Oleh: Eka Widyaningsih
Editor: Rachmad Ganta Semendawai
Illustrasi: Eka Widyaningsih |
“Berhenti! Sudah ku bilang, berhenti terus menyalahkan kehidupanmu...”
***
Selamat Pagi. Hai kawan apa yang biasa kalian lakukan di pagi hari? Ah... mungkin saat kalian masih belia sepertiku, setiap pagi kalian terasa selalu monoton ya. Bangun pagi dengan sambutan hangat bunda dan sang surya yang menyapa dari ufuk timur, kemudian mempersiapkan diri menimba ilmu dalam lingkungan sekolah yang damai bersama teman-teman kalian yang ramah. Ah jangan lupa bekal istimewa pengantar semangat yang tak pernah luput menemani kalian melakukan aktivitas hingga tanda waktu pulang telah tiba bukan? Wah... sungguh indah suguhan pembuka hari kalian dari Sang Pencipta.
Sudahkah kalian bersyukur? Sudahkah kalian menahan ego untuk mengeluh diawal hari? Haha... kupikir tiada hari yang sempurna bukan? Tak akan ada hari di mana rintangan tidak menunjukkan eksistensinya bukan? Hmm… aku mengerti, disetiap kita pasti pernah merasakannya…, tapi ketahuilah tidak semua ujian ataupun rintangan yang kalian terima adalah yang terburuk, yang terburuk adalah akhir dari batas kesabaran kalian. Kalian tahu? Kupikir aku pernah mendapatkan ujian yang lebih berat dari pada yang pernah menimpamu. Hmm…? Kau bertanya kenapa aku sangat yakin? Hahaha… apakah sekarang kau mulai tertarik mendengar kisahku? Baiklah... aku akan menceritakan kisahku pada kalian, yah... ku harap kisahku ini dapat menjadi suatu alarm alami agar kalian tak perlu membuang-buang energi kehidupan kalian untuk mengeluh ya.
***
Namaku Ghanem. Bocah laki-laki berusia lima tahun. Tak perlu susah-susah bertanya nama panjangku. Karna aku pun tak tau apa-apa tentangnya. Yang kuketahui adalah kata “Ghanem” itu terukir dengan kokohnya pada sebuah kalung yang menghiasi leherku. Yah, karna itulah orang-orang memanggilku dengan Ghanem. Aku pun tak tau sejak kapan kalung yang memberikan sebuah serpihan identitas itu menghiasi leherku. Bahkan siapa orang iseng yang sengaja memasangkannya? Hmm… entahlah, aku tidak tau orang itu pun nyata atau tidak.
Aku tinggal di sebuah kota kecil yang berada di sebuah negara yang kecil. Kota ini unik loh, mungkin di kota kalian yang akan terdengar keras adalah suara bising alat transportasi yang sibuk mengejar waktu atau suara musik-musik favorit kalian yang diputar massal karena menjadi tren. Di kotaku justru suara bising alat-alat militer dan pembunuh masal yang sibuk mengejar target mereka atau suara-suara teriakan, tangisan, dan keputusasaan yang selalu menjadi tren dan diputar masal setiap harinya. Ya, kurasa kalian pasti mulai mengerti arah pembicaraan kita.
Sejak kecil hidupku berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Berharap jiwa raga ini setelah bangun keesokan harinya masih memiliki tempat untuk melanjutkan hidupnya untuk satu hari lagi. Tak hanya diriku saja yang pada saat itu kembali menjadi manusia purba yang hidup secara nomaden. Hampir semua orang di kotaku melakukan hal tersebut. Tidak ada tempat yang bisa dijadikan tempat untuk menetap. Beberapa hari bangunan itu digunakan untuk tinggal, hari berikutnya bangunan itu telah rata dengan tanah. Mencari tempat tinggal saja begitu menyusahkan apalagi mencari bangunan sekolah yang masih layak pakai? Kupikir itu suatu hal yang sangat mustahil. Bukan hanya tempat tinggal, makananpun kami mencarinya dengan susah payah. Binatang melata tak jarang menjadi lauk paling bergizi yang bisa kami dapatkan pada hari itu. Entah sudah berapa kali aku mengeluhkan jalan hidupku ini. Tak jarang aku merasa Sang Pencipta sengaja mempermainkan kehidupanku agar beliau tidak bosan melihat kehidupan orang lain yang terlihat baik-baik saja.
