Taman Siswa Melawan Ordonansi Loonbelasting

Bagas Nugroho Pangestu

          
                   

Taman Siswa merupakan lembaga yang bergerak di bidang Pendidikan pada masa kolonial Hindia Belanda, yang diawali dengan ide ingin membuat sekolah bagi orang-orang pribumi. Menjadikan Suwardi Suryaningrat atau biasa dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara membuat Taman Siswa. Pada tanggal 3 juli 1922 akhirnya Taman Siswa dicetuskan.

Saat awal kemunculannya Taman Siswa masih dikenal dengan nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa. Di awal abad ke-20 memang sudah ada beberapa sekolah yang dibuat oleh orang pribumi seperti Madrasah Mu’allimin dari Muhammadiyah, Sekolah SI dari Sarekat Islam,  dan sekolah Adidarma yang dibuat oleh kakaknya Ki Hajar Dewantara sendiri  yaitu R.M. Soeryopranoto.
Sebenarnya sebelum Taman Siswa lahir, sudah ada sekolah-sekolah yang dibuat oleh pemerintahan kolonial. Namun, sekolah-sekolah buatan pemerintah kolonial seperti HIS (Hollandsche Inlandsche school), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), AMS (Algemeene Middelbare School), ELS (Europesche Lager School), dan HBS (Hoogere Burger School) itu sangat sulit dijangkau oleh orang-orang pribumi.

Apalagi orang-orang pribumi yang tidak memiliki pangkat serta uang yang cukup untuk bisa membayar biaya sekolah yang ada. Selain itu, untuk masuk ke ELS dan HBS juga harus memperhitungkan ras dan warna kulit calon siswanya. Menjadikan sekolah-sekolah yang sudah ada—buatan pemerintah kolonial—itu terkadang tidak bisa menampung semua calon siswanya, terutama rakyat pribumi.

Ditambah lagi, pada awal abad ke-20 kondisi sosial ekonomi masyarakat pribumi serba kekurangan. Hal ini dikarenakan dampak penjajahan yang berkepanjangan oleh pemerintah kolonial. Lahan-lahan yang digarap para petani dibebani dengan pajak yang sebagian hasilnya harus diserakan kepada pemerintah kolonial. Menjadikan pendapatan yang dihasilkan dengan bertani tidak mencukupi.
Kebutuhan pokok yang harus impor juga menjadikan harga bahan pokok pada waktu itu menjadi mahal. Hal ini merupakan dampak dari krisis ekonomi global pada saat itu. Membuat keadaan masayarakat yang pada waktu itu serba kekurangan lalu pendidikan dianggap masih belum penting. Para orang tua lebih memilih untuk membeli makanan untuk kebutuhan sehari-hari ketimbang untuk biaya sekolah yang tak terjangkau.

Hal-hal di ataslah yang menjadi alasan Ki Hajar Dewantara membentuk Taman Siswa, yang menjadi sekolah nasionalisme pertama di Hindia-Belanda. memberikan kesempatan orang-orang pribumi—yang tidak mampu membiayai sekolah—untuk medapatkan pendidikan. Hal ini menjadikan salah satu batu loncatan bagi perkembangan pendidikan di Indonesia.
Tak membutuhkan waktu yang lama Taman Siswa cepat menjadi idola di kalangan masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. Di beberapa daerah muncul cabang-cabang baru Taman Siswa. Dengan mengusung pendidikan kebudayaan menjadikan Taman Siswa banyak digemari. Apalagi tidak adanya peraturan yang melarang pribumi untuk mengenyam pendidikan membuat setiap tahun jumlah siswa di Taman Siswa semakin meningkat.

