—Bagas Nugroho Pangestu
Dalam
perjalan masa kemerdekaan Indonesia, ada banyak tokoh-tokoh yang muncul dan
dielu-elukan sebagai pahlawan. Mulai dari duo proklamator terkenal
Soekarno-Hatta hingga sang orator ulung Bung Tomo beserta arek-arek Suroboyonya
dan tak lupa si ahli strategi perang gerilya yaitu Soedirman. Serta masih
banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu-satu.
Ada
suatu peristiwa yang ikut tercatat dalam sejarah ketika masa-masa ini
(kemerdekaan) berlangsung. Peristiwa ini bisa dikenali sebagai Konferensi
Malino pada tahun 1946. Peristiwa ini juga dicatat oleh Rosihan Anwar dalam
bukunya berjudul “Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia jilid 7”, dengan
judul artikel Sandiwara Malino.
Rosihan
Anwar menggambarkan jika pada waktu itu ada sebuah konferensi yang digagas oleh
pihak Belanda. Dr. H.J. Van Mook yang merupakan Letnan Gubernur Jendral kala
itu, ingin menunjukan Konferensi Malino sebagai bukti bahwa tidak seluruh 70
juta bangsa Indonesia berdiri dibelakang Soekarno dan Hatta (Rosihan Anwar:
2015, 129).
Suara
yang ingin dihasilkan dari Konferensi Malino sendiri yaitu perlu adanya masa
peralihan selama lima sampai sepuluh tahun bagi Indonesia dalam lingkungan
Kerajaan Belanda. Konferensi Malino juga dijadikan Van Mook sebagai alat untuk
menanamkan cita-cita negara persemakmuran Belanda.
Pihak
Belanda pun menggunakan golongan kooperator (orang-orang yang mau bekerja sama
dengan Belanda) untuk meguatkan pijakannya.
Rosihan Anwar mencatat ada beberapa
tokoh kooperator yang membuat Konferensi Malino “Berhasil”, antara lain Sultan
Hamid II dari Pontianak, Anak Agung Gde Agung dari Bali dan Najamuddim Daeng
Malewa dari makassar. Tokoh-tokoh inilah yang dianggap bersebrangan jalan
dengan golongan Republikein kala itu.
Sultan Hamid II: Perancang Garuda
yang Dipenjara dua kali
Sultan
Hamid II dengan nama asli Syarif Hamid Al-Qadrie merupakan salah satu tokoh
“kontroversial” yang pernah berpartisipasi dalam Konferensi Meja Bundar pada
tahun 1949. Sultan Hamid II juga merupakan perancang lambang Garuda Pancasila.
Anshari
Dimyati dalam artikel berjudul “Sultan Hamid II Tidak Terbukti Melakukan
Makar” menggabarkan bagaimana pembentukan lambang negara Indonesia
itu. Setelah pasal 3 ayat 3 konstitusi RIS 1949 yang menyatakan penetapan
lambang negara, maka Sultan Hamid II—yang pada waktu itu sudah menjabat menteri
negara—ditunjuk Soekarno menjadi koordinator tim perumusan lambang negara pada
1950.
Pada
10 Januari 1950 dibentuklah sebuah panitia teknis dengan nama Panitia Lambang
Negara di bawah koordinasi Sultan Hamid II. Dalam prosesnya ada banyak
rancangan lambang yang diajukan, tak terkecuali Sultan Hamid II dan Muhammad
Yamin yang turut mengajukan rancangannnya. Akhirnya menurut Panitia Lambang
Negara terpilih dua rangancangan terbaik yaitu milik Yamin dan Hamid.
Anshari
menceritakan, panitia menolak rancangan milik Yamin karena mengandung unsur
sinar matahari yang identik dengan Jepang. Akhirnya rangcangan Hamid dengan
burung Garuda sebagai simbol utamanya terpilih dan ditetapkan pada 11 Februari
1950 sebagai lambang negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Dia bisa dibilang
berjasa pada negara di awal-awal kemunculannya.
