Karena Hujan


Oleh: Agus Widi
Editor: Rachmad Ganta Semendawai


Illustrasi: Eka Widyaningsih

Gelapnya langit pagi ini
, membuat sang surya enggan menampakkan diri barang secuil dari cahayanya yang mampu menyinari semesta. Kini singgasananya diambil alih sang hujan yang membuat beberapa orang merasa suram. Berbeda dengan gadis yang menggeletakkan badannya di pinggir balkon sembari menikmati suara rintikan air hujan yang membuatnya tentram.

Panggil saja Raina, mewakili kesukaannya terhadap hujan. Ya, ia sangat gemar menonton tetes-tetes air yang jatuh dari langit. Tentu hujan tahu apa yang dibutuhkan oleh penggemarnya itu, aroma air yang mulai menyapa tanah. Tak segan ia menghirup aroma yang menguap bergandengan dengan angin, entah akan pergi ke mana mereka. Kegiatan favoritnya itu membuat pikirannya mengawang bebas, pergi jauh mengawang bebas di angkasa. Sejenak ia menelantarkan beban besar di kepalanya yang kecil. Hingga ia tak sengaja melihat bangku kecil berwarna cokelat milik temannya.

Entah kenapa bel pulang selalu menjadi obat penyembuh kantuk dan anehnya yang semula letih lesu bisa bersemangat kembali ketika pulang, apalagi pulang lebih awal dari jam sekolah.

Dalam lamunannya sangat jelas tergambar, pada saat itu masih berusia empat tahun. Saat jiwa dan hatinya masih suci, pikiran yang masih lugu serta polos. Saat sebelum terkena virus-virus kesombongan, keegoisan, kemunafikan, dan kecongkaan. Belum mengenal tipu daya, ketika sering membenarkan diri terhadap kesalahan-kesalahan, lalu menutupi kebohongan-kebohongan yang hingga akhirnya terbungkam diam dalam dosa yang teramat sangat besar. Berkat kepolosannya itulah hidupnya menjadi menyenangkan tanpa memikirkan keadaan yang ada di kelilingnya.

Saat itu ia masih duduk di bangku TK kecil, dengan masalah pengucapan lafal R menjadi L. Sedang sahabatnya bermasalah ketika mengucapkan huruf D. Sepertinya hanya itu masalah mereka. Pun mereka  juga masa bodoh dengan hal itu. Karena yang ia ketahui hanyalah bermain. Raut muka yang selalu ceria dan polos, ia perlihatkan kepada lingkungan sekitar.

Dua anak kecil masih duduk manis di bangku TK sambil mengamati yang lain berhamburan keluar kelas. Baik ketika berangkat maupun pulang mereka selalu berlarian riang gembira. Raut muka gembira selalu tercetak di wajah keduanya.

Selepas membeli es, dilihat sahabatnya berjalan tidak jauh di depan, Raina berlari mengampiri.

 “Nana bawa bekal tidak?”

“Bawa, Raina bawa juga kan? Yuk makan di sana” menunjuk sebuah bangku tua berwarna cokelat didalam sebuah gazebo sederhana.

Mereka berlari menghampiri bangku dan kemudian duduk.

Sambil mengeluarkan bekal makanan dari tas, Raina bertanya

“Tahu tidak Laina bawa bekal apa?

“Tidak” Jawab Nana polos ketika ditanya karena kegiatannya paling riweuh.

“Aku kasih tau ya. Depannya A- belakangnya -Yam” diletakkannya tempat makan berwarna biru di pangkuannya.

“Oooohhhhh… aku tahu… pasti ayam. Aku bawa sayur topeng” tambah Nana dengan nada riang.

“Sayul topeng?”

“Iya sayur ini” Nana memperlihatkan bekal dibawanya kepada Raina, yang dimaksud sayur topeng adalah sayur sawi putih. Sedang Raina hanya tercetak huruf  O’ pada mulut.

Mereka berdua kemudian makan tanpa memperdebatkan sayur topeng yang dibawa oleh Nana.

Mereka makan dengan lahap dan tenang di bawah pohon yang sejuk meski langit mulai tak ramah, sekali lalu tukar-menukar makanan yang dibawa oleh masing-masing. Karena Raina tidak membawa minum akhirnya ia meminta air es yang dibeli Nana tadi, akhirnya dapat.