Akan tetapi, dengan semakin majunya Taman Siswa membuat pemerintah kolonial semakin gusar. Pasalnya, dengan semakin banyaknya pendidikan yang didapat oleh orang-orang pribumi menjadikan mereka bisa melakukan penentanga terhadap pemerintahan kolonial. Sekolah-sekolah yang dibuat oleh pemerintahan kolonial seperti sepi peminat.
Oleh karena itu, pemerintah kolonial menganggap Taman Siswa sebagai penggangu bagi pendidikan yang didirikan pemerintahan kolonial. Akibatnya, pemerintah mulai melakukan beberapa kebijakan yang menyerang Taman Siswa.
Mulai dari Ordonansi Sekolah Liar yang dibuat pada tahun 1932 yang berisi tentang aturan terhadap sekolah-sekolah partikelir (swasta)—Taman Siswa juga termasuk didalamnya—yang bisa dicabut izinnya jika dianggap menggangu kepentingan umum. Hingga ordonansi beberapa jenis pajak yang ikut diterapkan oleh pemerintah kolonial yang secara langsung menyerang Taman Siswa. Salah satunya yaitu, ordonansi loonbelasting yang diterapkan pada tahun 1935.

Pengertian Loonbelasting

Loonbelasting jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia artinya pajak upah. Pajak upah sendiri merupakan pajak yang dikenakan kepada seseorang, jika orang yang bersangkutan mendapatkan upah.  Pajak upah diperuntukan bagi seseorang dengan status pegawai tidak tetap atau disebut tenaga kerja lepas. Pegawai tidak tetap ini hanya mendapatkan pengahasilannya saat dia bekerja. Hal ini berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan, atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.

Dalam perkembangannya loonbelasting tidak serta-merta ada begitu saja. Namun, adanya loonbelasting akibat banyak munculnya perusahaan-perusahaan di Indonesia pada waktu itu. Hal ini merupakan imbas dari adanya kebijakan pemerintah kolonial yang membuka lebar seluas-luasnya bagi para investor  untuk berinvestasi di Hindia Belanda—sebutan bagi Indonesia saat itu. Maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Pada tahun 1935 ditetapkanlah ordonansi loonbelasting yang memberi kewajibkan kepada majikan untuk memotong pajak upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai 15%.[1]

Peraturan tentang ordonansi loonbelasting juga semakin kuat kedudukan  setelah dibuatnya staatblad. Staatblad yang dibuat pada tahun 1934 ini bernomor 611. Staatblad tentang loonbelasting berisi 54 pasal yang menjelaskan dasar serta beberapa hal terkait loonbelasting. Tepat pada tanggal 1 Januari 1935[2] ordonansi ini diterapkan di Hindia Belanda.

Menyerang Taman Siswa Melalui Ordonansi Loonbelasting

Sebelum diterapkan odonansi loonbelasting, sebenarnya ada beberapa peraturan pajak yang dikenakan kepada Taman Siswa. Selain pajak penghasilan yang sudah ada sebelumnya, ada juga pajak rumah tangga. Hal tersebut di karenakan semakin majunya perguruan Taman Siswa dan juga semakin  banyaknya muncul kesadaran orang-orang pribumi menjadikan hal ini sangat menyerang pemerintah kolonial.
Membuat pemerintah kolonial mulai menjalankan beberapa siasat untuk menindas Taman Siswa. Salah satunya diterapkan pajak rumah tangga kepada Taman Siswa.

Pada saat itu, rumah Ki Hajar Dewantara schoolwoningtype (rumah menyatu dengan sekolah). Kamarnya dikelilingi oleh kelas-kelas. Karena rumah yang dianggap menyatu dengan sekolah, maka oleh pemerintah kolonial Taman Siswa dikenakan pajak rumah tangga. Padahal keluarga Ki Hajar Dewantara hanya menempati dua kamar yang dalam taksiran itu tidak dikenakan pajak rumah tangga.[3] Sementara itu, benda-benda serta ruangan yang lain itu kepunyaan Taman Siswa yang tidak dikenakan pajak. Dengan alasan untuk menyerang Taman Siswa, membuat pemerintah kolonial menganggap sah hal yang dilakukannya, yaitu dengan menerapkan sistem pajak yang merugikan.