Akan
tetapi, dibalik jasanya Sultan Hamid II pernah dituduh makar hingga masuk bui
selama dua kali. Masalah pertama, Hamid dituduh bekerja sama dengan Westerling
dalam upaya penyerangan sidang menteri kabinet RIS di Pejambon. Kedekatan Hamid
dengan Westerling—dan juga bekas inspektur polisi Frans Najoan—dikarenakan
kesamaan di kesatuan KNIL. Hal ini yang membuat Hamid dituduh ikut dalam aksi
separatis.
Dalam
artikel berjudul “Menjerat Sultan
Federalis” yang ditulis Petrik Matanasi menjelaskan jika Hamid hanya
sebatas niatan saja dalam penyerangan itu. Dijelaskan lebih lanjut jika Hamid
akhirnya membatalkan rencana penyerangan itu. Pada 5 April 1950, Hamid
ditangkap dan dipenjarakan, selama tiga tahun berikutnya kasusnya baru
disidangkan tepatnya pada 25 Februari 1953.
Setelah
menjalani masa tahanannya selama delapan tahun,Hamid dibebaskan. Namun, baru
menjalani masa bebasnya selama empat tahun, tepatnya di bulan Maret 1962 Hamid
kembali dijebloskan kembali ke Rumah Tahanan Militer di Madiun.
Tuduhannya
yang diberikan kepada Hamid adalah melakukan makar dan membentuk organisasi
illegal bernama Vrijwillige Ondergrondsche Corps (VOC). Selama empat tahun
Hamid menjalani masa tahanannya tanpa disidang. Hamid dibebaskan pada tahun
1966.
Anak Agung Gde Agung: menentang
bersama PPN
Anak
Agung Gde Agung merupakan salah satu orang yang pernah menjabat Perdana Menteri
NIT (Negara Indonesia Timur) dan sekaligus bangsawan dari Bali. Sepak
terjangannya di dunia politik menjadikan Anak Agung Gde Agung berperan besar
dalam pembentukan NIT yang pada waktu itu masuk sebagai wilayah di RIS. Setelah
RIS bubar Anak Agung Gde Agung pernah menjadi Menteri Dalam Negeri Indonesia.
Dibalik
hal itu nyatanya Anak Agung Gde Agung adalah sosok “kontroversi”. Sepak
terjangnya yang dinilai dekat pihak Belanda di masa kemerdekaan sedikit membawa
kemarahan masyarakat Bali kala itu. Salah satu bukti yang melihatkan Anak Agung
Gde Agung dekat dengan pihak Belanda adalah dibentuknya Pemuda Pembela Negara
(PPN).
Dalam
artikel “Penjilat Pantat Nederland dan Kontroversi Anak Agung Gde Agung”, Pertik Matasi menuliskan bahwa PPN di
bawah Anak Agung Gde Agung dituduh pro dengan Belanda oleh golongan
Republikien.
Pada awalnya PPN bertujuan untuk menjaga keamanan di
daerah Gianyar sekaligus Puri Raja Gianyar. Namun, lama-kelamaan PPN bersama
kepemimpinan Anak Agung Gde Agung malah memusuhi orang-orang lokal Bali.
Di dalam artikel yang sama juga dijelaskan PPN
dengan gencar memburu pemusatan gerilya para pejuang kemerdekaan di pedalaman
dengan bantuan tentara Jepang. Selain itu mereka (PPN) dengan sadis menembaki
dan menyiksa para pejuang kemerdekaan sebelum dibunuh.
Sifat yang sama juga dimunculkan oleh Anak Agung Gde
Agung dalam memerangi para pejuang kemerdekaan. Anak Agung Gde Agung
digambarkan begitu bernafsu mengejar dan menangkap para pejuang kemerdekaan
untuk dimasukan ke penjara. Pemburuan yang dilakukan PPN bersama Anak Agung Gde
Agung terhadap para pejuang kemerdekaan berjalan mulai dari 1945 sampai 1948.
Akan tetapi dalam artikel “Contoh Gagal Negara Indonesia Timur”, dituliskan Anak Agung Gde
Agung berusaha untuk menyatukan perjuangan kemerdekaan. Upaya yang dilakukan
yaitu menerapkan politik Sintesis yang bertujuan untuk memadukan NIT dengan
Partai Republik (pro Republik Indonesia).
