Kenang-Kenangan dari Seorang Tawanan

Oleh: Stefanus Cagar Manusakerti
Editor: Rachmad Ganta Semendawai
Illustrasi: Eka Widyaningsih

Dari kisi-kisi jendela sebuah rumah makan tua, ia melihat tempias hujan yang membuat cahaya lampu di luar menjadi terpecah-pecah. Langit tak juga kunjung gelap. Sepertinya sang waktu belum juga ingin menurunkan kelambu hitamnya yang biasa ia gelar sesaat setelah sore hilang dari peraduan. Angin semakin keras, membelai kulit dan membuat lelaki itu menggigil. Aku benci hujan, gumamnya menggerutu, kapan hujan ini berhenti. Aku harus segera pergi. Apakah aku harus menunggu hujan ini selesai atau aku menerobosnya saja, tapi aku benci jika pakaianku basah. Ah hujan, kau memang suka bermain-main denganku.

Selang 15 menit  hujan benar benar berhenti. Lelaki itu bergegas meminum sisa kopinya dan keluar menuju jalan. Langkahnya gontai, mungkin karena menahan gigil sedari tadi. Jalanan itu sepi saja. Tidak ada bunyi lain selain bunyi nafas lelaki itu sendiri. Genangan air terlihat memenuhi trotoar. Seperti seekor anak kelinci, lelaki itu melompat menghindari genangan-genangan itu. Sesampainya di sebuah perempatan jalan, ia mematah arah ke kiri. Dan terlihatlah sekarang, gerbang pelabuhan yang nampak telah berubah kusam dan karatan. Tidak seperti jalanan yang sepi, pelabuhan itu terlihat ramai, penuh sesak oleh manusia. Ia menembus kerumunan manusia itu dan naik ke kapal. Matanya jalang, mencari sebuah sudut untuk menyendiri. Terdengar bunyi cerobong kapal yang melenguh seperti sapi. Kapal berangkat menuju lautan lepas. Di pojokan itu dan dengan bantuan sepoi angin laut, ia tenggelam dalam lamunannya. 

Seminggu yang lalu perang telah usai, benar-benar usai. Pasukan Republik telah mengambil alih wilayah-wilayah musuh. Tawanan dibebaskan, musuh dilucuti, dan pos-pos pertahanan telah diduduki. Sebagai seorang prajurit, ketika itu ia diberi tugas untuk mengurus pembebasan tawanan di kamp-kamp tawanan. Berbekal senjata yang cukup, ia dan enam orang rekannya berangkat menuju kamp tawanan. Tanpa perlawanan, pasukan musuh yang ada disana membiarkan Pasukan Republik untuk masuk. Setelah mendapat kunci, sel demi sel dibuka. Di dalam sel terdapat lima sampai sepuluh orang. Mereka adalah pasukan-pasukan Republik yang tertangkap. Seperti rombongan semut, mereka berhamburan keluar sesaat ketika pintu sel itu berderit. Sorak-sorai dan tangis haru bercampur di depan sel yang telah terbuka.
Diantara sorakan dan derai air mata kebebasan, ada satu sel yang belum terbuka. Letak sel itu agak berjauhan dengan sel-sel tadi. Pintunya terbuat dari besi dan hanya ada lubang kecil dibagian bawahnya. Mungkin lubang untuk memasukkan makanan.

“Bung, sel apa itu. Mengapa bentuknya lain?” tanyanya pada salah satu tawanan

“Oh itu, itu sel isolasi” jawab tawanan itu setelah mengusap air mata di pipinya

“Adakah orang di dalamnya?”

“Setau saya ada bung, satu orang”

Setelah tanya jawab singkat itu, ia mencari kunci ruang isolasi dan lantas membukanya. Sesaat ketika telah terbuka, dari luar dapat terlihat bahwa didalam sel itu terdapat satu orang yang sedang menekur di sudut sel. Ia mencoba masuk kedalam. Baru satu langkah dari pintu, ia sudah mencium bau yang sungguh tidak sedap. Ternyata di dalam sel yang sempit tersebut tidak terdapat ventilasi. Yang terlihat hanyalah sebuah lubang di sudut sel. Dan dari situlah bau yang tak sedap itu muncul.

“Bung sehat? Ayo keluar, Bung sudah bebas sekarang”. Tidak ada jawaban. Pria itu tetap menekur disudut sel. Menyembunyikan wajahnya dibalik kedua lutut.

“Percuma saja Bung, ia tidak akan menjawab sapaan Bung” terdengar sahutan dari luar sel. Ternyata tawanan yang dari tadi masih sibuk dengan perasaan mereka masing-masing, tiba-tiba telah mengerumuni pintu sel.

“Siapa nama Bung?” cobanya kembali

“Dia bernama Torang. Dia dari Tapanuli” sahut salah satu tawanan.

“Apakah Bung memang pendiam seperti ini?” kembali tak ada jawaban.

“Sebelum tertangkap, ia adalah seorang Kapten. Ia tertangkap di daerah Wonokromo”

“Dari kabar yang kudengar semua pasukannya habis tersapu operasi musuh. Hanya dia yang selamat.” tawanan lain ikut menimpali.

“Apa mungkin ia selamat karena melarikan diri?” tanya salah satu tawanan yang terlihat cungkring.

“Aku tak tahu. Sejak awal, ia langsung dijebloskan ke sel isolasi”.

Sel isolasi yang biasanya sunyi itu tiba-tiba menjadi gaduh. Para tawanan saling menimpali satu sama lain. Dalam kegaduhan tersebut, tiba-tiba ada gerakan di sudut sel. Pria yang sedari tadi hanya menekur itu sekarang telah berdiri. Terlihat bajunya yang kumal dan lusuh. Raut wajahnya hampa. Binar matanya hilang, seakan tidak ada lagi ruh kehidupan yang terpancar. Sekarang terdengar sebuah suara yang parau

“Tau apa kalian semua tentang perang ini?” semuanya terdiam. Seakan lidah mereka semua telah jatuh ke lantai. “Dimana pun perang itu sama. Yang ia bawa hanyalah kematian. Omong kosong jika ada yang menyebut kita menang perang. Apa itu kemenangan? Apakah hanya karena kita membunuh jauh lebih banyak ketimbang mereka? Kita dan mereka sama-sama menjadi korban. Sekalipun dalam perang, membunuh tetaplah membunuh. Kalian semua yang bergembira sekarang, hanyalah karena darah saudara-saudara kalian yang lebih dulu tumpah ke tanah. Sebenarnya kita semua tidak pantas disebut prajurit, karena seorang bandit pun membunuh korbannya. Kita hanyalah anak haram dari revolusi.” Ia terkejut mendengar kata-kata lelaki itu. Dan kekagetan itu juga yang membangunkannya dari lamunan. Kapal itu masih melaju di samudera yang luas. Membawa lelaki itu menuju kampung halamannya. “Ah Torang dimana gerangan kau sekarang?’.





Komentar