Masa-masa kecilku benar-benar sangat sengsara. Jauh dari kata bahagia yang sering kalian definisikan. Setiap saat tak boleh lengah dan sembunyi dari para antek militer yang tidak segan membunuh orang sipil yang tak bersalah. Aku dituntut semesta untuk bisa menjaga diri sendiri. Orang tuaku? Hmm… siapa mereka? Entahlah. Aku pun tak tahu. Tak pernah terpikirkan wujud raga nya. Apakah mereka yang memberikan kalung nama di leherku ini? Yah, bisa jadi. Aku tak pernah sekalipun menemukan jejak kehidupannya. Mereka telah tiada, jauh sebelum aku mulai paham bagaimana cara untuk berjalan tanpa bantuan. Aku dibesarkan oleh banyak orang. Mereka mengasuhku secara bergiliran hingga aku siap menjaga diriku sendiri. Yah sekiranya bagi mereka bocah berusia lima tahun sudah mampu menjaga diri.
Kehidupan yang keras ini bahkan tak pernah mengizinkanku untuk memikirkan kebahagiaan walau hanya sesaat. Seperti ulang tahun misalnya. Hah... agenda apa itu? Tidak berguna. Setidaknya bagiku. Bagaimana bisa aku merayakannya kalau aku sendiri, orang yang berulang tahun pun tak tahu apa-apa tentang tanggal lahirku. Tidak ada petunjuk sama sekali bahkan di kalung namaku ini. Orang-orang yang mengasuhku hanya bisa mengira-ngira berapa umurku. Saking gundahnya aku sampai pernah berpikir bahwa aku mungkin seorang makhluk asing dari dunia lain yang terdampar. Yah... entah sampai kapan akan terus terdampar.
Perasaan inilah yang terus-menerus menerjang dan menghantamku bagai karang yang diterjang ombak. Aku terombang-ambing dalam makna eksistensi hidupku. Apakah peranku sangat penting untuk kehidupan yang sementara ini? Seiring dengan usiaku yang terus bertambah pemikiran ini terus tertambat dalam benakku. Mungkin inilah penghasut utama yang membuatku benar-benar tidak mau mempercayai akan adanya Sang Pencipta. Kupikir jika Sang Pencipta itu benar ada seharusnya kehidupanku telah lebih baik sekarang.
Hingga diusiaku yang ke-12 kehidupanku mulai berubah. Kotaku telah dihancurkan dan kami dipaksa untuk pergi meninggalkan kotaku. Aku pun dikirim ke sebuah panti asuhan yang berada di pinggir negeriku. Tinggal di sana itu benar-benar merepotkan. Sejujurnya mereka orang-orang yang baik. Namun, aku sangat tidak suka dengan sikap mereka yang terus-menerus mengagung-agungkan Sang Pencipta.
Di sana aku benar-benar dipaksa untuk mempelajari agama. Hingga akhirnya aku bertemu dengannya. Ghassan Alzerla. Beliau guru pertamaku. Beliau merupakan anak sulung sang Ketua Yayasan. Aku tidak pernah mengerti sebuah alasan yang membuatnya sangat menyayangiku dan selalu membelaku. Ketika yang lain selalu memarahiku dan mengeluhkan kelakuanku yang tak pernah taat aturan, Kak Ghassan yang selalu dengan tabah mendidikku. Kemudian diriku pun lama-kelamaan mulai bisa beradaptasi dengan panti asuhan tersebut. Dan dengan itu perlahan-lahan aku mulai mengakui keberadaan Sang Pencipta.
Dua tahun tinggal di panti asuhan itu, aku dengan terpaksa harus meninggalkan tempat yang telah kuanggap rumah. Kejadian memilukan yang sukar kutolak kehadirannya. Saat itu yang bisa kuingat hanyalah ketika matahari hanya tinggal dua pertiga di langit aku diminta untuk pergi meninggalkan desaku dan menyeberang ke desa sebelah untuk mengantarkan sebuah surat penting dari Ketua Panti. Namun, naas sesampainya disana aku disekap dalam sebuah gudang yang sempit dan pengap. Aku tak tahu apa yang telah terjadi. Hingga malam ketika aku tertidur di dalam gudang itu aku bermimpi berada di sebuah ladang bunga dan bertemu teman-teman penghuni panti asuhan.
