Pramoedya Ananta Toer: Tak Diakui di Tanah Sendiri

Oleh: Iswarta Bima





Cover buku "Saya Terbakar Amarah Sendirian", merupakan hasil wawancara Pramoedya Ananta Toer dengan Andre Vitchek dan Rossie Indira yang dibukukan.


Seiring bertambah tua usia bangsa ini, satu demi satu pecinta Indonesia berguguran. Belum lama ini, di masa rentanya, rohnya telah dijemput, Pram telah mangkat....

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah tahun 1925 dari pasangan Toer dan Saidah. Anak sulung dari sembilan bersaudara itu merupakan sisa cindera mata dari kekejaman tragedi berdarah 65-66.

Tahun 1942, setelah jepang masuk ke Indonesia, Pram bekerja di Kantor Berita Domei. Tak lama setelah itu, di masa revolusi kemerdekaan, ia bergabung dengan laskar pemuda di Jawa Barat dan akhirnya di penjara.

Pada zaman Demokrasi Parlementer 1950-1959, ia aktif dalam Kelompok Budaya Gelanggang yang kemudian menjadi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Selama era Demokrasi Terpimpin 1959-69 Pram menonjol sebagai salah satu tokoh Lekra. Inilah yang mengantarkannya hidup di penjara. Kala masa kacau coup de etat ’65, ia “diamankan” militer dan tak pernah muncul lagi selama 14 tahun. Hidup di pengasingan bertahun-tahun sebagai tahanan politik tidak membuat Pram tunduk terhadap penguasa. Malah sebaliknya, teriakan keras dan kuat terus muncul dari guratan sang pujangga.

Pram adalah satu dari korban ’65-‘66 yang berhasil bebas. Puluhan karyanya telah membuka mata rakyat tentang fakta, apa yang sebenarnya terjadi. Cerita pengalamannya di bui pengasingan merupakan perwakilan dari apa yang dialami para korban ’65.

Di masa Orde Baru, buah tangannya dilarang dan ruang geraknya dibatasi. Namun, di luar negeri, karya Pram banyak diterbitkan dan diterjemahkan diragam bahasa. Dari dunia luar juga Pram tak jarang mendapat penghargaan. Konon, karena jasa dunia internasionallah Pram bisa selamat dari kamp konsentrasi Pulau Buru. Meski berjaya di negeri orang, tetapi tetap saja, Pram merasa terasing di negerinya sendiri.

Lengsernya Soeharto tahun 1998 telah mengubah tatanan pemikiran rakyat Indonesia, terutama kaum terdidik. Buku-buku pembelaan terhadap PKI perlahan mulai muncul tema pelurusan sejarah selalu menjadi topik utama. Novel-novel Pram pun mulai bertebaran di pasaran dan menjadi sasaran empuk masyarakat yang haus akan kebenaran sejarah.

Menulis merupakan jalan hidup Pram. Di usianya yang semakin renta, ia mengeluh tak bisa menulis lagi akibat strok enam tahun lalu. Mulai saat itulah tubuh kuat Pram menjadi lumpuh. Namun, itu tak menyurutkan niat para peneliti, penulis atau wartawan dunia untuk tetap mengeruk celotehan dari mulutnya. Setelah tahun 2000 praktis pemikiran unek-unek Pram hanya ditulis oleh orang lain. Pada 30 April 2006 usai sudah perjalan hidup pencetus Pramis.

Karya-karya Pramoedya yang masih tersisa antara lain: Arus Balik, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca), sang Pemula, Gadis Pantai dan masih banyak lagi.

*Orbituari Pramoedya Ananta Toer pada tahun 2006, tulisan ini sudah dimuat di buletin Sanskerta Edisi IV Oktober 2006 di rubrik biografi (dengan beberapa perbaikan diksi).       

Komentar