Ordonansi loonbelasting menurut staatblad tahun 1934 No. 611 ikut mengatur juga perihal  siapa saja yang akan dikenakan ordonansi tersebut. Hal ini dijelaskan dalam pasal 2 yang isinya “siapa saja yang melakukan pekerjaan dalam pelayanan Tanah atau badan publik lainnya”. Jadi, pemberlakukannya akan mencakup setiap orang yang bekerja di bidang pelayanan tanah maupun badan publik. Dengan peraturan ini maka Taman Siswa merupakan lembaga yang termasuk didalamnya. Taman Siswa termasuk objek pemberlakuan ordonansi loonbelasting.

Kewajiban membayar pajak selain karena alasan diatas—yang menyerang langsung Taman Siswa—melainkan juga pemerintah kolonial menjadikan pajak sebagai alat untuk kontrol sosial. Cara ini bisa dibilang efektif untuk mengatur masyarakat pribumi. Selain itu, pajak juga dijadikan sebagai salah satu sumber pemasukan negara yang sangat besar. Dengan beberapa alasan tersebut menjadikan ordonansi loonbelasting diterapkan di Taman Siswa.

Penolakan Loonbelasting Oleh Taman Siswa

Sebelum penolakan ordonansi loonbelasting yang dilakukan Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara sebenarnya sudah melakukan aksi protes terhadap kebijak pajak, yaitu pajak rumah tangga. Peristiwa ini diawali dengan adanya pengakuan dari Pemerintah colonial, bahwa Taman Siswa itu sah dikenakan pajak rumah tangga, yang dikarenakan rumah Ki Hajar Dewantara menyatu dengan perguruan Taman Siswa.
Akan tetapi, dengan terbatasnya dana pada awal pembentukan Taman Siswa menjadikan Taman Siswa menunggak bayar pajak tersebut hingga tahun 1924 dari tahun Sekolah Taman Siswa berdiri (1922). Pada tanggal 19 Juni 1924 Taman Siswa terpaksa melakukan pelelangan barang-barang, seperti  meja dan kursi milik Taman Siswa.

Selain pelelangan yang dilakukan oleh Taman Siswa sebagai bentuk protes terhadap pemerintah kolonial. Taman Siswa mulai melakukan protes—diwakili oleh Ki Hajar Dewantara. Protes ini dilakukan atas kebijakan pajak rumah tangga. Kemudian dengan keputusan kepala Kerajaan Pakualam P.A.A. paku-alam tertanggal Jogjakarta 25 September 1924 No. 2414/4, No. 2415/4 dan No.2416/4, menyatakan pajak rumah tangga untuk Ki Hajar Dewantara untuk tahun 1922, 1923, 1924 yang besarnya masing-masing sebesar f 76,80. f 54,— dan f54,— dihapuskan.[4]
Hal ini membuat pemerintah kolonial merasa tidak puas membalas Taman Siswa. Setelah pajak rumah tangga mampu diatasi oleh Taman Siswa, maka pemerintah kolonial kembali menguji Taman Siswa dengan ordonansi loonbelasting

Tepat pada tanggal 1 Januari 1935 ordonansi loonbelasting diterapkan di Hindia Belanda. Namun, ordonansi loonbelasting yang berada di wilayah vorstenlanden—Yogyakarta dan Surakarta—baru berjalan pada tahun 1936.[5] Pada tahun ini Taman Siswa mulai melakukan penolakan terhadap ordonansi loonbelasting.  Jadi, saat peraturan itu baru ingin diterapkan, Taman Siswa langsung melakukan pemboikotan terhadap ordonansi tersebut. Taman Siswa suka membayar pajak tetapi tidak dengan pajak upah.
Alasan Taman Siswa melakukan penolakkan karena Taman Siswa tidak mengenal isitilah majikan dan buruh di dalam asasnya. Hal ini sangat bertentangan dalam aturan ordonansi loonbelasting di dalam staatblad 1934 No. 611 yang jelas-jelas menggunakan istilah majikan—tepatnya di pasal 3—didalam peraturannya. Menurut Ki Hajar Dewantara jika ordonansi ini tetap dilaksanakan maka hal tersebut benar-benar menyerang jiwa Taman Siswa.[6]
Membuat ordonansi loonbelasting sempat ditunda. Hal ini berdasarkan surat gubernur Jogjakarta tertanggal 7 Juli 1936 No. 196/4/S, direktur keuangan memutuskan bahwa ordonansi yang berlaku pada tahun 1936 bagi guru-guru Taman Siswa tidak berlaku.