Saat itu mereka semua tersenyum dengan bahagia. Sebuah sukacita yang jarang sekali kutemui. Aku terheran-heran, apa yang sebenarnya terjadi. “Hah... akhirnya peran kita telah usai”, “Sudah tidak ada lagi beban yang perlu kita tanggung lagi”, “Horeee… sekarang kita bebas”. Apa yang mereka maksud? Kenapa berkata seperti itu, di tengah kebingungan itu munculah Kak Ghassan dengan senyumnya yang hangat menyapa. “Ghanem, maaf mulai saat ini kami tidak bisa menemanimu. Maaf, kami harus membuatmu kembali menjalani kehidupan seorang diri. Jaga diri baik-baik. Hidupmu tak perlu disia-siakan untuk menyesali semua yang telah terjadi. Kamu tahu? Aku takkan pernah menyesali keputusan yang kuambil ini. Karena aku sudah cukup untuk menikmati hidupku. Ingat Ghanem, kematian bukan akhir dari hidup, itu hanya bagian dari yang tadi kita sebut dengan hidup. Waktu yang kuhabiskan bersamamu adalah hal yang paling berharga dalam hidupku. Terimakasih.” Kak Ghassan dengan erat memelukku sembari memberikan kata-kata terakhirnya. Aku sadar beliau menangis saat memelukku. Dadaku sesak, senyumnya yang memikat, terus mengembang, dadaku terasa sesak seperti menahan buncah ombak.
Aku pun terjaga dari tidurku. Seorang pria tua menghampiriku dan memintaku keluar dari gudang. Ia mengajakku menuju sebuah tempat. Dalam perjalanan tak ada sedikitpun kata yang terucap dari kedua bibir kami. Aku hanya sesekali mencuri pandang melihatnya. Terukir dengan jelas pada garis wajahnya ia sedang gelisah. Tatapannya kosong menatap jalan yang dilewati kendaraan kami di saat surya bergegas naik. Setibanya di tempat tujuan betapa terkejutnya aku. Tempat yang kami tuju adalah panti asuhan tempatku tinggal yang sekarang telah luluh lantah. Asap masih mengepul di sana-sini. Bau gosong seperti daging terbakar, bekas darah di reruntuhan tembok. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tak mengerti.
“Ghanem, maafkan aku. Kedatanganmu ke desa kami merupakan akhir dari ikatan kekeluargaaan kalian. Sebenarnya selama ini warga desa dan penghuni panti asuhan telah merencanakan suatu pemberontakan pada pihak penjajah. Namun, naas belum sempat pemberontakan itu dilakukan, para penjajah telah mengetahuinya dan berniat membumi hanguskan mereka tanpa sisa. Gurumu, Ghassan memohon pada Ketua Panti agar menyelamatkan dan membiarkanmu pergi dari sini sebelum penyerangan. Dia memohon karena kamu tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian ini. Akhirnya Ketua Panti mengizinkannya dengan mengutusmu untuk mengirim surat penting kepada kami. Surat itu berisi permohonan kepada kami agar menyembunyikanmu selama penyerangan. Dan seperti yang kamu tahu. Penyerangan terjadi tadi malam. Tidak ada yang tersisa. Semua habis dibantai. Aku sengaja langsung mengantarkanmu ke sini agar kau segera tahu keadaannya. Maaf kami tidak bisa berbuat banyak.”
Aku tidak tahu bagaimana ekspresi sang pria tua ketika menceritakannya. Udara dingin mengusap dada. Tapi dadaku penuh sesuatu yang disebut kesedihan. Kenangan kini memanggilku. Semalam, lewat mimpi itu keluargaku memberikan salam perpisahan terakhirnya. Apa yang aku harapkan? Keluarga pertamaku telah pergi. Tiba-tiba dari belakang pria tua itu menepuk pundakku dan memberikan sepucuk surat. “Surat ini datang bersama surat yang kau bawa. Ambillah. Ini milikmu”. Aku membuka sepucuk surat tersebut. Membacanya dengan khidmat. Telaga mengenang di pelupuk mataku. Aku memeluk erat surat itu sambil bersujud. “Terima kasih, terima kasih banyak” hanya itu yang bisa kuucapkan pada saat itu.
Komentar
Posting Komentar