Kisah Diusirnya Bung Karno dari Istana dan Cerita Pilu Setelahnya (1967-1970)


Oleh: Muhammad Fachrul Rabul
Editor: Rachmat Ganta Semendawai dan Stefannus Cagar
Illustrasi diambil ketika Bung Karno menghadiri pernikahan putrinya Rachmawati Soekarnoputri pada tahun 1969
"Semua anak-anak kalau meninggalkan Istana tidak boleh membawa apa-apa, kecuali buku-buku pelajaran, perhiasan sendiri dan pakaian sendiri. Barang-barang lain seperti radio, televisi dan lain lain tidak boleh dibawa!" Perintah Soekarno kepada Keluarganya. (Dalam buku ‘Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat’)

Bung Karno, sebagaimana orang Indonesia mengetahui bahwa ialah sosok manusia yang berada di garis depan dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Soekarno tak mengharapkan balasan berupa harta dari jerih payahnya, juga tidak meminta masyarakat untuk mengganti rugi keringat dan pikiran yang telah ia persembahkan kepada Republik Indonesia.

Namun, miris kenyataan yang ia terima saat akhir kepemimpinannya. Dimana Soekarno diperlakukan seperti seorang penjahat. Seakan semua orang melupakan jasa dan kerja kerasnya dalam “pergulatan” kemerdekaan Indonesia. Bung Karno dipaksa agar secepatnya keluar dari Istana Negara, tanpa ia tahu apa dan kenapa ia diusir dari Istananya. Hal itu dikarenakan sebelumnya, Soekarno tidak mengikuti sidang pembahasan pencopotan jabatan Presiden yang diadakan oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).

Pada tahun 1967, dua tahun pasca peristiwa G30S/PKI, mosi tidak percaya dilayangkan oleh parlemen bentukan Nasution. Kemudian keluar TAP MPRS yang menunjuk Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Sehari setelah TAP MPRS dikeluarkan, Soekarno menerima surat bahwa ia telah dicopot dari jabatan Presiden dan segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam. Soekarno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah dari tentara yang mengusir “Sang Putra Fajar” tidak lagi menampakkan muka yang bersahabat. "Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!".

Mendengar surat perintah agar Bung Karno harus segera meninggalkan istana, semua ajudan setianya menangis saat tau The Founding Father tersebut mau pergi. “Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan…” Salah satu ajudan setengah berteriak memprotes tindakan pasif Bung Karno.

“Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit kalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu, keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara.” Tegas Bung Karno kepada para ajudannya.

Bung Karno keluar dari Istana hanya dengan mengenakan kaos oblong, cap cabe dan celana piyama warna krem. Baju piyamanya disampirkan ke pundak dan ia memakai sandal bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas koran yang digulung, berisi bendera Pusaka Merah Putih. Bendera yang disuji oleh istrinya sendiri, ibu Fatmawati ketika masa Proklamasi Kemerdekaan dahulu.

Ia meninggalkan Istana dengan mobil VW “Kodok” yang dikendarai seorang sopir asal kepolisian. Salah seorang anggota kawal pribadinya membawakan ovaltine, minuman air jeruk, air teh, air putih, dan kue-kue, serta obat-obatan Bung Karno. Itulah seluruh harta yang dimiliki Bung Karno ketika meninggalkan Istana. Selebihnya ditinggalkan.

Setelah itu ia meninggalkan istana dan kehidupan seorang eksekutif yang memegang kendali negara. Bung Karno keluar dari Istana dengan kondisi yang amat memilukan, untuk seorang yang berjasa besar bagi Indonesia. Nampaknya tidak adil mendengar bagaimana cerita akhir perjalanan hidupnya.

Bahkan, ada suatu cerita setelah Bung Karno meninggalkan Istana. ia mengajak ajudannya yang bernama Nitri gadis Bali untuk jalan-jalan. Saat melihat duku, Bung Karno kepengen duku tapi dia tidak punya uang. “Aku pengen duku--Tri--Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang”. Nitri yang uangnya pas-pasan juga melihat ke dompetnya, ia merasa cukuplah buat beli duku sekilo.

Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata “Pak Bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil”. Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah Bung Karno. “Mau pilih mana, Pak manis-manis nih ” sahut tukang duku dengan logat betawi kental. Bung Karno dengan tersenyum senang berkata “coba kamu cari yang enak”. Tukang Duku itu mengernyitkan dahinya, ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak “Bapak…Bapak….Bapak…Itu Bapak…Bapaak” Tukang duku malah berlarian ke arah teman-temannya di pinggir jalan”. Ada Pak Karno, Ada Pak Karno….” mereka berlarian ke arah mobil VW “Kodok” warna putih itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan buah-buah pada Bung Karno.

Hingga saat-saat terakhir, ketika menjadi tahanan politik pada tahun 1970, beberapa bulan sebelum wafatnya. Bung Karno menderita gangguan ginjal dan hanya dirawat seadanya oleh Dokter Mahar Mardjino yang bahkan tidak memiliki obat-obatan yang diperuntukkan bagi penyakit ginjalnya.  Hal ini karena obat-obatan tersebut akan dilarang oleh para tentara pendukung Suharto. Ketika penyakit Bung Karno kambuh, Dokter Mahar Mardjino hanya bisa memberi Vitamin dan Jelly yang sebenarnya hanya madu biasa. Disaat Bung Karno merasakan sakit ketika ingin tidur, Dokter Mahar tidak bisa berbuat apa-apa karena ia tidak mempunyai obat penyakit ginjal yang diderita oleh Bung Karno.

Hatta yang dikabari keadaan Bung Karno merasa geram. Ia menulis surat pada Suharto dan mengecam cara merawat Bung Karno. Di rumahnya Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno.

Bung Hatta, walaupun sering berbeda pendapat dengan Bung Karno, tetapi ia menggangap Bung Karno sebagai sahabat dan juga keluarganya. Bung Hatta pun mengirim surat kepada Suharto. Kemudian, Suharto memberi izin kepadanya untuk menjenguk Bung Karno. Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan, “Bagaimana kabarmu, No?” tanya Hatta, tanpa disadari air mata Bung Hatta telah jatuh melihat kondisi sahabatnya tersebut.

Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta “Hoe gaat het met Jou?” kata Bung Karno dalam bahasa Belanda yang artinya, “Bagaimana pula kabarmu, Hatta?”. Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno. Bung Karno akhirnya menangis seperti anak kecil. Dua Proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan jorok. Ruang yang menjadi saksi bahwa mereka yang memerdekakan bangsa ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia, suatu keadaan yang menyesakkan dada.

Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno wafat. Sama seperti saat Proklamasi 1945 Bung Karno menunggui Hatta di kamar untuk segera membacai Proklamasi. Ketika kematiannya-pun, Bung Karno seolah menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Hyang Widhi.
 
"Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat, dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa." (Soekarno, 1967).


Daftar Pustaka

Ansyari, Syahrul, 2015. Kisah Bung Karno Diusir Soeharto Dari Istana. Dari Historia.id diakses pada pukul 23.12 WIB, 27 Maret 2019

Cindy Adams, 1966. Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams. Pj. Syamsu Hadi, 2007. Jakarta: YBK

Daras, Roso, 2013. Total Bung Karno: Serpihan Sejarah Yang Tercecer. Jakarta: Imana

Kasenda, Peter. 2013. Hari-hari Terakhir Sukarno. Jakarta: Komunitas Bambu

Raditya, Iswara N. 2018. Sejarah Indonesia: Orde Baru Membunuh Soekarno Pelan-Pelan. Dari tirto.id diakses pada pukul 6.49 WIB, 26 Maret 2019







Komentar

  1. Sedih bacanya...
    Bung Karno seharusnya tidak diperlakukan begitu, apa daya kekuasaan memang membuat manusia lupa diri lupa

    BalasHapus
  2. Info yg sangat menarik sekali pastinya

    BalasHapus

Posting Komentar