Kauman merupakan
perkampungan yang terletak di sebelah barat Masjid Gedhe Yogyakarta. Sebutan dari Kauman sendiri
berasal dari kata “ka-kaum-an” yang berarti tempat. Sedangkan kaum dari kata
“qoimuddin” yang berarti penegak agama Islam. Jadi, Kauman adalah tempat
para penegak Agama atau para ulama. Sejarah lahirnya Kauman berawal dari
penempatan abdi dalem pametakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono, yang bertugas
dibidang keagamaan untuk urusan yang berkaitan dengan Masjid Agung.
Tahun 1912 merupakan
tahun bersejarah bagi Kauman dengan munculnya ulama yang cerdas dan memiliki
persepektif dalam pencerahan masa depan. Ulama tersebut adalah K.H. Ahmad
Dahlan yang lahir pada tahun 1868 M di Kampung Kauman. Beliau melakukan suatu
gerakkan umat Islam yang diberi nama gerakkan Muhammadiyah.
Gerakkan Muhammadiyah
merupakan organisasi dakwah dan sosial pendidikan dengan berasaskan Islam di
Kampung Kauman. Dengan adanya Muhammadiyah, Kampung Kauman dikenal oleh masyarakat
luas, sebagai tempat persemaian ulama. Dalam perkembangannya, Kauman memiliki
banyak peran bagi masyarakat dari masa sebelum dan sesudah kemerdekaan hingga
sekarang.
Pada masa Revolusi tahun
1945-1949, paska kemerdekaan bukan berarti perebutan kekuasaan dengan bangsa
barat sudah selesai. Namun tetap berlanjut, seperti Agresi Militer I (1947) dan
Agresi Militer II (1948). Untuk melancarkan aksinya, Belanda
mengirimkan 100.000 serdadu bersenjata ke wilayah Jawa terutama Yogyakarta, hal
itu mendorong para ulama turut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari
jajahan Belanda.
Pada 23 Juli 1947, para
ulama di Yogyakarta membentuk markas ulama Angkatan Perang Sabilillah yang
berpusat di Masjid Besar Kauman. Lalu Ki Bagus Hadikusuma, K.H. Mahfud Siroj,
dan K.H. Ahmad Badawi menyampaikan maksudnya di depan Sri Sultan Hamengkubuwono
IX.
Hal tersebut direspon baik
oleh Sri Sultan dengan dikeluarkannya surat keputusan yang diserahkan langsung
kepada Panglima Besar Sudirman untuk melatih para anggota Angkatan Perang
Sabil. Anggota dari Angkatan Perang Sabil sebagian besar merupakan para pemuda
dari Kauman.Para anggota Angkatan Perang Sabil biasa berlatih di pelataran
Masjid Besar Kauman, setelah dilatih mereka di kirim ke daerah Mranggen.
Melihat situasi konflik
fisik yang dilancarkan oleh Belanda semakin memperparah pertahanan Indonesia,
akhirnya mereka dikirim ke Srondol untuk menahan serangan dari Belanda. Di
samping itu, Angkatan Perang Sabil bekerja sama dengan Angkatan Oemat Islam
yang juga bermarkas di pelataran Masjid Besar Kauman.
Ketika Belanda berhasil
memasuki Yogyakarta 1949, pasukan Belanda melakukan patroli di sepanjang jalan
Ngabean menggunakan mobil Jeep untuk mengejar para gerilyawan Angkatan Perang
Sabil. Sesampainya di rumah Abdul
Gani, pasukan Belanda turun ke lorong kampung Kauman dan bertemu dengan para
Angkatan Perang Sabil yang sedang berjaga di pos. Tanpa ragu, pasukan Belanda
menembaki dengan membabi buta yang mengakibatkan gugurnya beberapa anggota dan
penduduk.
Warga Kauman baik laki-laki
maupaun perempuan turut berjuang
mempertahankan kemerdekaan. Untuk gerakkan perempuan, di bentuk Organisasi
Aisyiyah dan Persatuan Wanita Indonesia yang membantu mengurus dapur umum.
Dalam hal perawatan dan pertolongan pertama, PMI bekerja sama dengan Aisyiyah
dalam menangani para anggota.
Setelah perundingan
Roem-Royen, ibu kota Indonesia di kembalikan ke Jakarta. Lalu para anggota
Angkatan Perang Sabil dikembalikan juga ke masyarakat, ada yang kembali ke
profesi sebelumnya, ada pula yang meneruskan pendidikan belajarnya, serta ada
yang bergabung pada kesatuan TNI.
Oleh:
Azizatul Hafidoh, Aldias Rangga, Zahrotun Nisa, Indri Septian, Mala Nur, Lulu’ Laila, Yuni Khairunnisa, Mutawakkil
Hidayatullah.
Komentar
Posting Komentar