“Yah hujan” raut muka Nana yang masam melihat air mulai turun membasahi bumi.

Sesekali mereka mengamati tiap tetes air yang jatuh. Entah apa yang mereka perhatikan, tetesan air yang jatuh dari langit? Langit yang gelap? Kilatan petir? Atau air yang menggenang? Atau daun tua yang ikut terbawa arus air seperti kapal di tengah badai besar?

“Hujan itu asalnya dari mana ya Ra?”

“Kok mereka tidak berhenti-berhenti ya?”

“Mereka mau pergi ke mana ya?”

“Kalau aku pergi seperti air itu bagaimana Ra?” pandangan Nana beralih menatap Raina yang semula menatap air hujan yang terus mengalir. Sedang yang ditatap hanya diam, mencerna setiap kalimat yang masuk ke telinganya. Apakah ia salah dengar? Sayang, ternyata tidak.

“Nana mau pergi kemana?” raut mukanya berubah menjadi sendu.

Saat hendak menjawab, suara langit yang tak ramah menghalangi Nana dan ia memilih untuk bungkam.

Tiba-tiba pendengaran keduanya terganggu suara mobil yang datang. Dilihatnya Ibu Nana keluar dari mobil berwarna hitam pekat itu.

“Na, ayo berangkat, ini sudah telat.Suara sang ibu menyaingi gemercik hujan.

Mau kemana mereka? Kenapa bawaan mereka banyak? Mereka mau pindah? Kemana? Kenapa harus pindah? Apa ia punya salah? Pertanyaan-pertanyaan itu berkeliling dikepalanya yang kecil. Tampak luar ia diam, namun ada pertengkaran dalam pikirannya. Kemudian ia memperhatikan sahabatnya dengan tatapan bingung. Sedang Nana memandang sang ibu yang sudah mendekatinya dengan tatapan sendu, seolah tak mau mengikuti perkataan ibunya.

“Nana pergi dulu ya Ra” suara Nana yang rendah membuat ibunya merasa sedih, sebenarnya tidak sampai hati ia memisahkan keduanya. Namun, mau tidak mau harus ia lakukan.

Raina yang ditinggal sahabatnya hanya bisa diam dan dalam diam pula ia menangisi kepergian sahabatnya itu. Memang bukan pergi untuk selamanya. Namun, ia hanya takut tidak bisa bertemu kembali dengannya.

“Duaaarr” suara kilat itu sontak membuat kilasan masa lalunya buyar kembali ke tempat asal. Dengan spontan tangannya memegang dada, menetralkan detak jantung akibat suara kilat itu.

Tunggu dulu, Kemana kalung pemberian Nana yang dikasihkan waktu itu? gumamnya sembari mencari benda yang selalu bertengger di lehernya. Muka panik kini terpasang di wajahnya yang basah karena percikkan air hujan. Ia tak mau kehilangan untuk kedua kalinya.

Baginya, kalung itu bukan hanya sekedar kalung biasa. Lebih dari itu. Masih jelas tergambar bagaimana ia menangis seharian mencegah sahabatnya itu agar kembali. Tak cukup itu saja, ia bahkan hampir masuk rumah sakit hanya karena tidak mau makan.

Disela-sela kegiatannya mencari kalung, handphonenya bergetar.

“Hallo” terdengan suara dari seberang yang beberapa tahun terakhir jarang didengarnya.

“Iyakah? Pulang kapan?”

“Kalau begitu, aku main ke rumah ya.”

Sambungan terputus.

Suatu kebetulan yang disengaja.

Tidak sabar ia untuk bertemu kembali dengan sahabat lamanya, ia bersemangat menyiapkan makanan yang ia masak secara khusus.

***

“O iya Na, ini aku bawakan sayur topeng, aku yang masak”.

Sayur topeng”, dua kata, cukup dua kata itu membuat rekaman dalam ingatan beberapa tahun lalu kembali berputar-putar di kepalanya. Memaksa Nana mengingat kembali, raut mukanya kian sendu seiiring dengan jatuhnya air dari langit.

Komentar