PERISTIWA BERDARAH ’65-66: Mengais Jejak-Jejak Kebenaran yang Terhapus

Muhammad Iqbal (Pemimpin Redaksi buletin SANSKERTA 2006)



“jika ada perasaan umum di Indonesia ihwal pembunuhan massal ’65-’66, itu merupakan pengejawantahan harapa agar peristiwa seram semacam itu jangan sampai terulang lagi. Ini suatu yang mengerikan dan memalukan...”

—Benedict Anderson 


Masa-masa menjelang meletusnya peristiwa 1 Oktober 1965 cukup tepat diumpamakan sebagai “Ibu Pertiwi sedang hamil tua”. Yang dilahirkannya adalah tragedi yang memakan sangat banyak korban dan menimbulkan penderitaan tak habis-habis sampai empat puluh tahun kemudian [Fic, 2005; Anderson dan McVey, 2001].

Saat itu terjadi perang dingin, dunia seakan terbelah menjadi dua kubu yang saling bermusuhan, yaitu kubu Kapitalis-Liberal dan kubu Komunis [Zurbuchen, 2005]. Kondisi dalam negeri juga sangat parah, Indonesia sendiri yang sejak tahun 1960-an mengalami krisis ekonomi. Tahun-tahun 1962/63 terjadi musim kemarau yang berkepanjangan, kegagalan panen padi, hama tikus yang dahsyat yang merusak semua tanaman dan persediaan padi/beras serta menimbulkan kelaparan di Pulau Jawa. Pelbagai bahan makan pokok serta bahan bakar seperti bensin dan minyak tanah sering menghilang dari pasar. Gula dan tepung teramat sukar didapat, sedangkan harga beras terus melonjak [Onghokham, 2002]. Ketidakpastian adanya stok barang meninggalkan kepanikan di masyarakat serta menaikkan suhu politik.

Dalam kemelut ekonomi-sosial, terjadi agitas politik yang sangat tajam di ibukota. Salah satunya, muncul agitasi untuk membubarkan HMI dari front kiri. Pada HUT PKI ke-50 dirayakan secara besar-besaran pada 1965 [Crouch, 1973]. Presiden Soekarno didesas-desuskan dalam keadaan sakit parah dan tidak akan berusia lama lagi [Cavanagh: 2].

Dalam keadaan demikian terbentuk situasi politik dengan tiga kekuasan: presiden, tentara, dan PKI. Herbert Feith, politikolog Australia, mensinyalir bahwa antara ketiga poros kekuasaan itu, perimbangan kekuatan rupanya bergeser ke arah PKI yang dikatakan “kini di atas angin” (pertengahan 1965). Dengan sendirinya, baik kekuatan-kekuatan dalam negeri yang bukan atau antikomunis dan khususnya tentu dunia Barat, makin cemas dengan Indonesia yang dikhawatirkan jatuh ke tangan kiri. Apalagi dengan diperkuatnya, apa yang oleh presiden Soekarno dikatakan poros jakarta-Pyongyang-Beijing-Hanoi [Feith, 1962; Feith dan Castle (eds), 1988; Nonosusanto (ed), 1999].    

Pada permulaan 1962/63, BTI dan PKI melakukan “aksi sepihak” terhadap setan-setan desa di antaranya: para tuan tanah, penguasa desa, serta lintah darat. Di mana-mana terlihat adegan-adegan protes dan kadngkala aksi seperti pengambilalihan tanah, penurunan lurah, dan protes terhadap para sesepuh desa [Kasdi, 2001; Sulistyo, 2002]. Dalam suasana centang-perenang yang tidak terkendali ini, masyarakat mempersenjatai/melindungi diri mereka masing-masing. Dalam suasana itu, maka di pusat muncul isu Dewan Jenderal yang berimbang dengan dewan revolusi. Masing-masing pihak ingin mendahului. Meletusnya gerakan 1 Oktober 1965 menjadi klimaks dari kepengapan hidup selama bertahun-tahun sebelumnya dan memicu orang bmelakukan kekerasan di luar batas. Maka terjadilah pembantaian, paling banyak di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sumatra Utara.