Najamuddin Daeng Malewa
Bisa
dibilang Najamuddin Daeng Malewa bukan tokoh yang “kontrversi” di masa
kemerdekaan. Namun, jalan yang dipilih Daeng Malewa pro terhadap Belanda
menandakan dia memilih bersebrangan.
Cita-cita
Daeng Malewa yang menginginkan kebangsaan dan pembangunan secara federasi—tercermin
di setiap pidatonya—ditangkap pihak Belanda sebagai hal postif. Melalui Van
Mook pihak Belanda mengajak Daeng Malewa untuk ikut dalam Konferensi Malino—yang
nantinya akan terbentuk NIT.
Lima
bulan berselang dari Konferensi Malino, NIT mengadakan konferensi susulan yang
dilakukan di Bali pada 7-23 Desember 1946. Konferensi ini bertujuan untuk
menentukan siapa presiden NIT dengan pemungutan suara anggota delegasi.
Dalam
pemilihan ini terjadi tiga putaran. Di putaran kedua muncul tiga calon yang
medapatkan suara, antara lain Tjokorda Gde Raka Soekawati dengan 31 suara,
Tajoeddin Noer dengan 31 suara dan Daeng Malewa dengan enam suara. diputaran
ketiga, Daeng Malewa menampakan sikap politiknya yang pro Belanda.
Daeng
Malewa memberikan keenam suaranya kepada Soekawati yang memiliki pnadangan
politik yang sama ketimbang Tajoeddin Noer yang pro terhadap republik. Pada
akhirnya Soekawati terpilih menjadi presiden NIT dan Daeng Malewa menjadi
perdana menteri merangkap menteri perekonomian.
Dalam
artikel berjudul “Jalan Hidup Perdana Menteri Negara Indonesia Timur”, Eko Rusdianto menjelaskan jika Daeng
Malewa menjabat perdana menteri selama dua periode, mulai adri 13
Januari-2 Juni 1947 dan 2 Juni 1947-11 Oktober 1947.
Dibalik
sikapnya yang pro dengan Belanda, Daeng Malewa merupakan orang yang bisa
mengatur perekonomian. Menurut Eko Rusdianto sebelum ikut dengan NIT, Daeng
Malewa sudah mulai menggalakkan koperasi, mengaktifkan sistem pelayaran dan
mendorong kedaulatan petani kecil.
Akan
tetapi, kelihaiannya justru membawa Daeng Malewa ke tahanan. Dalam artikel yang
sama, disebutkan sikap sosial Daeng Malewa mengancam pemerintahan Belanda.
Daeng Malewa diadili dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara.
mengutip
Eko Rusdianto dalam Jalan Hidup Perdana Menteri Negara Indonesia
Timur, melalui Surat Keputusan Resident Zuid-Celebes pada 24
September 1947, dia tidak dapat bermukim di daerah kekuasaan NIT, khususnya
daerah yang diberlakukan darurat perang seperti Sulawesi Selatan.
Daftar Pustaka
Anwar, Rosihan. 2015. Sejarah
Kecil Petite Histoire Indonesia jilid 7 Kisah-Kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Matanasi,
Petrik. 2016. Contoh Gagal Negara Indonesia Timur. tirto.id. diakses pada pukul
16.04, 16 November 2018.
Matanasi,
Petrik. 2016. Menjerat Sultan Federalis. tirto.id. diakses pada pukul
15.17, 16 November 2018.
Matanasi,
Petrik. 2016. "Sultan Hamid II Tidak Terbukti Melakukan Makar". tirto.id.
diakses pada pukul 15.11, 16 November
2018.
Matanasi,
Petrik. 2018. Penjilat Pantat Nederland dan Kontroversi Anak Agung Gde Agung. tirto.id.
diakses pada pukul 15.28, 16 November 2018.
Rusdianto,
Eko. 2016. Jalan Hidup Perdana Menteri Negara Indonesia Timur. historia.id. diakses pada pukul 15.48, 16 November 2018.
Saraswati,
Patricia Diah Ayu. 2017. Sultan Hamid II, Sosok Kontroversial di Balik
Garuda. cnnindonesia.com. diakses pada pukul 15.14, 16 November 2018.
Komentar
Posting Komentar