bercorak non kooperatif di bidang pendidikan yang berbasis kultur masyarakat bumiputra. Selain itu berdirinya sekolah ini menjadi reaksi kongkret terhadap sistem pendidikan kolonial yang materialistik, individualistik, dan intelektualistik.
Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan yang sesuai dengan bangsa Timur adalah pendidikan yang humanis, kerakyatan, dan kebangsaan. Tiga hal inilah yang menjadi dasar jiwa Ki Hajar Dewantara untuk mendidik bangsa dan mengarahkannya kepada politik pembebasan atau kemerdekaan. Selain itu, ada empat strategi pendidikan yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara, Pertama: pendidikan adalah proses budaya untuk mendorong siswa agar memiliki jiwa merdeka dan mandiri, kedua: membentuk watak siswa agar berjiwa nasional, tetapi juga membuka diri terhadap perkembangan internasional, ketiga: membangun pribadi siswa agar berjiwa pionir-pelopor, dan keempat: mendidik yang berarti mengembangkan potensi atau bakat yang menjadi kodrat alam masing-masing siswa.
Ki Hajar Dewantara berusaha mengubah sistem pendidikan kolonial dengan membentuk sistem sendiri berdasarkan kebudayaan bangsa. Nilai-nilai kebudayaan lokal dikorelasikan dengan pendidikan--dalam sistem pembelajaran di sekolah Taman Siswa--berdasarkan kodrat alam, kemanusiaan, dan kemerdekaan. Pendidikan pada umumnya merupakan upaya untuk membangun pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak.
Lebih jauh, Taman Siswa juga menyesuaikan sistem pendidikan dengan keadaan dan dunianya anak-anak yang dididik. Hal tersebut dapat dilihat dari sistem pembelajaran di Taman Siswa yang dikenal dengan Sistem Among. Sistem ini dijalankan atas dasar kemerdekaan yang memiliki arti yang luas. Artinya sesuai dengan keadaan kewajiban manusia untuk menghadapi kodrat alam dalam hubungan masyarakat dan dunia umumnya.
Taman Siswa tidak hanya mengembangkan kecerdasan otak, tetapi juga memperhatikan perkembangan kepribadian dan keseimbangan terhadap budi pekerti. Pasal satu dan dua tentang dasar kemerdekaan setiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Maksudnya, agar murid-murid berperasaan, berpikiran, dan bekerja merdeka dalam tertib bersama. Pasal satu termasuk kodrat alam dan kemajuan berjalan kodrati atau evolusi. Dasar ini yang mewujudkan sistem “Among”. Sistem Among artinya memberikan kebebasan dan jalan kepada anak didiknya untuk berjalan sendiri tanpa adanya unsur paksaan serta tuntutan dari pihak guru.
Kebebasan disini tidak bermaksud bebas dalam segala hal dan perbuatan. Lamun, kebebasan berdasarkan tata tertib hidup damai. Peran guru disini tetap mendampingi di belakang, terus memotivasi, menginovasi pikiran anak, dan meluruskan jika anak berjalan di jalur yang salah. Tentu saja, tidak lupa memberi contoh yang baik atau “Ing ngarsa sung tuladha ”. Perilaku guru dalam mendidik murid atau anak bangsa menjadi pegangan dan modal utama sehingga Ki Hajar Dewantara menciptakan istilah yang kemudian sangat terkenal, yaitu:
Ing ngarsa sung tuladha (Di muka memberi contoh)
Ing madya mangun karsa (Di tengah membangun cita-cita)
Tut wuri handayani (Mengikuti dan mendukungnya).
Istilah “Tut Wuri Handayani” berikut hari dijadikan semboyan pendidikan di Indonesia. Berlandas pada filosofis sistem Among yang memiliki arti bahwa seorang guru selain memberi contoh dan membangun cita-cita bagi anak didiknya. Seorang guru harus senantiasa mengikuti dan mendukung apa yang menjadi keinginan serta potensi yang dimiliki oleh anak didiknya.
Tidak hanya sistem Among yang diterapkan dalam sistem pembelajaran di sekolah Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara juga memasukan nilai-nilai kebudayaan Indonesia dalam pembelajarannya. Peserta didik dikenalkan berbagai permainan anak, lagu-lagu daerah, dan kesenian khas daerah. Tujuannya tidak lain untuk menanamkan nilai budaya daerah dan nasional pada anak-anak sejak dini agar tidak pernah luntur. Selain itu, tujuannya juga untuk menumbuhkan rasa persatuan dan cinta tanah air untuk mencapai kemerdekaan.
Dengan sistem pendidikan yang mengangkat budaya nasional, maka Perguruan Taman Siswa merupakan lembaga pendidikan yang meletakkan Dasar Pendidikan Nasional Indonesia. Sistem pendidikan yang didasarkan dari jati diri bangsa yang akan membuat bangsa yang mandiri, terlepas dari kungkungan bangsa Barat. Sebagai bentuk pembrontakan atas apa yang selama ini telah menciptakan pendidikan dengan orientasi pada kepentingan kolonial.
Bentuk pendidikan nasional dengan sistem yang dibentuk sendiri diwujudkan oleh KiHajar Dewantara pada tahun 1922 dengan lahirnya Taman Siswa yang berdasarkan kodrat alam, kebangsaan, kebudayaan, kemerdekaan, dan perikemanusiaan. Ki Hajar Dewantara mengembangkan asas-asas sistem pendidikan yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam hidup bermasyarakat. Berdasarkan kebudayaan yang dipakai sebagai dasar kesatuan bagi bangsa Indonesia, berakar dari kebudayaan sendiri yang terus berasimilasi dengan unsur kebudayaan luar.
cukup informatif
BalasHapus