Jumlah Korban

Menurut Robert Cribb, ada beberapa cara untuk menghitung jumlah korban pembunuhan massal 1965/66:

Pertama, dengan mengutip keterangan resmi dari pemerintah atau instansi keamanan. Fact Finding Comission, yang dibentuk pascaperistiwa berdarah tersebut, menyatakan jumlah korban adalah 78.000 orang. Tetapi Oei Tju Tat yang menjadi ketua tim itu mengatakan bahwa angka itu terlalu kekecilan. Lebih tepat bila ditambah dengan satu angka 0 di belakangnya (maksudnya 780.000). Kopkamtib dalam salah satu laporannya menyebutkan angka 1 juta jiwa (800.000 di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta masing-masing 100.000 di Bali dan Sumatra) [Cribb (ed), 2004: 1-81; Nasution, 1999; Abdul Mun’in DZ dan AS Burhan, 2003; AWA, 2000].

Cara kedua adalah dengan menghitung zenajah korban pembantaian. Ini bisa dilakukan dengan membongkar kembali kuburan massal yang tersebar di Indonesia. Namun, jumlah pasti tidak akan akurat karena sebagian korban itu dicampakkan ke hutan dan dimakan binatang buas atau dibuang ke sungai/laut.

Metode ketiga dengan meminta kesaksian dari korban yang selamat, orang yang menyaksikan pembunuhan atau pelaku sendiri. Ini dapat dan perlu dilakukan, walaupun akan memakan waktu cukup lama.

Cara keempat dengan teknik demografi: membandingkan jumlah penduduk suatu daerah dengan sebelum dan sesudah kejadian. Jadi, angka pembunuhan massal itu diperoleh melalui selisihnya. Kelemahan dari teknik ini adalah angka sensus yang tersedia mencakup periode yang jauh lebih panjang, yaitu tahun 1961 dan 1971. Selain itu tidak semua yang meninggal itu karena pembunuhan, bisa juga karena mati wajar atau sakit. Demikian pula orang-orang yang berpindah ke daerah lain selama periode itu tentu harus dikeluarkan dalam perhitungan.

Metode kelima yaitu dengan mengandalakan intuisi. Angka yang diperoleh bersifat moderat ditengah-tengah, tidak terlampau kecil dan tidak pula terlampau besar. Robert Cribb menyebut jumlah 500.000 sebagai angka yang wajar. Jumlah tersebut didukung oleh teknik keenam yang dibuat Iwan Gardono dengan menjumlahkan semua angka pada 39 artikel/buku yang pernah mengulas pembantaian 1965/66 dan membaginya dengan 39 sehingga dapat diperoleh angka rata-rata 430.590 orang [Cribb (ed), 2004: loc. cit; Crouch, 1973: 1-20 dan 1999; Sulistyo, 2000; Baskara, 2001: 274-282/ dokumen Cavanagh; AWA, 1999].

Namun statistik itu merupakan angka yang dingin, tidak mewakili perasaan yang ketakutan, kengerian melihat orang dibunuh atau diperkosa di depan mata. Selain itu juga menjadi tanda tanya, mengapa pihak keamanan tidak berusaha mencegahnya sehingga korban yang jatuh tidak sebanyak itu. Paling tidak, ada kesan bahwa mereka membiarkan hal itu terjadi. Bukankah itu berarti menyingkirkan kelompok yang menjadi musuh mereka selami ini?

