Mental Sakit yang Kadung Dihayati

Oleh: Donny Agustio Wijaya
Editor: Rachmad Ganta Semendawai
Illustrasi: Stefanus Cagar Manusakerti

Banyak benarnya yang dikatakan oleh Mochtar Lubis, bahwasanya manusia Indonesia memiliki enam ciri utama yang melekat pada dirinya. Baginya, manusia Indonesia itu, hipokrit, enggan bertanggung jawab, feodalistis, pecaya pada takhayul, artistik, dan berkarakter lemah. Melihat ungkapan Mochtar Lubis yang demikian, jelas merupakan hasil amatannya terhadap situasi dan kondisi saat itu. Namun, bak visioner—ciri yang diungkapkan oleh Mochtar Lubis masih relevan hingga sekarang.

Memang ironis. Ciri yang disematkan, hampir semuanya bernuansa cendala. Seakan Indonesia memang jeleklah tabiat manusianya. Padahal tidak. Ciri-ciri demikian tidak mempresentasikan manusia Indonesia sejatinya. Manusia Indonesia sejatinya ialah manusia yang bercirikan nilai-nilai luhur khas bangsa Indonesia seperti, toleransi, cinta damai, bersatu, dan agamawi. Sebenarnya, nilai tersebut telah termaktub dalam falsafah hidup bangsa yang bernama Pancasila sebagai proses dari kristalisasi. 

Namun, dengan keadaan bangsa saat ini cukup memprihatinkan, kemana nilai luhur bangsa itu? Gesekan antar masyarakat dipicu atas perbedaan kredo politik sehingga tak jarang berbuntut baku hantam. Kaum minoritas terdeskriminasi hanya atas “Kesepakatan warga”. Kemudian, banyak pihak menjadi sangsi terkait kesintasan bangsa ini. Apakah mau terulang tragedi negaranya “Tito” yang berakhir memilukan? 

Sangat disayangkan memang. Apa yang ditampilkan bangsa ini begitu memalukan. Mestinya, nilai luhur Pancasila menjadi ciri yang melekat kuat dari karakter bangsa. Hal ini terjadi karena kita sebagai bangsa kurang paham akan jati diri kita yang sebenarnya. Bolehlah banyak pihak dibuat terkejut dan terheran-heran dengan kemajuan Korea Selatan saat ini. Padahal, sekitar tahun 60-an, Korea Selatan bisa dikatakan tertinggal jika dibandingkan dengan Indonesia. Saat itu, kondisi negaranya hancur porak-poranda akibat Perang Korea. Akan tetapi, saat ini dengan waktu yang singkat mereka dikenal sebagai salah satu Macan Asia. 

Apakah yang menyebabkan perkembangan mereka mengalami akselerasi demikian? Bahkan melampaui kita saat ini. Donor dari Amerika selepas Perang Korea kah? Barang kali negara sekutunya di Blok Barat? Itu semua bukan hal yang menjadi fundamental atas capaian mereka saat ini. Selepas perang bisa dikatakan meraka tidak punya apa-apa lagi. Segalanya telah hancur pada diri Korea Selatan. Akan tetapi, ada satu hal yang masih tersisa, yaitu mereka masih mempunyai jati diri/identitas mereka yang tidak hancur selepas perang. Mereka begitu kuat sehingga tidak membuat mereka termenung meratap kesedihan dalam poranda. Namun, segera bangkit menguber ketertinggalan.

Kelemahan kita sebagai suatu bangsa ialah kurangnya pemaham akan jati diri kita sehingga kita merasa imperior daripada bangsa lain. Inilah yang kata Bung Karno pangkal dari segala pangkal. Permasalahannya bagaimana cara menemukan jati diri bangsa sehingga timbul kepercayaan diri bahwa kita adalah bangsa besar yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa seantero dunia. Lemahnya kepercayaan diri bangsa adalah permasalahan mental kita yang sakit. Mental yang sakit dikarenakan kolonialisme telah kadung dihayati hingga sekarang. 

Sistem kolonial telah menciptakan pribumi sebagai kelas rendahan. Pada saat itu, golongan pribumi telah biasa dipanggil dengan istilah inlander yang bernada ejekan dan merendahkan. Penggunaan istilah tersebut bisa dikatakan sebagai upaya dari pihak kolonial untuk menanamkan pola pikir imperior dikalangan pribumi. Pribumi bukanlah tandingan untuk masyarakat Eropa—superior. Pola pikir demikian telah tertanam sedalam-dalamnya dan masih melekat hingga sekarang, sadar atau tidak sadar. 