Selama penundaan itu berlangsung, pihak Taman Siswa mulai melakukan berbagai cara untuk menghindari ordonansi loonbelasting diterapkan di Taman Siswa. Mulai dari musyawarah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dengan Taman siswa serta mengirim surat dan melakukan pertemuan dengan Adviseur voor Inlandsche Zaken (penasehat urusan rumah tangga). Selain itu pada tanggal 17 Desember 1937, Ki Hajar Dewantara—sebagai wakil dari Taman Siswa—memaksakan diri untuk bertemu dengan Gubernur Jendral di Cipanas[7], tetapi tidak membuahkan hasil. Bahkan pada tahun 1938 pemerintah kolonial menetapkan kembali bahwa Taman Siswa harus dikenakan ordonansi loonbelasting. Hal ini diterangkan dalam surat tertanggal 18 Agustus 1937 No. 2898/4 Hoofd der Pakualamsche Huis P.A.A. Prabu Suriodilogo, bahwa pada tanggal 1 Januari 1938 guru-guru Taman Siswa akan tetap dikenakan pajak upah. 

Untuk membuktikan jika ordonansi ini benar-benar memberatkan maka permasalah ordonansi loonbelasting diserahkan kepada Wali Negara. Saat itu segala permasalahan diterangkan panjang lebar terkait ordonansi loonbelasting yang memberatkan Taman Siswa itu. Setelah pertemuan dengan Gubernur Jendral pada tanggal 17 Desember lalu, Ki Hajar Dewantara pada tanggal 20 Desember pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Direktur Onderwijs dan Adviseur voor Inlandsche Zaken.
Pada 29 Desember 1937, Majelis Luhur  menerima surat dari Gubernur Jogjakarta  tertanggal 28 Desember 1937 No. 12554/4/S. Isinya menerangkan bahwa menurut surat Hoofdinpekteur Financien (kepala inspektur keuangan) tertanggal 24 Desember 1937 No. L.B. 1/79/50, ordonansi loonbelsting yang seharusnya mulai diterapkan pada tanggal 1 Januari 1938 pada guru-guru Taman Siswa itu ditunda terlebih dahulu selama pemerintah kolonial menyelidiki keberatan-keberatan Taman Siswa. Selama penundaan terebut guru-guru Taman Siswa tetap dikenakan pajak penghasilan. Untuk kedua kalinya pemerintah kolonial memutuskan untuk melakukan penundaan. 

Kemudian, pada 13 Mei 1939 terdapat surat dari Direktur keuangan dengan No. L.B. 1/12/7. Isinya menerangkan jika ordonansi loonbelasting akan ditetapkan untuk ketiga kalinya bagi Taman Siswa tertanggal 1 Januari 1940. Pada saat itu Taman Siswa sangat kecewa atas keputusan tersebut, maka pada waktu itu Taman Siswa mengadakan rapat besar yang terakhir. Rapat ini menghasilkan penentuan sikap dari Taman Siswa terhadap ordonansi yaitu menolak sampai pengahabisan. Berlakunya penolakan ini lalu diserahkan kepada Majelis Luhur dan Pemimpin Umum. Kemudian setelah itu, Majelis Luhur menyerahkan perihal tersebut kepada Pemimpin Umum sebagai eenmansleiding (satu pimpinan).