“Peristiwa kudeta 1 Oktober 1965 secara faktual diikuti oleh pembunuhan massal di pelbagai daerah di Indonesia. Pembantaian ini nyaris tidak pernah disebut dalam buku pelajaran sejarah di sekolah semasa Orde Baru. Hal ini sekarang diungkapkan bukan untuk menoreh luka lama, tetapi justru untuk menyembuhkannya, agar peristiwa itu tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Selain itu penangkapannya mengandung aspek healing (pengobatan) bagi para korban dan keluarganya”
—Asvi Warman Adam

Dampak Sosial Tragedi 1965

Dapat diperdebatkan hingga kini “kebenaran sejarah” ihwal siapa dalang (otak) pada peristiwa kudeta 1 Oktober 1965. Bisa dipertanyakan apakah itu “oknum PKI”, CIA (dan atau dinas rasia negara lainnya), beberapa kelompok dalam Angkatan Darat, Soekarno atau Soeharto [Baskara, 2006]. Namun yang pasti, peristiwa itu menimbulkan dampak sosial yang sangat membekas. Paling sedikit telah jatuh korban sebanyak setengah juta jiwa sejak Oktober 1965 hingga awal tahun 1966 [Budiawan, 2004; Kurniawati, 2005; AWA, 2003; Susanto, S.J., 2003; PUSdEP, 2005].  

Tidak semua yang meninggal itu berideologi kiri. Banyak yang tak tahu apa-apa, namun karena bertikai dengan satu kelompok lain, ikut terbunuh. Bila setengah juta tewas, itu berarti jutaan orang yang menjadi yatim/piatu akibat peristiwa tersebut. Konsekuensi lebih jauh lagi, karena kemudian keluarga korban ini kehilangan pekerjaan atau tidak boleh menduduki jabatan atau melakukan profesi tertentu.

Mereka jadi manusia yang tersisih dalam masyarakat. Menjadi kelompok yang dikucilkan. Banyak kasus yang terdengar ihwal pemuda atau gadis yang mau menikah terlibat PKI atau semacam-semacam itu [lihat Setiawan, 2004; Krisnadi, 2002; Aziz, dkk., (eds), 2001; Sudisman, 2000; Kartomi, 2005]. Pihak keluarga yang mengambil menantu tidak mau mengambil risiko.

Organisasi politik yang konon memiliki sekian juta anggota itu bubar. Namun sebuah stigma telah dilekatkan bagi eks anggota atau simpatisan partai itu. Tetapi yang tak kalah parahnya adalah keluarga korban yang tidak tahun apa-apa juga mendapat hukuman dari masyarakat. Mereka berusaha menyembunyikan identitas agar tidak diketahui lingkungannya sebagai anak seorang PKI dll. Pada saat yang sama mereka kebetulannya kehilangan identitas diri mereka yang sesungguhnya [lihat selanjutnya Roosa, dkk (eds), 2004].

Ikhtiar Konstruksi Sejarah: Sebuah Otokritik

Dari keterangan di atas, telah disampaikan beberapa kencendrungan yang terjadi belakangan ini dalam historiografi Indonesia yang termasuk dalam kerangka pelurusan sejarah. Namun sebetulnya kriteria pelurusan sejarah itu bagaimana? Mengapa sampai terjadi pelbagai versi sejarah?

Jawaban yang sedikit teoritis pernah dikemukakan antara lain oleh sejarawan Perancis, Paul Veyne dalam Comment on ecrit l’historie (1971). Katanya, seperti sebuah roman, sejarah bisa mengemas satu abad dalam dua halaman. Sejarah itu subjektif, ia adalah proyeksi dari nilai-nilai yang kita anut dan jawaban dari pertanyaan yang kita ajukan. Kalau tukang jahit bisa mnegukur baju, maka sejarawan tidak dapat mengukur peristiwa. Peristiwa, ujar Paul Veyne, tidak mempunyai ukuran mutlak. Sebuah peristiwa bisa dianggap lebih penting daripada yang lainnya oleh sejarawan tergantung dari kriteria yang ditetapkan [lihat Wineburg, 2006: 113; Ankersmit, 1967: 214; AWA,2002:43].