Selain itu, sistem kolonial yang demikian telah membuat masyarakat pribumi lupa akan kejayaanya dimasa lalu. Sejarah membuktikan bahwa leluhur bangsa telah berhasil membangun suatu peradaban dengan hasil kebudayaan yang tinggi. Bisa dibuktikan dengan keberadaan bangunan indah nan mega, seperti Candi Borobudur dan Prambanan. 

Kita juga telah dibuat lupa akan digdayanya teknologi kemaritiman yang dimiliki oleh nenek moyang dahulu. Dengan kedigdayaan tersebut para nenek moyang kita telah melanglang buana di berbagai samudera. Berbagai kejayaan yang telah dicapai dimasa lalu telah berhasil membuat identitas kita begitu dikenal diantara bangsa-bangsa. Arkian ketika kolonialisme datang, kita lupa atau sengaja dibuat lupa dengan identitas yang amat membanggakan itu.

Ketika mencapai kemerdekaannya, bangsa ini sempat berupaya untuk membangun kembali mental bangsa. Mental bangsa yang telah sakit karena sistem kolonial. Suatu sistem yang telah mengikis sedikit demi sedikit kepercayaan diri manusia-manusianya. Bung Karno sadar akan masalah mental bangsa Indonesia ini sebagai sebuah bangsa yang baru berdiri, yang baru lepas dari belenggu penindasan. 

Dengan konsep “Nation and Chracter Building”, Bung Karno menganggap bahwa pembangunan bangsa bukanlah sekedar dalam membangun ekonomi, pertahanan, infrastruktur, dan Iptek. Memanglah penting hal-hal yang demikian. Akan tetapi, hal yang paling utama dan tidak kalah penting ialah pembangunan karakter bangsa yang mencakup pembangunan jati diri bangsa serta dilandasi dengan jiwa yang memiliki rasa percaya diri.

Bung Karno membangun kepercayaan diri bangsa dengan ikut aktif mengambil bagian dalam percaturan politik dunia. Bung Karno berusaha untuk membangun karakter bangsa Indonesia yang berjiwa berani tampil di hadapan dunia, sebagai pelopor anti imperialisme, kolonialisme, dan “Nekolim”. Langkah ini telah dimulai oleh Bung Karno jauh sebelum Demokrasi Terpimpin terbentuk melalui Konfresi Asia Afrika (1955). Dunia telah mencatat dalam sejarah bahwa Indonesia sebagai pelopor lahirnya KAA. Suatu pertemuan yang telah banyak berjasa dalam memerdekan negara Asia dan Afrika. 

Selain itu, upaya untuk memupuk rasa percaya diri bangsa juga dilakukan Bung Karno dengan menyelenggarakan event-event internasional seperti, Asian Games ke-4 (1962), Ganefo I (1962), dan Ganefo II (1963). Dengan keaktifan Indonesia dalam berbagi acara dunia membuat identitas Indonesia sebagai bangsa yang baru merdeka semakin dikenal. Tak terbayangkan bagaimana manusia-manusia Indonesia pada saat itu sangat bangga menjadi bangsa Indonesia. 

Boleh dikatakan dalam membangun bangsa, menciptakan masyarakat yang banyak tenaga ahli memang penting. Namun, apa gunanya diantara banyak tenaga ahli kita itu tidak dilandasi dengan jiwa besar. Suatu jiwa yang memiliki kepercayaan diri serta kondisi mentalnya “Waras”. Banyak tenaga ahli kita yang hanya ahli saja, tetapi kondisi mentalnya sakit. Bukannya membangun malah membuat hancur negeri sendiri. 

Konsep “Nation and Character Building” Bung Karno memang tak berjalan cukup lama. Sedikit redup pada era Orde Baru yang orientasi pemerintahan hanya melulu soal ekonomi tanpa memperdulikan jiwa besar bangsa. Walapun ada upaya character building, tetapi dibalik itu hanya untuk melegitimasi kekuasaan rezim saja.

Para pemangku negeri harus segera insaf. Alasan mendasar terkait segala macam kecarut-marutan negeri ini, ialah pembentukan karakter yang lemah—dalam kondisi kehidupan bangsa yang mana nilai kemanusiaan mengalami krisis. Dengan karakter yang kuat—merefleksikan jati diri Indonesia—tentu manusia-manusia Indonesia akan menyayangi dan tak akan melukai negerinya. Selain itu, bangsa yang berkarakter kuat juga akan memiliki tujuan yang mantap dan teguh pendirian. Bangsa yang demikian tidak akan mungkin terombang-ambing belingsatan.


Komentar

Posting Komentar