Pembicaraan dengan pihak pemerintah kolonial mulai dilakukan lagi, namun ada beberapa point hasil rapat besar yang ditekankan dalam pembicaraan dengan pemerintah kolonial. Hal ini dilakukan agar apa yang telah dilakukan dengan pemerintah tidak menghasilkan apa-apa. Berulang-ulang melakukan pembicaraan baik melalui pribadi maupun telepon, juga melalui surat. Setelah semua hal tersebut dilakukan, maka akhirnya muncul pemberitahuan dari Adviseur voor Inlandsche Zaken perihal kreputusan untuk Taman Siswa.

Ada tiga putusan yang diperuntukan kepada Taman Siswa. Pertama, putusan pemberlakukan ordonansi loonbelasting pada tahun 1940 akan ditunda. Kedua, pemerintah kolonial akan melakukan pengakjian ulang tentang ordonansi loonbelasting, apalagi berhubungan dengan adanya pandangan baru dari pihak pemerintah. Ketiga, dalam waktu penundaan itu ordonansi loonbelasting dan inkomstenbelasting (pajak pendapatan) tidak dikenakan.

Bebasnya  Taman Siswa  dari Ordonansi Loonbelasting

Keadaan genting bukan hanya terjadi di Hindia Belanda saja. Melainkan terjadi juga di seluruh dunia. Pecahnya perang dunia ke-II yang menjadi penyebab terjadinya suasana genting tersebut. Jerman yang dipimpin oleh Hitler mulai melakukan penyerangan di beberapa negara di Eropa. Belanda pun tak lepas dari penyerangan oleh Jerman. Pada tanggal 10 Mei 1940, Jerman menyerang Belanda. Kemudian, pada 18 Mei 1940 Hindia Belanda diumumkan staat van beleg (darurat militer).

Lalu, dengan surat tanggal 15 Juli 1940 No. L.B. 1/16/1 dari direktur keuangan memutuskan guru-guru Taman Siswa dibebaskan dari loonbelasting dan seperti semula tetap dikenakan pajak penghasilan. Dengan keadaan yang semakin genting ordonansi loonbelasting tidak sempat dicabut ketetapannya dan Taman Siswa sedari awal tetap menolak ordonasi tersebut, menjadikan ordonansi loonbelasting tidak pernah sama sekali diterapkan di Taman Siswa.

Perintah yang mencanangkan loonbelasting akan diterapkan pada tahun 1940, namun hal tersebut  tidak jadi diterapkan. Bahkan sampai Belanda menyerahkan Hindia Belanda kepada Jepang pada tahun 1942, menjadikan perjuangan Taman Siswa yang kurang lebih selama empat tahun itu tidak sia-sia. Perjuangan ini juga bisa dibilang perjuangan terlama melawan ordonansi pemerintah kolonial setelah ordonansi sekolah liar.




DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Anshoriy, HM. Nasruddin. 2008. Pendidikan Berwawasan Kebangsaan: Kesadaran Ilmiah          
Berbasis Multikulturalisme, Yogyakarta: LKiS.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek   Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1977 – 1778. Sejarah Kebangkitan      Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Sari, Diana. 2013. Konsep Dasar Perpajakan, Bandung: PT Refika Aditama.
Sajoga. 1952. Riwayat Perjuangan Taman Siswa 30 tahun: 1922-1952, Yogyakarta: Majelis         Luhur Taman Siswa.

Internet:
Akbar, Allan Ki Hajar dan Sekolah Liar, http://historia.id/modern/ki-hajar-dan-sekolah-liar. Diakses pada tanggal 31 Maret 2018.
https://tirto.id/sekolah-sekolah-di-zaman-belanda. Diakses pada tanggal 24 Maret 2018




[1] Diana Sari, Konsep Dasar Perpajakan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), hlm.5.
[2] Staatblad 1934 No. 611.
[3]  Sajoga, Riwayat Perjuangan Taman Siswa 30 tahun: 1922-1952, (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1952), hlm.19.
[4] Ibid.,
[5] Ibid., hlm.50.
[6] Poesara, edisi Januari 1940, hml.2.
[7] HM. Nasruddin Anshoriy, Pendidikan Berwawasan Kebangsaan: Kesadaran Ilmiah Berbasis Multikulturalisme, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm.77. 

Komentar