Hal ihwal itu tidak hadir seperti butir-butir pasir. Peristiwa dalam konteks ini tidak berdiri sendiri dan terisolasi. (dia) bukanlah mahluk tetapi persilangan rute/trayek yang mungkin. Peristiwa itu benda. Peristiwa merupakan potongan realitas yang mungkin dari subtansi (manusia, benda) yang berinteraksi. Kalau melihat sebuah kubus, kita tidak melipat gandakan sudut pandang ini dengan memutarnya. Peristiwa itu bukan totalias tapi simpul dari jaringan.

Sejarah, tambah Paul Veyne, adalah penceritaan mengenai peristiwa dan bukan peristiwaan itu sendiri. Peristiwa itu sendiri tidak bisa “diraih” oleh sejarawan secara langsung dan utuh. Ia (sejarah) selalu tidak lengkap dan hanya di permukaan (lateral). Dilacak melalui jejak (tekmeria) diperlukan dokumen dan kesaksian dari para pelaku. Meskipun kita menyaksikan suatu peristiwa dengan mata kepala sendiri, kejadian itu tetap tidak terliput secara keseluruhan. Itulah sebabnya terdapat pelbagai versi dalam sejarah [ibid.].

Kemudian dari versi yang beragam itu apa yang kemudian dilakukan? Tugas sejarawan itu kadangkala ibarat dokter seperti pernah dikatakan Marc Ferro [ibid.]. Sejarah melakukan diagnosa. Sang dokter berusaha menyimpulkan arti penting sintesa dari pelbagai versi tadi dan mengeluarkan pendapat (yang tertuang dalam bentuk resep). Pelbagai jenis obat yang harus dimakan pasien merupakan kesimpulan dokter terhadap penyakit yang dideritanya.

Menyelesaikan Masalah Masa Lampau

Bagaimana caranya untuk membebaskan masyarakat kita dari tawanan masa lalu? Tragedi adalah pergumulan dengan nasib yang tidak dapat dimenangkan. Rasa sakit dan penderitaan seseorang tidak dapat dibandingkan apalagi dipertukarkan dengan penderitaan orang lain, namun hanya dapat ditemukan maknanya bila yang menjalani dapat memberikan arti demikian bagi hidupnya [awuy, 1995]. Itu dari sisi individual di tengah masyarakat.

Secara struktural, pelurusan sejarah termasuk upaya untuk menyelesaikan masalah masa lalu bangsa [Abdullah, 2002; BP dan AWA, 2005]. Pelurusan sejarah juga menyangkut pengungkapan hal-hal tabu pada masa lampau seperti pelbagai pelanggaran HAM. Bukan hanya kasus 1965, tetapi pelbagai peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudahnya harus diungkap. Kasus aceh, Poso, Irian Jaya, Timor Timur, Lampung, Tanjung Priok, Peristiwa 27 Juli 1996, Kasus Trisakti dan Semanggi 1998, dan kasus-kasus lainnya, perlu diteliti dan dituliskan dalam sejarah. Jika hal ini tidak dilakukan, maka bangsa ini akan melangkah ke depan dengan menyandang beban.


*tulisan ini pernah dimuat di buletin Edisi IV Oktober 2006 pada rubrik prasasti.    


Daftar Pustaka:


Abdul Haris Nasution. 1999. “Penjelasan Jendral TNI (Purn) AH Nasution, tentang Soeharto dan G-30-S/PK” pada 27 April, Jawa Pos.

Abdul Mun’in DZ dan AS Burhan. Problem Historiografis dalam Rekonsiliasi di Indonesia: Upaya Memberi Makna Baru terhadap Tragedi Kemanusiaan 1965” dalam Tashwirul Afkar No. 15 Tahun 2003: Peristiwa ’65-’66. Tragedi, Memori dan Rekonsiliasi.  
               
