Sepak Bola, Ultras, dan Senjata Politik

-Deby Hermawan


“Football its not just a simple game. Its a weapon of the revolution.” Che Guevara.

Tidak dapat dipungkiri bahwasanya sepakbola merupakan olahraga paling popular di muka bumi. Banyak cerita yang tersaji di dalam lapangan maupun diluar lapangan. Intrik di dalam lapangan kini meluas hingga luar lapangan. Mulai cerita mengenai budaya, sosial, ekonomi, hingga politik serta ideologi para supporter yang mengatasnamakan sebagai Ultras.

Ultras merupakan supporter yang memiliki daya militan dan fanatisme lebih dari supporter pada umumnya. Ultras yang berarti ‘Di luar kebiasaan’ dalam bahasa latin, menjadi pelopor supporter terorganisir yang datang untuk mendukung timnya. Maka muncul stigma bahwa supporter (Ultras) adalah pemain ke dua belas.

“As an ultra I identify myself with a particular way of life. We are different from ordinary supporters because of our enthusiasm and excitement. This means, obviously, rejoicing and suffering much more acutely than everybody else”.

Kutipan kalimat dari salah satu anggota Brigate Rossonere—Ultras AC Milan, membantu memahami perbedaan Ultras dengan supporter pada umumnya.  Mereka tidak pernah berhenti meneriakkan yel-yel pembangkit semangat selama pertandingan berlangsung. Para ultras sering mencuri perhatian lewat aksi koreografi, Giant Flag, hingga Flare dan petasan. Bahkan mereka memulai aksinya sejak diluar pertandingan dengan melakukan Corteo atau berjalan dari markas umumnya dari bar mereka ke Stadion bersama-sama dengan terus bernyanyi.

Ultras pertama kali muncul di Italia pada tahun 1968, dengan nama Fossa dei Leoni, salah satu kelompok supporter AC Milan. Aksi demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan anak muda pada saat ketidakpastian politik melanda Italia 1960-an mengilhami munculnya Ultras. Fenomena tersebut menjadikan Ultras tumbuh subur di Italia. Maka, hakikat ultras merupakan simpati politik juga representatif ideologi.

Setiap Ultras dipercaya memiliki ideologi serta aliran politik yang beragam, meskipun mereka mendukung klub yang sama. Ultras memiliki andil dalam menyebaran wacana dan pelestarian paham-paham ideologi, seperti Fasisme, Komunisme, Sosialisme. Misalnya di Italia, Ultras Lazio yang dikenal dengan Irruducibli yang memiliki paham Ultra Nasional (neo Fasisme) bersebrangan dengan Ultras Livorno yang bernama Brigate Autonome Livornesi yang menganut paham komunisme. Tidak jarang ketegangan-ketgangan terjadi antar ultras, meskipun mendukung klub yang sama. Hal ini disebabkan perbedaan ideologi yang diusung setiap Ultras.

Dewasa ini, stigma buruk menghujam para Ultras. Namun pada realitas sungguh berbeda. Nyinyiran merajam Ultras yang dianggap memiliki jiwa apolitis. Namun jika kita menelisik akan kebenaran hal tersebut sangat berlainan. Hosni Mubarak dan Mohammad Mosri sempat merasakan sikap politik ultras Mesir ketika keluar ‘cangkang’. Bermodal kekesalan terhadap pemerintahan, mereka menurunkan Hosni Mubarok dan Mohammad Morsri dalam kurun waktu dua tahun.

Fenomena Ultras di negeri ‘Firaun’ bisa dibilang masih berumur jagung. Ultras di Mesir baru muncul di tahun 2007 yang merupakan pelarian dari tidak adanya partai oposisi yang mampu menyuarakan hak rakyat. “Satu-satunya katup rilis dimana orang bisa mengekspresikan diri adalah Ikhwanul Muslimin di masjid, dan Ultras di Stadion Sepakbola.” Sebuah anekdot yang muncul ketika rezim Husni Mubarok ditumbangkan oleh Ultras.

Hal serupa juga terjadi di Ukraina. Sikap turun jalan yang dilakukan Ultras sangat dinantikan. Kebiasaan pengorganisaran massa di stadion ditularkan massa aksi jalanan. Bahkan Ultras dinilai memiliki jam terbang untuk chaos terbuka dengan aparat. Sehingga menimbulkan rasa aman bagi massa aksi non Ultras. Di Ukraina, Ultras sempat menjadi momok yang menakutkan ketika Ukraina menjadi tuan rumah piala Eropa 2012.

Perang dingin telah usai, dan blok kapitalisme barat menjadi pemenang. Namun hal itu menjadi sebuah retorika belaka di Ukraina. Malah disana menjadi garda terdepan peperangan dua ideologi  hingga sekarang. Hal ini dapat dilihat dari ideologi yang dianut oleh Ultras disana. Klub Ukraina Barat semisal Dynamo Kiev yang lebih pro-barat, sebaliknya di Ukraina Timur; Matalish Kharkiv, Shaktar Donetsk yang lebih pro-Rusia (komunisme).

Genderang perang ditabuh Ultras Dinamo Kiev yang bernama Kyivans pada tanggal 21 Januari 2014.  Mereka siap untuk perang dengan pemerintah, sebagai bentuk protes terhadap tindakan represifitas pemerintah saat berusaha membubarkan paksa barisan demonstran. Secara gamblang mereka menyatakan bakal mengkordinasi massa aksi. Hal itu juga di dorong oleh pemerintah yang sengaja merekrut kelompok Ultras Metalist Kharkiv yang bernama Titushky. Para anggota Titushky-lah yang menyerang para demonstran.  Hingga akhinya perang antar Ultras di Ukraina tidak dapat dihindarkan.

Kyivans mendapat dukungan dari ultras lain, antara lain; Ultras Crimea dan Simferopol. Dukungan ini tak lain akibat sikap pemerintah yang menggunakan Titushky untuk meyerang sipil ialah kesalahan yang besar, pun mereka membangun citra bahwasanya Ultras bukan gangster yang bisa dibeli untuk melindungi rezim tertentu. Sejenak para Ultras tersebut melupakan rivalitas di dalam lapangan.

***
Ultras di Mesir dan Ukraina hanya sebagian kecil sikap politik mereka. Tapi politik mereka bukanlah politik praktis yang mengejar kekuasaan hingga materi yang mau menggadaikan harga diri kelompok mereka pada rezim penguasa. Politik mereka ialah politik keberpihakan pada mereka yang ditindas oleh kekuasaan.

Hal serupa juga sedang menjamur di Indonesia. Sikap ini tergambar melalui bendera-bendera yang Ultras Indonsia kibarkan. Seperti Utras Persija Jakarta yang menuliskan “TOL(A)K P(A)BRIK SEMEN #KENDENGLESTARI”. Atau yang dituliskan oleh Ultras Persikap Pekalongan “SAVE KENDENG”. Meski hanya lewat tulisan di bendera, namun sikap ini mencerminkan bahwa mereka tidak melulu mengenai sepak bola semata.

Komentar