Aminuddin Kasdi. 2001. Kaum Merah Menjarah: Aksi Sefihak PKI/BTI di Jawa Timur. Yogyakarta: Jendela.

Anderson, Benedict R. “Jangan Terjadi Lagi! Benedict R.Anderson tentang Pembunuhan Massal 1965” dalam Baskara T. Wardaya S.J. (ed). 2001. Menuju Demokrasi Politik Indonesia dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ankersmith, F.R. 1987. Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Alihbahasa oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Asti Kurniawati. “Gunung Kidul 1965-an. Kontestasi Punguasa Partai dan Politik Ingatan Rakyat” dalam Budi Susanto, S.J. (ed). 2005. Ingat(!)an. Hikmah Indonesia Masa Kini, Hikmah Masa Lalu Rakyat. Yogyakarta: Lembaga Studi Realino dan Kanisius.

Asvi Warman Adam [AWA]. “Pengendalian Sejarah Sejak Orde Baru” dalam Hendry Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (eds). 1999. Panggung Sejarah. Persembahan kepada Prof Dr Denys Lombard. Jakarta: Ecole Fancaise d’Extreme-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Yayasan Obor.

Bambang Purwanto. 2001. “Cornell Paper dan Historiografi Kudeta 1 Oktober 1965”. Makalah pada diskusi buku “Kudeta 1 Oktober 1965. Sebuah Analisa Awal” karangan Ben Anderson dan Ruth T. McVey oleh LKPSM-NU DIY 1 Oktober.

Baskara T, Wardaya, S.J. 2006. Bung Karno Menggugat! Cet. Ke-2. Yogyakarta: Galang Press.
Budiawan. 2004. Mematahkan Pewarisan Ingatan. Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca Soeharto. Jakarta: Elsam.

Budi Susanto, S.J. dan A. Made Tony Supriatma. 1995. ABRI Siasat Kebudayaan 1945-1995. Yogyakarta: Lembaga Studi Realino dan Kanisius.

Crouch, Harold. 1973. “another Look At Indonesian ‘Coup’” dalam Indonesia No. 15.

Feith, Herbert. 1962. The Decline of Contitutional Democracy in Indonesia. Ittaca; N.Y: Cornell Univesity Press.

Fic, Victor M. 2005. Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi. Alihbahasa oleh Rahman Zainuddin; dkk. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hermawan Sulistyo. 2000. Palu Arit di Ladang Tebu. Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri, 1965-1966). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Hersri Setiawan. 2004. Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesiatera.
IG Krisnadi. 2002. “Dampak G30S: Tapol Orba di Pulau Buru 1969-1979” dalam Sejarah No.9. Jakarta: Masyarakat Sejarawan Indonesia.

Kartomi, Margaret J. 2005. Gamelan Digul di Balik Sosok Seorang Pejuang. Hubungan antara Australia dan Revolusi Indonesia. Alihbahasa oleh Hersri Setiawan.  Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Onghokham. 2002. ”Refleksi Tentang Peristiwa G30S dan Akibat-akibatnya” dalam Sejarah No. 9. Jakarta: Masyarakat Sejarawan Indonesia.

Pledoi Sudisman. 2000. Kritik Otokritik Seorang Politbiro CC PKI. Jakarta: Teplok Press.

Roosa, Jhon; Ayu Ratih dan Hilmar Farid (eds). 2004. Tahun yang tak Pernah Berakhir. Memahami Pengalaman Korban 65: Esei-Esei Sejarah Lisan. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Institut Sejarah Sosial Indoneisia, dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan.

Taufik Abdullah. 2002. “Perdebatan Sejarah dan Tragedi 1965” dalam Sejarah No.9. Jakarta: Masyarakat Sejarawan Indonesia.

Tommy F. Awuy. 1995. Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan. Yogyakarta: Jentera Wacana Publika.

Wineburg, Sam. 2006. Berfikir Historis Memetakan Masa Depan, Mengajar Masa Lalu. Alihbhasa oleh Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Komentar